Sikunir Ramai: Merayakan September, Merayakan Hidup


I met you in the city of the fall
One September night
We sat down on the table near the wall
Where conversation flows 
Adhitia Sofyan - September

Entah kenapa September tahun ini tiba begitu cepat. Padahal saya masih ingin merayakan hujan di bulan Januari, berpura-pura tidak tahu ketika Maret tak terasa telah berganti April begitu saja. Atau pun menyambut angin di bulan Agustus, yang seakan tahu tugasnya tiba untuk membuat sang dwi warna berkibar di puncak tiang tertinggi.

Harum September kali ini mungkin sedikit berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Hampir setiap hari aroma tanah basah mampir di indera penciuman. Bahkan tak jarang bau busuk yang tercium, karena sampah yang berhari-hari menumpuk tersiram hujan deras. Sesekali juga, genangan-genangan sisa hujan semalam muncul di sisi jalanan Semarang. Beruntung, tak sampai banjir besar.
***
Hampir gelap, ketika hujan deras yang mengguyur akhirnya menghadang perjalanan kami di daerah Krasak, Wonosobo. Setelah menempuh hampir 4 jam perjalanan menggunakan sepeda motor dari Semarang. Padahal beberapa saat sebelumnya, kami juga baru saja berhenti untuk beristirahat sebentar, sambil mengisi bahan bakar di pom bensin Krasak.

Menengok kalender di bulan September, ada satu tanggal merah nyempil di hari Senin tanggal 12. Tak perlu lama-lama berpikir, saya langsung melontarkan wacana untuk mengajak Febi, adik saya ke Dieng di hari Sabtunya. Kebetulan memang kami berdua sedang butuh jalan-jalan sekedar melepas penat ditengah kesibukan bekerja.

Dengan alasan pertimbangan waktu dan biaya, maka dipilihlah menggunakan sepeda motor sebagai alat transportasi utama kami. Meskipun sebenarnya saya belum pernah melakukan perjalanan jauh menggunakan sepeda motor. Saya hanya mengandalkan google maps dan juga ingatan yang masih tersisa ketika dulu pertama kali melakukan perjalanan ke Dieng.
Sikunir ramai.
Kami mengambil rute Semarang-Boja-Sumowono-Temanggung-Wonosobo-Dieng, dengan total jarak yang akan ditempuh sejauh hampir 130 Kilometer. Sebenarnya ada rute alternatif yang jaraknya relatif lebih pendek, yaitu via Kandangan-Ngadirejo-Tambi-Dieng. Tapi dengan beberapa alasan, akhirnya kami tidak melewati rute alternatif yang cenderung berat tersebut. Ditambah lagi kami hanya menggunakan sepeda motor matic. 

Selain itu, jalur sepanjang Temanggung-Wonosobo sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja. Pemandangan di sisi kanan-kiri jalan begitu memanjakan mata. Sambil bermanuver menyalip mobil box pembawa tembakau, di kanan kami berdiri gunung Sindoro yang puncaknya sedang diselimuti awan. Sedangkan di sebelah kiri gunung Sumbing dengan gagahnya menampakkan diri dengan jelas, menemani perjalanan kami. Saya selalu saja berdecak kagum, meski sebelumnya sudah pernah melalui jalur ini. Tak perlu kamera yang canggih untuk merekamnya, hanya mata yang dianugerahkan oleh Tuhan serta mulut yang terus mengucap syukur.
***
  
Beruntung, hujan tak berlangsung lama. Setelah agak mereda, kami akhirnya melanjutkan perjalanan meski di tengah ketakutan hujan akan kembali menderas nantinya. Bukan tak mungkin lagi jika di sisa perjalanan menuju Dieng akan terus diguyur hujan. Sebenarnya kami masing-masing membawa jas hujan dan telah memakainya. Tapi satu yang menjadi kekhawatiran saya hanyalah barang bawaan kami: dua ransel dan 1 tenda. Jika ikut-ikutan basah, kami tak tahu lagi harus berteduh dimana dan bagaimana menghangatkan diri malam ini.
Jingga yang mengintip di balik lautan awan.
Ternyata keberuntungan kembali menaungi kami. Ketika sepeda motor yang saya kendarai memasuki daerah Garung, ternyata hujan sudah benar-benar berhenti. Bahkan semakin ke atas malah sama sekali kering pertanda hujan belum mengguyur daerah ini. Namun hal itu tidak lantas membuat kekhawatiran saya hilang begitu saja. Karena perjalanan masih panjang, ditambah lagi saat itu langit sudah sepenuhnya gelap sementara sepanjang jalan juga sangat minim penerangan.

Lewat pukul tujuh malam, ketika akhirnya kami sampai di kawasan Desa Sembungan. Yang konon katanya merupakan desa tertinggi di tanah Jawa. Setelah mengurus perijinan, kami langsung membongkar peralatan dan mendirikan dome di area camping ground Telaga Cebongan yang telah tersedia.

Begitu dome berdiri, berikutnya kompor dinyalakan untuk menjerang air. Sebisa mungkin segera membuat teh panas. Ya, hangat saja tidak cukup bagi saya. Karena suhu dingin Dieng yang berada di ketinggian rata-rata 2000 mdpl ini memang tidak bisa diremehkan lagi. Entah berapa derajat suhu saat itu. Yang pasti jari-jari tangan saya hampir mati rasa.

Sambil membungkus diri dengan sleeping bag pinjaman, saya menyiapkan Indomie rebus rasa soto plus beberapa butir bakso untuk dimasak sebagai pengganjal perut kami malam itu. Sebenarnya saya juga sengaja membawa bahan-bahan seperti kubis, kentang dan wortel, untuk dimasak menjadi sop nantinya. Namun lagi-lagi dengan alasan kepraktisan dan keefisienan waktu, Indomie rebus lah yang tetap menjadi idolanya. Hehehehe
Sibuk mengabadikan momen.

Semakin malam, semakin banyak pengunjung lain yang terus berdatangan. Area parkir terus disesaki dengan berbagai kendaraan, dan tenda dome yang berwarna-warni pun semakin banyak didirikan di sekeliling Telaga. Tak perlu heran, karena waktu itu memang bertepatan dengan long weekend. Saya pun tak berekspektasi banyak, jika seandainya esok pagi Sikunir penuh dengan lautan manusia. Toh, jika terlalu ramai kami tinggal memilih untuk tidak naik ke puncak mengejar sunrise.

Malam terus beranjak tanpa terasa. Lalu bersekutu dengan hawa dingin yang membuat saya terus meringkuk dalam bebat hangat sleeping bag. Saya terbangun, begitu mendengar sebuah pengumuman melalui pengeras suara bahwa pendakian telah dibuka. Pertanda sudah pukul tiga pagi. Padahal rasa-rasanya, saya baru sebentar dapat memejamkan mata.
Wajah-wajah kedinginan.
Iya, mata saya memang terpejam dan badan saya berada disitu. Namun pikiran saya melayang kemana-mana. Lagipula saya jauh-jauh berkendara dari rumah hingga Desa Sembungan bukan untuk tidur di dalam tenda. Antara kabut, malam dan dingin yang menusuk tulang adalah perpaduan yang sangat pas untuk saatnya berkontemplasi. Bahasa ilmiahnya: melamun.


Entah kenapa akhir-akhir ini omongan dan tulisan yang masuk di kepala adalah soal waktu. Waktu yang memang kejam, dia berputar dengan cepat tanpa izin siapapun. Yang tertinggal hanyalah jejak, sejarah, dan kenangan. Tahu-tahu, bulan September sudah datang lagi. Itu berarti umur saya bertambah lagi satu tahun. Maaf, saya ralat. Lebih tepatnya jatah hidup saya berkurang lagi satu tahun.

Menginjak usia 25 tahun sering dihubungkan dengan kedewasaan seseorang. Mungkin inilah saat yang tepat bagi saya untuk introspeksi diri. Keputusan-keputusan besar harus mulai diambil, dan tuntutan lebih bertanggung jawab pada tiap pilihan juga mulai muncul. Saya juga harus bersiap diri, untuk menghadapi banyak realita yang kadang harus diterima saja. Tanpa perlu banyak bertanya.

***

Setelah sebelumnya (akhirnya jadi juga) memasak sop, dan memanggang kaos kaki yang tidak dapat lagi menghalau hawa dingin karena berembun. Saya akhirnya bisa merebahkan badan dan memejamkan mata. Lalu tertidur entah pukul berapa.
Ketika matahari sudah meninggi.
Hampir pukul empat pagi, ketika akhirnya saya sepenuhnya terbangun dan melepaskan diri dari hangat sleeping bag. Lalu mempersiapkan diri untuk naik ke puncak Sikunir. Ya, sebenarnya saya malas untuk naik, tapi Febi akhirnya berhasil sedikit memaksa saya untuk menemaninya. Maklum, ini pertama kalinya dia kesini. Dan golden sunrise Sikunir memang sangat sayang untuk dilewatkan begitu saja.

Kami mulai melangkahkan kaki di kegelapan, ditemani seberkas cahaya senter yang juga pinjaman. Baru beberapa puluh meter berjalan, Febi sudah terlihat kepayahan. Dan kami pun berhenti sejenak untuk mengambil napas, membiarkan para wisatawan lainnya yang rupanya masih cukup banyak yang belum melakukan pendakian, mendahului kami.

Di tengah suhu yang menusuk tulang, Febi mengeluh susah untuk bernapas dan sedikit mual. Karena kadar oksigen yang memang cenderung tipis di ketinggian lebih dari 2000 mdpl ini. Bukan karena beratnya medan yang kami lalui. Terlebih kondisi jalur sudah cukup mengalami perbaikan yang cukup signifikan, dibanding pada 2014 silam. Seperti paving block yang sudah terpasang rapi, dan penambahan pegangan dari tali tambang di beberapa tempat.

Langkah demi langkah terus kami tapaki, sambil sebisa mungkin mengatur napas dengan baik agar tidak kepayahan. Sekitar 40 menit kemudian, tanpa terasa kami akhinya sampai di puncak. Padahal jalan kami terhitung sangat santai. Sesekali berhenti untuk mengambil napas, ataupun sedikit tersendat karena banyak pengunjung lain yang break di tengah jalan.

Di puncak Sikunir itu sendiri, sebenarnya terdiri dari beberapa bukit kecil yang biasa menjadi spot untuk menunggu sunrise. Celakanya, tempat-tempat tadi sudah penuh berjejalan berbagai macam rupa manusia begitu kami sampai. Tentunya dengan gadget dan kamera masing-masing.

Tak kebagian tempat, kami memilih untuk melipir daripada menanggung resiko jatuh ke jurang karena tersenggol pengunjung lain yang begitu antusias berdesak-desakan, seiring semburat jingga yang mulai muncul di cakrawala. Sementara kami hanya bisa menyaksikan punggung-punggung dan tangan-tangan yang menjulurkan kamera masing-masing ke atas demi mencari sudut yang pas untuk mengambil gambar terbaik.

Tak apa, memang sudah menjadi resiko ketika berpergian bertepatan dengan long weekend seperti ini. Pasti ramai. Toh, saya masih bisa menikmatinya dengan cara lain. Dengan bibir yang hampir beku dan jari tangan yang nyaris mati rasa. Saya menikmatinya, saya merayakan dingin yang menusuk tulang di September tahun ini. Dan secara kebetulan Dieng lah yang kali ini menjadi tujuan saya.
Ibu penjual tempe kemul.
Satu-dua jepretan saya rasa cukup, ketika kami akhirnya mendapatkan sedikit celah untuk sekedar mengabadikan sunrise pagi itu. Meski sebenarnya matahari sudah agak tinggi, sebelum kemudian memutuskan untuk segera berbegas turun. Perjalanan turun pun tak semudah yang dibayangkan. Antrian yang mengular cukup panjang, mau tidak mau harus membuat kami sedikit bersabar dan lebih berhati-hati.
Menatap keheningan.

Tenda yang berwarna-warni.
Telaga Cebongan di pagi hari adalah pesona lain yang tak bisa dilewatkan begitu saja. Karena itulah kami segera bergegas turun dari puncak. Meski matahari bersinar terang, namun hawa dingin tetap saja senantiasa menyergap. Lalu menyalakan kompor di depan tenda, kembali menjerang air untuk menyeduh teh. Dan Indomie rebus kembali menjadi penyelamat perut kami pagi itu.

Urusan perut selesai, kini saatnya mengemas kembali peratalan. Sebelum pulang, alangkah baiknya menyempatkan diri untuk mampir sebentar di salah satu obyek wisata lainnya yang ada di datatan tinggi Dieng. Telaga Warna menjadi pilihan kami. Selain mudah diakses, tiket masuknya pun masih tergolong murah. Saya hanya merogoh kocek sebesar Rp. 17.000 untuk dua orang.
Telaga Warna dan keheningannya.
Bukan pamer ya :p
Perpaduan antara alam dan udara sejuknya, tak jauh berbeda ketika saya mengunjunginya dua tahun yang lalu. Suasana mistis nan hening pun sesekali masih terasa di antara gelembung air telaga yang berwarna kehijauan dan pepohonan yang rindang. Padahal pagi itu cukup ramai wisatawan.


Tapi kami tak bisa berlama-lama. Setelah berkeliling sejenak, lalu menikmati jagung bakar di tepi telaga. Kami segera bergegas karena perjalanan kami masih panjang. Menempuh 130 kilometer berikutnya untuk tiba kembali di rumah.

Makan jagung bakar.
Pada akhirnya, saya harus legowo September datang lagi. Merayakannya di antara kabut Dieng dan matahari yang ke sebelas di bulan September ini. Tinggal menunggu pada hitungan ke dua puluh tiga. Lalu mengucap syukur, karena Tuhan begitu baik memberi saya umur hingga dua puluh lima ini.
Sesekali menengok ke belakang itu perlu.
 

Komentar

  1. Telaga Cebongan ramai banget ya hehehehe.
    Dulu pas ke Dieng aku lewat Ngadirejo - Tambi - Dieng (karena nginep di Ngadirejo) pakai motor metik, woohh enak loh yang bonceng kudu turun ahhahahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. aku jg pernah mas, pas ke prau
      dan tebak yg turun siapa?
      bawa carrier segede gaban pula hahahaha

      Hapus
  2. Keren yaa... tulisannya syahdu... etapi Mae makin hopeless, dingin banget ya?

    BalasHapus
  3. pas banget itu jagung bakarnya, boleh lah

    BalasHapus
  4. wah waktu ke dieng belum sempat ke bukit sikunir ino, aduh indahnya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pdhl ini wajib lho mbak, ketika ke dieng harus ke sikunir hehehe

      Hapus
  5. Cakep banget Sikunir ini. Semoga kebersihannya tetap terjaga

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sudah banyak tmpt sampah tersedia, tinggal bgmana manusia itu sendiri :))

      Hapus
  6. Aku kesana ga seramai itu ah.... (iyalah, traveler weekday) :p

    BalasHapus
  7. Dieng itu nggak ada matinya yak. Dulu ke Sikunir tahun 2013 weekday, cuma berdua sama temen cewek dan nggak bawa senter pula. Perjalanan absurd. Untung ketemu rombongan 5 orang jadi nebeng pencahayaan hihi. Dan sampai matahari nongol tinggi cuma kami ber7 yang ada di puncak. Bener-bener serasa milik sendiri hehe. Betewe sekarang Sikunir sudah berubah wajah yak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah iya mbak, skrg jd gak bs nikmatin suasana, terlalu rame pada foto2 doank

      Hapus
  8. artikel yang menarik, terimakasih..

    BalasHapus
  9. Semakin ingin ke Dieng setelah membaca postingan ini. Yah, untuk kunjungan pertama minimal mengikuti arus wisatawan yang ramai ke sana: kemping di pinggir telaga, berkemah, atau menyaksikan matahari terbit... setelah itu baru menggali lebih jauh ada apa saja di Dieng. Saya yakin banyak yang bisa disediakan Dieng karena tempat ini, sebagaimana namanya, adalah tanah para dewa...

    BalasHapus
    Balasan
    1. apalagi kalau pas dieng culture festival, justru ga bisa menikmati dieng itu seperti apa,
      karena dibalik festival-festival itu lah kita bisa tahu kehidupan warga setempat yang sebenarnya :)

      Hapus
  10. Jam kita samaaa. Kok bisa? :D

    BalasHapus
  11. Dieng... Salah satu tempat yang belum kesampaian didatangi.. Semoga bisa kesana tahun depan. Amiin!

    BalasHapus
  12. blognya bersih dan kece nih. cakepp..
    aku kangen sikunir. baru sekali ke sana ee

    BalasHapus
    Balasan
    1. ahahaha makasih mas hanif ^^
      agendakan kesana lagi mas, tp jgn weekend yg penting :3

      Hapus
  13. Aku merana di sikunir, kedinginan di temanin POP mie tapi tetep aja ngak tahan membeku tangan2

    BalasHapus
  14. wah pas rame" wisata ceria yah hehe.... wah ke sikunir cuma buat cek jalan dan lokasi aja abis itu pulang hehe

    BalasHapus
  15. Hmm dieng dan september. Kayak pernah mengalami.
    Sikunir itu seperti ke nglanggeran gitu ya? Bukit? Malah belum pernah. Kemarin ke prau hehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Baca Juga

Menyusuri Jejak Oei Tiong Ham, Raja Gula dari Semarang

Bersekutu dengan KM Kelimutu

Jelajah Kampung Kauman Semarang