Tentang Negeri di Atas Awan

Kaki siapa ini?

Cerita sebelumnya klik disini

Meski saya mengantuk, namun soal urusan di perjalanan seperti ini saya tetap tidak bisa tidur. Entah sudah berapa lama kami didalam bus, dan entah juga berapa jam lagi kami akan sampai di Dieng. Saya mulai gusar, karena laju bus semakin lelet saja, saat melalui tanjakan demi tanjakan. Jujur saya selalu hilang mood jika hanya menghabiskan waktu di perjalanan saja.

Pukul 14.15, akhirnya kami tiba di pertigaan Dieng. Saya merogoh ponsel di kantong celana, lalu menghubungi teman sekaligus yang akan jadi guide dadakan kami. Sebelumnya dia berpesan kalau sudah sampai di pertigaan Dieng segera mengontaknya untuk menjemput kami.

"Dingin juga ya..." Gumam saya sambil merapatkan jaket.

Padahal saat itu matahari bersinar terik. Namun saya tak merasa kepanasan, malah sebaliknya. Maklum sih karena dataran tinggi Dieng ini berada di ketinggian rata-rata sekitar 2.000 m di atas permukaan laut . Suhu berkisar 12—20°C di siang hari dan 6-10°C di malam hari. Bahkan denger-denger suhu bisa sampai 0° di pagi hari saat musim kemarau di bulan Juni-Agustus. Gak salah memang kalo banyak orang menyebut Dieng sebagai Eropa nya Jawa.

Daripada kelamaan nunggu dan jadi kedinginan mending sambil jalan ke Telaga Warna, pikir saya. Toh menurut catper-catper yang saya baca jaraknya tidak jauh dari pertigaan Dieng ini. Bisa lah di jangkau dengan jalan kaki. Namun tak berapa lama kemudian teman saya datang. Beserta satu orang temannya.

"Mas Jo, ya?" Ujarnya.

"Iya, Mas"

Namanya mas Asifi dan yang satu lagi mas Ele. Orang Dieng asli katanya. Mas Asifi saya kenal lewat Facebook, dia menawarkan untuk bisa menampung kami dan sekaligus menjadi guide dadakan.

Tak perlu waktu lama, kami segera meluncur ke destinasi pertama dengan menggunakan 2 motor. Saya tentunya berboncengan dengan Anind hehehe. Kami sampai di pelataran parkir Dieng Plateau Theater. Pikir saya, kami akan di ajak menonton film dokumenter tentang Dieng yang katanya bikin ngantuk itu. Namun mas Asifi malah mengajak kami memasuki jalan setapak di sela-sela pepohonan pinus dekat Dieng Plateau Theater.

Kami terus menyusuri jalan setapak yang agak menanjak bukit. Lalu menemukan seorang bapak-bapak di sebuah bilik kecil. Nampaknya si bapak ini yang jual togel eh tiket masuk. Mas Asifi mengajaknya ngobrol bentar sambil bisik-bisik. Saya dan Anind cuma bisa melongo.

"Ayo jalan lagi" Ujar mas Asifi.

"Mari pak" Ujar saya dan Anind hampir berbarengan. Sambil berusaha menampilkan senyum kami semanis mungkin.

Muahahaha iya kami bisa melenggang masuk tanpa membayar sama sekali :D Cukup dengan senyum manis kami *lalu muntah*

Setelah cukup ngos-ngosan, kami sampai di sebuah batu besar di tepi jurang. Oh ini toh yang dinamakan Batu Pandang itu atau lebih sering di sebut dengan Batu Ratapan Angin. Atau Batu Ratapan Jomblo?~ Dari atas sini terhampar pemandangan Telaga Warna dan Telaga Pengilon di bawah sana. Batu tersebut menjadi spot foto dengan latar belakang dua telaga tadi. Saya pun mencoba sensasi berfoto di atas batu itu. Agak ngeri juga sih kan itu diatas jurang, terus tiba-tiba saya terhempas angin kencang dan... Ah sudahlah. Ngeri ngebayanginnya. Anind sendiri takut untuk berfoto di atas batu. Saya ngakak kalo ingat mukanya yang mupeng tapi gak berani naik :D

Batu Ratapan Jomblo: Boleh pulang aja nggak? Seyem liatnya :(
Setelah puas berfoto dan menikmati pemandangan Telaga Warna dan Telaga Pengilon dari ketinggian, sekarang saatnya melihat lebih dekat. Tapi kami tidak lewat pintu depan yang notabene harus membayar tiket masuk. Melainkan lewat jalan tembus menyusuri hutan-hutan, yang menurut saya jarang dilewati (Jangann dicontoh ya hihihi :D) Sesekali kami harus berjalan menunduk melewati beberapa pohon tumbang dan lapuk.

Ada Anind di balik batu  :p
Pengen nyebur, mas? :p
Jika dilihat dari dekat air telaga memang sedang surut. Nampak beberapa bagian dari telaga mengering. Di area 'pulau' yang terletak di antara dua telaga, terdapat beberapa gua dan sumur yang biasanya dijadikan tempat olah spiritual. Seperti Gua Semar, Gua Pengantin, dan Gua Jaran. Ada satu hal unik nih, Telaga Warna yang airnya berwarna kehijau-hijauan karena mengandung belerang, beda banget sama Telaga Pengilon yang terletak persis di sebelahnya airnya bening seperti tidak bercampur dengan belerang.

Semarnya unyu :3
Mendung mulai menggantung ketika kami memasuki area Candi Arjuna. Yang lagi-lagi hasil bisik-bisik Mas Asif kami bisa melenggang masuk gratis hehehe. Hujan deras turun tiba-tiba ketika kami belum puas melihat-lihat candi. Alhasil kami langsung berlarian menuju tempat parkir untuk berteduh. Tapi Anind dengan santainya jalan biasa -_-

"Gimana nih ujan, istirahat dulu aja ya. 

Baru kita lanjut besok?" Tanya Mas Asifi.

"Gimana, Nind?" Gantian saya nanya minta persetujuannya.

Anind hanya mengangguk.

Ciee nyender ciee :p
Setelah agak reda, tanpa pikir panjang kami langsung meluncur menembus gerimis menuju tempat Mas Asifi di Desa Bakal.

"Brrr... dingin banget, Mas" Celetuk Anind setibanya kami di tempat Mas Asifi.

Saya juga kedinginan, celana saya basah pemirsa :(

Dua gelas teh panas tersaji di atas karpet. Kami duduk lesehan. Iya, hangat saja nggak cukup, karena dalam hitungan menit saja teh akan mendingin dengam cepat. Memang, dinginnya Dieng nggak main-main men. Dingin pake banget-banget lah. Apalagi ditambah hujan tadi. Saya nyesel nggak bawa jaket tebal :(

Usut punya usut, tempat kami tumpangi ini adalah rumah Mas Asifi yang sekaligus dijadikan Basecamp Bakal Adventure. Nama Bakal di ambil dari nama Desa ini, Desa Bakal Kecamatan Batur, Banjarnegara. Di Basecamp ini juga menyediakan persewaan alat pendakian selain menawarkan jasa guide dan porter pendakian Gunung Prau. Kadang mereka juga sering mengadakan open trip pendakian Gunung Prau, yang pesertanya kebanyakan dari Jabodetabek. Gunung favorit orang sana kata Mas Asifi.

Setelah makan malam bersama seadanya, kami lanjut mengobrol sambil ngopi. Beberapa teman dari Bakal Adventure lainnya juga ikut bergabung, seperti Mas Lucky, Mas Endo, dan lainnya (baca: lupa) Saya hanya bisa menyimak ketika mereka berbagi pengalamannya mendaki gunung. Tentunya dengan bahasa ngapaknya. Hampir semua puncak-puncak di tanah Jawa sudah mereka tapaki.

"Target kami akhir tahun nanti mau ke Raung" Ujar Mas Lucky.

"Anind pernah Mas, ke Raung tapi nggak sampe puncak sih kehabisan air. Nggak ada sumber air disana mah" Sahut Anind.

Saya melongo, ternyata saya berada di tengah-tengah para pendaki. Cuma saya yang belom pernah naik gunung -_-

Hujan rintik masih saja menemani obrolan kami, ketika menyadari jam dinding menunjukan waktu hampir tengah malam dan kopi pun hanya menyisakan ampas. Saatnya kami beristirahat. Meski sudah pake selimut setebal karpet, saya masih kedinginan. Sementara Anind enak dapat pinjeman jaket bulu angsa yang katanya anget banget itu, lalu ditambah masih pake sleeping bag pula.

Jum'at, 31 Oktober 2014

Hujan yang tak kunjung reda hingga pagi menjelang sukses menggagalkan rencana kami yang tadinya mau ngejar sunrise Sikunir. Ah bodo amat, mending narik selimut lagi. Dinginnya minta ampun men! Bikin susah move on dari mantan eh selimut.

Hari kedua di Dieng, kami sempatkan mencicipi mie Ongklok yang terkenal sebagai makanan khas Wonosobo. Rasanya mantap menurut saya. Tapi ada sedikit rasa asep karena dimasak menggunakan arang.

Antara asap, batu cinta dan dua manusia random :D
Lalu mengunjungi Kawah Sikidang ditemani guide kami tercinta, Mas Asifi. Di kawah ternyata nggak ada apa-apanya selain asep doank dengan bau belerang yang cukup menyengat. Iyalah mau cari apaan emang di kawah ginian?

"Eh apa sih itu?" Tunjuk saya ke sejenis bunga-bungaan warna-warni yang dijual salah satu pedagang.

Yang kemudian saya tahu itu adalah Edelweiss yang diberi pewarna. Kok boleh dipetik dan dijual? Bukannya dilarang ya? Iya, mereka sengaja menanamnya untuk dijual sebagai souvenir. Oh baru tahu.

Tujuan kami selanjutnya Sumur Jalatunda. Sumur raksasa yang terletak di Desa Wisata Pekasiran, Kecamatan Batur, Banjarnegara ini berdiameter lebih dari 90 meter. Sementara kedalamannya belum diketahui. Sama kayak dalamnya hatimu yang nggak bisa ditebak *halah Sumur dengan warna air hijau pekat ini terbentuk karena letusan vulkanik beberapa juta tahun yang lalu. Lalu lama kelamaan terisi air hujan sampai seperti sekarang ini.

Nah menariknya ada mitos yang mengatakan jika seseorang bisa melemparkan batu sampai seberang sumur maka keinginannya akan terkabul. Saya pun iseng mencoba melempar sebuah batu, kayaknya sih gampang *sombong* Eh tapi batu seolah lenyap diantara rimbun pepohonan sisi terdekat sumur. Dan bukannya ketengah apalagi ke sisi seberang. Saya coba lempar lagi, eh kok gitu? Saya lempar lagi, gitu terus sampai... kiamat. Pertanyaan saya adalah ini katanya sumur kan ya? Terus nimbanya gimana? *lalu digetok pake batu*

Menjelang sore kami juga menyempatkan lagi ke Kompleks Candi Arjuna, karena kemarin belum puas gegara hujan. Kompleks Candi ini sendiri terdiri dari beberapa buah Candi, diantaranya Candi Semar, Candi Srikandi, Candi Puntadewa, dan Candi Sembadra. Ada pula Candi Setyaki yang letaknya agak terpisah dari kompleks utama. Kasihan ya, dicuekin temen- temennya :(

Candi dan reliefnya
Di dekat Kompleks Candi Arjuna, terdapat juga sebuah telaga. Telaga Balekambang namanya, yang airnya digunakan untuk pengairan bagi ladang-ladang warga. Di pinggirnya teronggok beberapa sepeda air berbentuk bebek-bebekan, namun sayang dibiarkan rusak terbengkalai begitu saja. Kan romantis misalnya bisa main bebek-bebekan itu gitu berdua uwuwuwuw :3

Sebenarnya masih banyak lagi yang bisa di explore, seperti yang dijelaskan Mas Asifi sebelumnya. Misalnya Telaga Dringo, yang katanya mirip dengan Ranu Kumbolo KW super versi Dieng. Sunrisenya juga nggak kalah keren. Lalu ada beberapa curug atau air terjun tersembunyi, bahkan ada yang mengalirkan air hangat. Namun karena aksesnya yang susah kami urungkan niat kami kesana.

Sabtu, 1 November 2014

Tepat jam 3 pagi alaram HP saya berbunyi. Tapi rasanya enggan lepas dari pelukan selimut. Ciee dipeluk ciee Saya bergegas cuci muka sekenanya. Gila apa mau mandi pagi-pagi buta gini di Dieng? Dikira lagi ice bucket challenge? Airnya dingin kayak air es men! Lha wong saya 2 hari juga nggak mandi :D Jorok biarin dah :p

Kali ini ditemani Mas Endo juga, kami berempat menggunakan motor menembus dingin pagi buta menuju Desa Sembungan, desa yang katanya tertinggi di Pulau Jawa. Di desa itulah Bukit Sikunir berada. Perjalanan memakan waktu sekitar 15 menit. Mulai dari lewat jalan aspal mulus, aspal rusak, jalan berbatu sampe jalan penuh dengan kenangan masa lalu *lah

Setibanya di area parkir sudah banyak kendaraan baik roda dua maupun roda empat sudah terparkir rapi disana. Wah kami termasuk yang telat naik. Mas Endo langsung ngacir jalan duluan, sementara saya, Anind dan Mas Asifi jalan belakangan. Treknya berupa tanah yang dibuat berundak-undak. Agak licin juga sih karena masih basah sehabis hujan kemarin. Di beberapa titik juga sudah dibuatkan pegangan dari bambu dan kayu yang cukup membantu para wisatawan. Saya nggak mau kalah donk sama Mas Endo, saya membalap beberapa orang. Tapi nggak lama kemudian saya lelah,  letih, lesu *Lah, napas saya engap.

Jingga yang mengintip
Bukit Sikunir ini sendiri memiliki ketinggian 2463 meter di atas permukaan laut. Yang katanya Golden Sunrise terbaik se-Asia Tenggara bisa disaksikan disini. Treking selama hampir 40 menit, akhirnya sampai puncak juga. Sedikit telat karena matahari sudah muncul. Yaelah ini mah pasar, rame bianget. Ada yang jualan pula di atas sini. Terus banyak yang ribut foto-foto sampe heboh. Segitunya ya? Untung saya nggak khilaf jorokin mereka ke jurang. Jepret sana jepret sini. Dari yang pake kamera DSLR canggih, Iphone, Samsung, Andromax sampai hape Siemens yang masih pake antena. Bisa-bisa mereka lupa menikmati proses bagaimana matahari terbit itu sendiri? Entahlah itu urusan mereka. Saya pun hanya mendapatkan beberapa jepretan karena battery kamera digital saya keburu habis, semalam lupa ngecas :(

Mungkin saya harus menikmatinya dengan cara saya sendiri. Memotret seperlunya, lalu meletakkan kamera. Menyaksikan salah satu dari sekian banyak keindahan negeri ini dengan mata kepala saya sendiri dan mengabadikannya dalam ingatan :) Dari atas sini, seolah berdiri di atas lautan awan. Beberapa gunung juga terlihat di kejauhan.

Mencumbu jingga :*
Pukul 7 pagi, ketika matahari semakin meninggi saja, kami memutuskan untuk turun. Meskipun masih kerasa dinginnya, tapi kelamaan di kulit kerasa kebakar. Yaelah bilang aja takut item. Turunnya musti lebih hati-hati karena kalo nggak bisa kepleset dan nggelinding.

"Mas, tolongin donk..." Ujar emak-emak di belakang kami.

Nampaknya dia cukup kesulitan menapaki jejak kenangan eh trek tanah basah yang licin. Pantes aja di tinggal sama rombongannya, naik ginian masa iya pake flat shoes? Terus saya sukses deh tuh menggandeng emak-emak itu sampe bawah. Cieee gandengan cieee ~

Telaga Cebongan di bawah sana
Tanpa ba bi bu kami segera bertolak dari Desa Sembungan kembali ke basecamp untuk berkemas, karena kami harus pulang ke kota masing-masing pagi itu juga.

Selesai berkemas kami tak lupa pamit dan berterimakasih pada temen-temen Bakal Adventure yang telah menjamu dan bersedia menampung kami para gembel hina dan tak tahu diri ini :D

"Di cek lagi barangnya, kali aja ada yang ketinggalan" Ujar Mas Asifi.

"Ada, Mas. Kenangan" Sahut Anind.

Perjalanan pulang kami masih panjang, sempat pula dihadang macet karena longsor dan acara karnaval. Saya dan Anind berpisah di Terminal Magelang. Sebelum saya berganti bus jurusan Semarang, sedangkan Anind sendiri naik bus menuju Madiun untuk mampir ke tempat saudaranya.

"Oke, ati-ati ya. Kasih kabar kalo udah sampe" Ujar saya.

"Makasih, Mas. Kapan-kapan jalan bareng lagi ya.."

Setibanya di rumah saya sadar..
Tak sekali pun kami sempat berfoto bersama. Bye!

Tamat

Komentar

  1. kereeeeeennn.. budalinn!!

    BalasHapus
  2. kereeeeeennn.. budalinn!!

    BalasHapus
  3. Suamiku yang pernah ke sana. Aku belum. Jadi pengen ke sana, semoga suatu saat. Kebetulan sekarang lebih deket he he.
    Btw itu fotonya keren banget.
    Suwun mas :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Baca Juga

Menyusuri Jejak Oei Tiong Ham, Raja Gula dari Semarang

Bersekutu dengan KM Kelimutu

Jelajah Kampung Kauman Semarang