Tak Ada Pulang yang Benar-benar Jauh

Tak Ada Pulang yang Benar-benar Jsuh

Stasiun Purwosari, pukul tujuh pagi. Adalah sepi di beberapa sudutnya. Pada musim mudik seperti ini, stasiun-stasiun kereta biasanya akan disesaki oleh calon penumpang yang akan kembali ke kampung halamannya masing-masing. Setidaknya itu yang saya bayangkan. Namun hal itu tidak saya temukan di Stasiun Purwosari, pukul tujuh pagi.

Beberapa calon penumpang tampak kebingungan di depan chek in counter. Sementara yang lain terlihat kerepotan membawa barang bawaan mereka yang menggunung. Sedangkan saya yang baru saja tiba, memilih untuk langsung menghadap meja pemeriksaan tiket.

Hanya segelintir calon penumpang yang telah berada di ruang tunggu, selebihnya hanya bangku-bangku kosong tak berpenghuni. Sepertinya memang tak banyak jadwal keberangkatan kereta. Atau mungkin saja tak banyak orang yang melakukan perjalanan mudik pagi itu. Terlebih pada jam yang masih berdekatan dengan pelaksanaan sholat ied.
Stasiun Purwosari
Stasiun Purwosari, pukul tujuh psgi.
Stasiun Purwosari
Bangku-bangku tak berpenghuni.
Selang beberapa saat, kereta api Sri Tanjung yang dinanti-nanti pun akhirnya tiba, memasuki jalur dua Stasiun Purwosari. Berhenti sejenak, sebelum melanjutkan perjalanan menuju ujung timur pulau Jawa. Saya dan para penumpang lainnya beringsut memasuki gerbong masing-masing.

Kereta api Sri Tanjung adalah kereta kelas ekonomi yang melayani rute Lempuyangan-Banyuwangi dan sebaliknya. Diambil dari nama tokoh dalam cerita rakyat Banyuwangi, total jarak yang ditempuh adalah sekitar 614 km selama lebih dari 13 jam perjalanan. Melewati hampir 30 stasiun pemberhentian di dua provinsi.

Peluit ditiup, semboyan 35 dibunyikan, kereta pun mulai bergerak perlahan. Saya sudah duduk manis di gerbong nomor 6. Sementara itu saya mendapati gerbong lengang, bangku di depan saya pun masih kosong melompong. Tapi jangan senang dulu. Karena dalam perjalanannya, kereta Sri Tanjung masih akan berhenti di banyak stasiun untuk menaikturunkan penumpang.
Jendela Kereta
Perjalanan masih panjang.
Saya sebenarnya membawa sebuah buku untuk dibaca, sekedar membunuh bosan. Tapi saya memilih melongkokkan pandangan keluar. Menikmati pemandangan sepanjang perjalanan dari balik jendela adalah romantisme tersendiri bagi saya. Seakan menyaksikan sebuah rol film yang diputar oleh proyektor imajiner bernama kereta api.

Di kejauhan, persawahan yang membentang luas tampak mulai menguning. Perbukitan yang hijau, sungai, hutan hingga pemukiman silih berganti sepanjang perjalanan. Sementara itu di sisi lainnya, deretan alat berat membuka lahan untuk proyek rel jalur ganda lintas selatan Jawa. Jika proyek ini selesai, diharapkan perjalanan kereta lintas selatan Jawa menjadi semakin lancar.


*****

Sri Tanjung memasuki pemberhentian berikutnya, yaitu Stasiun Sragen. Beberapa penumpang naik, bangku di depan saya pun akhirnya ditempati oleh sepasang suami istri.
Rel Ganda
Rel ganda.
Dari pertanyaan basa-basi “Turun dimana?”, obrolan pun mengalir di antara kami. Atau lebih tepatnya, mereka yang lebih banyak bercerita. Sedangkan saya, lebih suka mendengarkan dan sesekali menimpali. Sekedar mengusir rasa bosan, karena perjalanan masih cukup panjang.

Rochim sang suami, sehari-hari bekerja sebagai guru honorer di sebuah SMP swasta di Sragen. Ia berasal dari daerah Genteng, Banyuwangi, telah lama mengakrabi kereta Sri Tanjung. Tepatnya sejak memutuskan untuk berkuliah di Yogyakarta. Sedangkan bagi istrinya, ini adalah pengalaman pertamanya naik kereta untuk mudik ke kampung halaman sang suami, setelah hampir lima tahun menikah.
Pemandangan Sepanjang Perjalanan
Mengintip gunung.
“Jauhnya itu lho, Mas,” Ria sang istri berkilah, ketika saya bertanya mengapa selama ini enggan untuk diajak mudik, terutama naik kereta.

Selain itu, di benak Ria kereta ekonomi adalah transportasi yang jauh dari kata nyaman. Panas, berbau, sesak hingga lorong, bordes bahkan atapnya. Tapi sebenarnya gambaran itu sudah tidak berlaku lagi di era sekarang.
Baca Juga: Ayo Naik Kereta Api
Dalam satu dekade terakhir, angkutan perkeretaapian mengalami kemajuan yang cukup pesat. Fasilitas dan layanan kereta api terus diperbaiki. Tak ada lagi penumpang yang berdesak-desakan di dalam gerbong, karena di setiap tiket sudah tertera nomor bangku masing-masing. Di setiap gerbong pun kini telah dilengkapi pendingin udara, agar penumpang tidak kegerahan selama dalam perjalanan.

Hal ini diamini oleh Rochim, yang selama belasan tahun selalu menggunakan kereta api setiap kali mudik. Harganya yang murah menjadi pertimbangan utamanya. Sekarang ia merasakan betul bagaimana kereta api menjelma sebagai transportasi yang manusiawi.

“Tapi ya ndak bisa ngambing lagi, Mas..” Kenang lelaki 31 tahun tersebut, seraya terkekeh pelan. Demi mudik, ia pernah menjadi penumpang gelap di kabin lokomotif. Tentu saja dengan menyogok beberapa lembar rupiah kepada petugas.

Bagi Rochim sendiri mudik bukanlah suatu pilihan, melainkan sebuah keharusan. Meski harus berjuang belasan jam dan jarak ratusan kilometer. Hidup di perantauan selama belasan tahun, tidak lantas membuatnya lupa akan kampung halaman. Justru sebaliknya, karena niat awal merantau adalah mencari penghidupan yang lebih baik. Maka pulang adalah salah satu caranya untuk bersyukur.


*****

Roda-roda baja terus berputar menyusuri rel. Sesekali berhenti kembali di beberapa stasiun, baik untuk menaikturunkan penumpang maupun bersilang dengan kereta lain yang berlawanan arah. Ya, beginilah nasib kereta api kelas ekonomi macam Sri Tanjung, yang harus mengalah dengan kereta-kereta yang kelasnya lebih tinggi.
Kereta Krakatau di Stasiun Madiun
Kereta Krakatau yang sedang menunggu silang.
Selepas Stasiun Madiun, Sri Tanjung terus bergerak ke arah timur. Melewati kota-kota kecil di poros tengah Jawa Timur seperti Nganjuk, Kertosono hingga Jombang. Gerbong yang semula lengang pun menjadi semakin semarak, seiring dengan bertambahnya penumpang yang naik. Terlebih lagi dengan banyaknya penumpang yang membawa serta anak mereka.

Tangisan, celoteh hingga tingkah lucu mereka terdengar di hampir seluruh penjuru gerbong. Para orangtua pun tak kalah sibuk. Menyeduh susu dengan air panas yang telah disiapkan dari rumah, memberikan mainan terbaik mereka, hingga berjalan sempoyongan di lorong gerbong sambil menggendong sang anak untuk menenangkannya.


*****

Lewat tengah hari, kereta merapat di Stasiun Surabaya Gubeng. Itu berarti separuh perjalanan telah terlewati. Disini Sri Tanjung herhenti cukup lama, sekitar 30 menit. Di antaranya karena melakukan perpindahan posisi lokomotif serta pengisian ulang air untuk kebutuhan toilet di masing-masing gerbong.
Baca Juga: Bandung Tahun Lalu
Saya dan beberapa penumpang lain memanfaatkannya untuk turun sejenak, sekedar meluruskan kaki yang mulai pegal. Ternyata cukup banyak penumpang yang naik maupun turun di salah satu stasiun tersibuk di Jawa ini.
Stasiun Surabaya Gubeng
Berhenti di Surabaya Gubeng.
Kereta kembali melaju, kali ini mengarah ke selatan. Melewati daerah Sidoarjo hingga Kabupaten memasuki Kabupaten Pasuruan. Lalu berbelok ke arah timur kembali selepas Stasiun Bangil, yang merupakan percabangan dua jalur. Menuju Banyuwangi dan Malang.

Saya memilih untuk memejamkan mata sejenak. Sementara aroma makanan menguap di penjuru gerbong. Para penumpang yang mulai kelaparan, membuka bekal makanan yang sengaja mereka bawa untuk disantap di perjalanan.

“Mari makan, Mas..” Sapa seorang ibu paruh baya yang duduk di sebelah saya.

Sejak diberlakukannya peraturan baru, tak ada lagi pedagang asongan yang bisa berkeliaran bebas di stasiun. Sedangkan bagi penumpang kereta kelas bawah, harga makanan di gerbong restorasi dirasa terlampau mahal. Mereka pun terpaksa memutar otak, mengandalkan bekal makanan yang sengaja dibeli di luar stasiun atau bahkan disiapkan dari rumah.


*****

Di luar jendela, malam semakin pekat ketika kereta memasuki wilayah Tapal Kuda. Tak ada lagi yang bisa dilihat selain gelap. Gerbong sunyi. Beberapa penumpang terlelap dalam tidurnya, sementara yang lain masih terpekur pada layar gawainya dengan wajah layu.

Saya salut melihat ketabahan mereka melakoni ritus tahunan bernama mudik atau pulang kampung ini. Setahun sekali, mereka akan menyesaki stasiun kereta hingga bandar udara. Membanjiri terminal bus hingga pelabuhan laut. Demi sebuah kepulangan.
Stasiun Karangasem
Gelap di sudut Stasiun.
Melipat jarak ratusan kilometer. Menantang belasan bahkan puluhan jam. Demi sebuah tempat untuk sekedar meletakkan lelah sejenak. Saya kira memang tak ada seorang pun yang rela melewatkan momen hari raya bersama keluarga dan sanak saudara.
Baca Juga: Merayakan September, Merayakan Hidup
Sementara itu, jalan pulang yang harus saya tempuh tak sesulit para pemudik itu. Karena saya memang belum pernah merasakan hidup di perantauan yang jauh dari rumah. Sedangkan pada hari raya tahun ini, saya malah berakhir seorang diri di dalam gerbong tua yang sedang melaju menuju ujung timur Pulau Jawa.

Pulang sesungguhnya bukan hanya tentang jarak semata, melainkan kembali pada diri kita masing-masing. Pulang adalah masalah hati. Karena sebenarnya, tak ada pulang yang benar-benar jauh.
Pantai Boom Banyuwangi
Menyapa pulau seberang.

Komentar

  1. Aku ngiri, daerahnya masih bisa menikmati naik kereta sambil lihat sawah gitu, sudah lama banget aku gak ngerasain, kangen daerah jatim

    BalasHapus
  2. Kita gak pulang benar-benar pulang kok..
    Kita hanya numpang transit di dunia ini..

    BalasHapus
  3. Ke Banyuwangi? Wah kota kelahiranku. Jadi ingin naik kereta lagi, satu2nya transport darat paling nyaman di Jawa ☺

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bus di jawa juga ga mau kalah bersaing kok mas, bus juga nyaman sekarang.

      Hapus
  4. Perjalanan dengan kereta api selalu memberi cerita dan kesan

    BalasHapus
  5. Kalo yg baca anak kossan pasti baper dan mewek ini mas.
    Sejauh apapun kita pergi, pulang emang segalanya ����

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kok ga ada yg nanya lebaran aku malah pergi ya :'D

      Hapus
  6. "Dan lalu rasa itu tak mungkin lagi kini tersimpan di hati bawa aku pulang, rindu. Bersamamu" #nyanyi.

    Tulisanmu iki apik Jo *acungin jempol... kaki* :D

    BalasHapus
  7. Betul mas.. tak ada pulang yang benar2 jauh.. tergantung dari niat..

    BalasHapus
  8. Pulang itu membawa cerita selama bertahun-tahun, dan hanya diceritakan sepanjang obrolan di rumah. Pun dengan balik, semua cerita itu hilang berganti dengan cerita lain.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Pulang itu mengumpulkan remah2 kenangan ya mas

      Hapus
  9. Dalam dan panjang. Cerita yang menyentuh dari sekedar kata "Pulang"

    BalasHapus
  10. Indaaaahhh banget artikel ini :)
    Kindly visit my blog: bukanbocahbiasa(dot)com

    BalasHapus
  11. ahhh aku pun baru sekali naik kereta api kemarin, naik kereta api pagi Fajar Utama dari stasiun senen ke purwokerto dengan tujuan akhir jogjakarta, berada di kelas bisnis, serasa longgar, duduk di dekat jendela, banyak kursi kosong bahkan di kursi sebelah...menyenangkan rasanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah iya, kelas bisnis menurutku amat lega. Sayang kelas ini akan dihapus perlahan oleh KAI

      Hapus
  12. "Pulang" kata yang selalu terngiang di telinga bagi seorang diperantauan.
    Salam kenal ya,#BlogWalking

    BalasHapus
  13. Ngalir banget bahasanya. Betah banget bacanya. Terbayang bagaimana rasanya jadi pemudik. Dan closing image-nya, aaahhh ... memunculkan rindu.

    BalasHapus
  14. Wah, masnya orang Banyuwangi ya?

    Tahun lalu aku pernah naik Sri Tanjung dari Lempuyangan sampai ke Karangasem. Kereta ini memang terbaik. Puas rasanya, bayar 100 ribu bisa duduk hampir 16 jam di atas gerbong :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bukan mas. Saya semarang kok. Ini karena saya ga merayakan lebaran jadi main sendiri, dan merasakan bagaimana pengalaman mudik orang lain hehe

      Hapus
  15. Tak ada pulang yang benar-benar jauh...Dalem banget!:)..Saya mudik pengennya naik kereta Mas, Tapi dari Jakarta ke Madiun itu sulitnya nyari tiketnya..hadeh..Akhirnya kalau pulkam selain lebaran baru menikmati kereta api yang kini nyaman sekali. Btw, trims ceritanya jadi ikut bayangin naik Sri Tanjung saya...:)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe makasih mbak.
      Kalo mudik lebaran sih memang H-90 biasanya juga langsung ludes. Apalagi dari arah jakarta.

      Hapus
  16. Sri Tanjung bikin kangen pulang. Bahkan dulu aku pernah bikin cerpen judulnya Titip Rindu pada Sri Tanjung.

    BalasHapus
  17. seru memang jika mudik menggunakan Trasportasi Umum, utamanya kereta Api yang saat ini lebih baik pelayanannya namun butuh waktu tempuh yang lumayan lama. tapi bebas macet heee ...
    salam kenal ...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal kembali hehe.
      Betul kereta adalah transportasi anti macet. Kalo ada gangguan pun sekarang sudah jarang.

      Hapus
  18. Tulisannya bagus mas, dalem juga :D kalau ane pulangnya bisanya pake pesawat atau bis hehe kereta ga ada yang ke Sumatera hehe, paling ke Jakarta dulu, tapi repot juga, harus naik pesawat lagi atau bus lagi, mending dari Jogja langsung naik pesawat atau bus, buspun nyampe 2 hari 2 malem, kalau macet bisa nyampoe 3 hari tuh, mending naik pesawat kalau ane :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai makasih sudah mampir.
      Waaah iya bus ke sumatra berhari2 di jalan ya. Jawa belum ada apa-apanya :D
      Karena sumatera itu jauuh lebih luas drpd di jawa

      Hapus
  19. sebab sebaik-baik tujuan perjalanan adalah pulang

    BalasHapus
  20. Banyuwangi, kalisetail dimana aku keluar menghirup udara dunia. Ah rasa ingin mudik kalo baca cerita perjalanan mudik ini.

    Jadi rindu rumah dan segera memeluk ibu yang senantiasa menunggu

    BalasHapus
  21. Momen favorit saat dikereta mas ya, memandang hamparan hijau yang luas nan menyejukkan. Apalagi kalau beruntung pas dapet senjaa, uuuh istimewa bangeeeet itu :D hehehe

    Epilognya manis banget, memang benar pulang adalah masalah hati. tak ada yang benar-benar dekat. Pun tak ada yang jauh sekalipun. Jarak semu, melipat kenangan bersama rindu. Ah, pulang selalu jadi momen yang selalu kurindukan. Pulang ke kampung halaman.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku malah beberapa kali dpt sunrise hehe soalnya sering naik kereta pas malam.

      Pulang itu sakral ya mbak

      Hapus
  22. Wah Mas Jo bersama Sri Tanjung ke Banyuwangi nih. Kereta sekarang jauh lebih nyaman ya Mas. Enjoy ujung Timur Jawa ya Mas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya sebenernya ingin menikmati perjalanan keretanya mbak prih, banyuwangi hanya transit hehe.

      Hapus
  23. ku alunkan rinduku selepas aku kembali pulang, tak akan ku lepaskan dekapku, karena ku tahu aku pasti merindukanmu seumur hidupku, selama-lamanya.....


    aih tulisannya manis banget jo. iya, tak ada pulang yang benar2 jauh. tapi bagaimana jika ternyata kita tak punya hati yang bisa dituju?

    BalasHapus
  24. Jangankan naik kereta, bahkan nyeberang rel apalagi pas palang ditutup karena kereta lewat aja sampai sekarang masih merinding :')

    Baca ini saya malah semakin penasaran, bagaimana "pulang" dalam hati dan pandangan mereka yang benar benar pulang

    BalasHapus
  25. Mas Jo semacam meresapi banget sebagai pelaku pemudik yaaa wkwk padahal ga ngrasain mudik-mudikan. Aku jadi ngebayangin pas Mas Jo ngobrol sama Mas Rochim dan mbak Ria haha yaaa bener, mesti lebih banyak le mendengarkan :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, emang sengaja sih karena aku ga ngerayain lebaran, jadi aku semacam ingin merasakan pengalaman mudik mereka. :D

      Hapus
  26. Mampir ke sini jd kangen sama kereta sri tanjung. Transportasi waktu ke banyuwangi, jalur2 yg ditempuhnya agak berbeda gitu

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini pertamakalinya aku lewat jalur surabaya ke arah timur. Rasanya beda aja, lewat yg belum pernah dilalui.

      Hapus
  27. *menghela napas* romantis sekali tutur katanya, hehehe. Apalagi ini bercerita di atas kereta api, melewati stasiun-stasiun, bertemu orang-orang baru yang bikin cerita dan pengalaman jadi semarak :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe makasih mas.memang sengaja menyempatkan diri untuk bertemu mereka :D

      Hapus
  28. Yang khas dari kereta ekonomi itu ya itu. Ramainya. Seru. Banyak cerita. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mas, kalo eksekutif paling tanya turun dimana abis itu udah.

      Hapus
  29. kalo pas naik kereta gini mesti ingat lagunya padi mas " kulayangkan pandangku melalui kaca jendela, dari tempat kubersandar seiring lantun kereta " lupa aq judulnya apa.....

    yang membuat transportasi ini lain daripada yang lain ya itu tadi mas...ada banyak cerita "buruh laju" yang menarik untuk kita dengarkan, sebuah cerita perjuangan hidup, cerita kerinduan untuk sekedar bisa "pulang" :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Padi? Waah lupa e

      Iya mas. Pasti ga mungkin kita gatau tujuan penumpang di sekitar tempat duduk kita. Sekedar basa basi awalnya, jadi sedikit mengenal mereka hehe

      Hapus
  30. Daku rencananya mau ke Banyuwangi dan dikasih alternatif naik Sri Tanjung ini. Senang sih naik kereta, cuma mikir juga kalau 14 jam perjalanan, mesti menyiapkan jiwa raga :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Aku kalo suruh ngulangi naik sri tanjung aja pikir2 lagi mak wkwkwk.

      Hapus
  31. mas Jo, asli mana e mas? kok mudik ke arah timur segala?

    bener, emang melihat pemandangan luar saat kereta berjalan itu adalah salah satu hal sakral yang wajib dilakukan, apalagi kalau dapet viewnya pas pemandangan alam. beuh! sadap!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini bukan dalam rangka mudik mas wisnu, tapi merasakan ikut mudik hehehe
      Selain pemandangannya juga orang-orangnya. Pasti ada cerita.

      Hapus
  32. kalau ke Bondowos mampir om ke gubukku ,.. nantik tak ajak ke tempat yang keren ....

    BalasHapus
  33. Naik kereta itu memang banyak ceritanya, ya.

    BalasHapus
  34. lengang banget ya ... sensasi mudiknya ga berasa .. haha
    kalau saya mudik hampir selalu dua kali dalam sekali lebaran ... ke kampung istri yang jauh dan ke kampung saya yang dekat :)

    BalasHapus
  35. Paragraf endingnya bagus banget!
    Btw,memang kereta api Indonesia udah mengalami kemajuan cukup pesat dibandingkan 10 tahun lalu. Dulu kalau naik KRL Jabodetabek ekonomi suka bareng ayam jago. T.T

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehe makasih.

      Dulu gerbong ekonomi itu memang ga manusiawi banget.

      Hapus
  36. belum kesampean naek sri tanjung, tapi kok ya itu relasinya jauh banget.
    ML-BWI aja udah lama eh ini dilanjut mpe LPN
    Tapi Krakatau lebih jauh lagi, itu hampir sepulau Jawa ya
    asyik emang mas, apalagi klo mudik ke kampung halaman

    BalasHapus
    Balasan
    1. Krakatau 900km lebih. Tapi sayangnya udah almarhum keretanya hehe.
      Betul, dr sri tanjung memang jauh dan lama. Soalnya jalurnya juga belum double track, jd masih banyak silang.

      Hapus
  37. kalau pulang memang rasanya ngangenin banget apalagi buat anak rantau kayak saya

    BalasHapus
  38. Bahkan untuk stasiun kecil, kebersihannya oke ya. Bener2 PT KAI kita bekerja dengan baik. Dan semoga kian baik. Aku suka deretan kursi yang ada di sana. Instagrammable banget hahaha

    omnduut.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. kursi peninggalan belanda itu om masih awet

      Hapus
    2. udah bagus tuh untuk foto2

      Hapus
  39. kereta api adalah transportasi favorit sayaaaa! :D sebenernya defisini pulang kalau buat saya kerasa kalau: punya kampung halaman & punya seseorang yang kita cintai buanget (halah). jauh pun terasa sepadan sama jarak tempuhnya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe kereta semakin menjadi primadona nih, meski harganya semakin naik :3

      Hapus
  40. Sudah lama nggak naik kereta. Ada suatu masa ketika kenangan bersama kereta melintas lalu hilang.

    BalasHapus
    Balasan
    1. coba berpergian naik kereta lagi mbak. apalagi sama anak-anak pasti pada seneng :D

      Hapus
  41. Sekarang naik KA emang udah nyaman banget. Cuma makanannya rada mahal di kantong.
    Beda dengan dulu, KA-nya kurang nyaman tapi harga makanannya murah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha iya, harga tiketnya pun sudah tidak bisa dibilang murah lagi

      Hapus
  42. Kenikmatan naik kereta ya itu krn bnyk pemandangan yg cantik, apalagi kalau pas matahari terbit, anak-anakku aja ketagihan..

    BalasHapus
    Balasan
    1. selain itu aku seneng ketemu dengan banyak orang dari berbagai daerah mbak hehe

      Hapus
  43. fotomu yang lagi mengintip gunung itu bagus.. endingnya memang benar pulang itu tak ada yang benar-benar jauh.. kadang waktu traveling aku pun enggan pulang :D

    BalasHapus
  44. Sritandjung memang selalu memberi pesangon berupa kalimat panjang yang terasa gatal bila tak tertuliskan nggih mas hehehe. Sedikit banyak di blog saya juga bercerita tentang Sritandjung, yang juga diawali dari Stasiun Purwosari dan gerbong - gerbong kosong hehehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. Oh iya betul. Aku udh baca mas hehe.
      Kalo aku sendiri sih, kereta pada umumny. Bukan hanya sritanjung.

      Hapus
  45. aku juga punya cerita tentang Sri Tanjung :)
    Mungkin waktu itu kita ada di satu gerbong ya, mas. Mungkin saja.

    BalasHapus
  46. Master of tulisan romantis ya dirimu mas wkkkk, saia pengen menjulukinya demikian
    Ngambing itu maksudnya nyogok biar bisa mebeng tanpa tiket resmikah?
    Iya klo makanan di restorasi jujur kyk makanan yg oven ovenan mas, cm ya memang praktis sih ga seribet dulu pas byk pedagang masuk

    BalasHapus
    Balasan
    1. Romantis apanya sih wkwkwk
      Iya ngambing itu tanpa bayar tiket resmi.
      Skg serba teratur tp yaitu makanan aja mahal. Blm lg tiketnya ga ekonomi lg wkwkwk

      Hapus
  47. Udah lama banget nih gk coba naik kereta api lagi. :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Di sumsel ada kereta Uda, kejauhan kalo ke Jawa hehe

      Hapus
  48. Aku abis naik Sri Tanjung mas, didalam kereta sampai 14 jam, salut sekarang kereta ekonomi fasilitasnya bagus.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wah bawa anak2 ga repot mbak? Pdhl lumayan lho itu bikin boring.

      Hapus
  49. Dulu waktu kecil pas di stasiun sragen, di kereta hadap2an sama tentara. Gak tau kenapa sha ngerasa takjub dan keren banget gitu bahkan masih inget sampe sekarang rasa takjubnya :D

    BalasHapus
  50. Mantap, aku suka banget dengan tulisan ini. Gayanya, bahasanya, pembuka dan penutupnya.
    Ngomong-ngomong, tulisan ini mengingatkanku pada masa-masa mudik waktu kecil dulu. Ehmm tapi gak bisa aku bilang mudik sih, soalnya aku justru melawan arus, menuju ibukota. Jadi yang ada kereta selalu lengang, bukannya desak-desakkan. Begitupun sebaliknya, waktu mudik.

    Dan setuju banget dengan penutup tulisanmu: Karena sebenarnya, tak ada pulang yang benar-benar jauh.

    BalasHapus
  51. Apa daya bila rumah kakek-nenek dari ibu tepat berada di depan gerbang SMA, dan nenek-kakek dari ayah, tepat di depan gerbang belakang SMA :D

    Ingin mudik................
    Tapi untuk masalah naik kereta, wah jadi rindu merasai goncangan dan suara antara roda yang beradu dengan rel.

    BalasHapus
  52. Jadi inget Banyuwangi dan Sri Tanjungnya.

    BalasHapus
  53. Pulang adalah masalah hati. Karena sebenarnya, tak ada pulang yang benar-benar jauh...

    Mari pulang ☺

    BalasHapus
  54. Travel ke Banyuwangi selalu mengasyikkan, banyak sekali spot cantik. Ah jadi pengen pulang :(

    BalasHapus

Posting Komentar

Baca Juga

Menyusuri Jejak Oei Tiong Ham, Raja Gula dari Semarang

Bersekutu dengan KM Kelimutu

Jelajah Kampung Kauman Semarang