Bandung Tahun Lalu

Bandung
Salah satu sudut di Jl. Asia Afrika.
Dalam ingatan masa kecil saya, Bandung saya kenal lewat Film Petualangan Sherina. Meskipun hanya secuil Kota Kembang yang ditampilkan sebagai latarnya. Adalah Lembang, sebuah daerah pegunungan di utara kota kembang yang berhawa sejuk.

Dalam film tersebut, yang paling membekas diingatan saya sampai sekarang adalah adegan dimana Sherina dan Saddam yang diperankan oleh Derby Romero bersembunyi dari kejaran para penculik di sebuah tempat yang dinamakan Observatorium Boscha.

Semenjak saat itu, kota yang juga berjuluk Paris van Java ini terus melekat dihati saya. Ciyeeeee 

Bandung, beberapa juta tahun kemudian...
*halah*

Suatu pagi buta di Stasiun Kiaracondong. Saya mulai melangkahkan kaki menuju pintu keluar stasiun yang seakan ingin terlihat angkuh menyambut kedatangan para penumpang. Sementara itu, gerbong-gerbong tua kereta Kahuripan yang baru saja mengantarkan saya dan ratusan penumpang lainnya nampak kelelahan di jalur 1 setelah menempuh perjalanan jauh.
22A, nomor tempat duduk favorit ketika naik kereta.
Ini merupakan kali ketiga saya menginjakkan kaki di kota Kembang ini. Sekaligus menjadi kedua kalinya menggunakan transportasi kereta api dan via Jogja pula. Bodoh Aneh memang, karena Semarang-Bandung pun sebenarnya bisa ditempuh menggunakan kereta api langsung. Tapi saya lebih memilih memutar lewat Jogja, menginap semalam disana, lalu naik kereta ekonomi di Stasiun Lempuyangan. Meski kalau dihitung-hitung budget yang saya habiskan tak jauh berbeda jika naik kereta Harina kelas bisnis sekalipun. Tapi, bagaimanapun juga ada seseorang yang membuat saya selalu ingin singgah di Jogja barang sejenak. :)))

Sambil menunggu pagi, saya memutuskan untuk duduk-duduk di emperan stasiun yang dingin. Bersama belasan penumpang lainnya yang nampaknya sedang menunggu jemputan. Meskipun kaki saya sudah menginjak tanah pasundan, namun rasanya saya masih berada di daerah Jawa Tengah. Samar-samar, telinga saya masih mendengar beberapa orang berbicara dalam bahasa Jawa.

Saya mengedarkan pandangan. Tepat dibelakang saya, ada seorang mas-mas yang sedang sibuk dengan laptopnya. Sekilas saya lihat dia sedang browsing  tentang daerah bernama Cigowendah. Di sebelah saya duduk sepasang suami istri. Si ibu bicara masih menggunakan bahasa Jawa, dengan sedikit logat Banyumasan. Sedangkan sang Bapak menimpalinya dengan bahasa Sunda dan sesekali menggunakan bahasa Jawa. Namun  masih dengan logat khas Sunda.

Sementara di depan saya terlihat seorang wanita muda, yang tengah kerepotan menaikkan barang bawaannya ke atas motor. Saya pun iseng menghitungnya. Total ada 5 tas, termasuk 1 koper ukuran jumbo dan tas kecil yang dijinjing.

Saya masih diam di tempat. Bukannya saya tidak mau membantunya, tapi sudah ada beberapa orang yang tergerak untuk mengulurkan bantuan. Bahkan ada yang memberi saran sebaiknya dilangsir saja dengan barang bawaan sebanyak itu. Toh katanya, rumahnya pun tidak terlalu jauh dari stasiun. Namun si wanita tetap kekeuh dengan pendiriannya.

Tak terasa hari sudah beranjak terang. Setelah menggosok gigi dan cuci muka sekenanya (baca: males mandi :p) di toilet stasiun, kini giliran saya yang beranjak. Berjalan kaki sekitar 1 kilometer menuju perempatan di Jl. Jakarta. Nantinya, dari sana akan dilanjut dengan naik bis Damri menuju Alun-alun. Sebenarnya tersedia angkot maupun ojek yang banyak mangkal di sekitaran stasiun Kiaracondong. Namun lagi-lagi dengan alasan pengiritan (baca: pelit :p) saya tetap memilih berjalan kaki.
Museum Asia Afrika
Menjulang tinggi menuju langit biru.
Entah kenapa pagi itu Bandung terasa dingin sekali. Bahkan tadi, berjalan kaki sekitar 15 menit tidak membuat saya berkeringat. Malah sebaliknya, saya kembali mengenakan jaket yang tadinya sudah saya lipat rapi di dalam ransel. Entah karena saya sudah lupa Bandung memang sedingin itu, atau mungkin karena sedang musim kemarau sehingga udara di pagi hari menjadi sangat dingin.

Saya sengaja turun di salah satu ujung Jalan Asia-Afrika, bukan seperti niat semula yang langsung menuju Alun-alun. Untuk kemudian berjalan kaki sekedar menikmati suasana jalan yang kini telah dipercantik dalam rangka menyambut gelaran peringatan 60 Tahun KAA pada April 2015 lalu. Namun kenyataannya pagi itu, saya juga harus menikmati asap knalpot kendaraan. Iya, apalagi kalau bukan macet. -_-

Beberapa petugas TNI maupun Polisi terlihat sibuk berjaga di beberapa titik sepanjang jalan tersebut. Terutama di sekitaran gedung Merdeka. Sepertinya sedang berlangsung suatu acara disitu, atau mungkin akan ada kunjungan pejabat penting negara? Entahlah itu hanya dugaan saya.
Gedung Merdeka
Gedung Merdeka tampak dari depan.
Salah seorang aparat memandang penuh curiga, ketika saya berpapasan dengannya. Saya jadi parno sendiri. Melihat tampilan saya pada waktu itu yaitu mengenakan hoodie dan menggendong ransel besar. Pantas lah saya dicurigai! Saya sudah mirip pelaku bom bunuh diri seperti di film-film Hollywood yang pernah saya tonton. Tanpa ba-bi-bu saya pun mempercepat langkah. Daripada urusannya tambah panjang. Hehehe

Alun-alun Bandung pagi itu tidak begitu ramai. Mungkin hanya belasan orang, yang berkerumun dalam beberapa kelompok. Setelah berkeliling akhirnya saya memilih salah satu sudut untuk duduk-duduk. Sengaja saya pilih tempat yang agak sepi dan terkena sinar matahari langsung. Sekalian berjemur dan menghangatkan badan yang sedari tadi kedinginan, pikir saya.

Alun-alun yang juga merupakan halaman Masjid Raya Bandung ini, terakhir kali mengalami renovasi pada 2014 silam. Terletak di pusat kota Bandung dengan luas lahan 1.200 meter persegi. Kini telah dilengkapi berbagai fasilitas seperti perpustakaan, arena bermain anak, jaringan Wi-Fi dan sebagainya.
Alun-alun Bandung
Alun-alun Bandung: melangkahkan kaki, menorehkan kisah.
Uniknya rumput yang digunakan bukanlah rumput biasa, melainkan rumput sintetis. Sehingga pengunjung diwajibkan harus melepas alas kaki jika ingin menginjak atau berjalan kaki diatas rumput. Namun yang membuat saya sedikit tidak nyaman adalah aromanya yang mirip kaos kaki. Terutama sehabis diguyur hujan. Saya kira tadi kaki saya yang bau, ternyata rumputnya. Wkwkwk.

Untuk mengganjal perut, saya membeli jajanan dari pedagang asongan yang kebetulan sedang berkeliling menjajakan barang dagangannya. Murah meriah, saya menyodorkan 12.000 rupiah sudah termasuk satu botol air mineral ukuran sedang. Lumayan mengenyangkan, mengingat dari kemarin sore perut saya tak kemasukan nasi. Hanya sebungkus gorengan seharga lima ribu rupiah dan sekotak bakpia plus roti pemberian Bu Fatimah, yang ternyata sedikit berjamur. Akhirnya gak kemakan deh :(

Perut kenyang, kini saatnya tugas kaki untuk kembali melangkah. Dengan tujuan akhir Gedung Sate yang berjarak sekitar 3 kilometer. Nggak takut nyasar? Tenang, saya sudah menghafalkan rutenya lewat google maps. Bahkan saya buatkan peta butanya untuk berjaga-jaga jika battery ponsel saya habis. Niat banget ya? Wkwkwkwk. Kalau masih nyasar juga ya masih ada GPS manual alias Gunakan Penduduk Setempat :D
Braga
Entah kenapa seneng banget motret bangku kosong :D
Jalan Braga
Bangunan tua di sepanjang Braga
Menyusuri kembali Jalan Braga seperti menjadi napak tilas bagi saya. Karena selama dua kali kunjungan saya ke Bandung sebelumnya, dua kali pula saya kesini. Berjalan kaki di atas trotornya seolah membuat saya menyusuri lorong waktu. Kompleks pertokoan di kanan kirinya yang masih tetap mempertahankan ciri arsitektur lamanya, selalu membuat saya jatuh cinta berkali-kali dengan Bandung. Apalagi buat saya yang memang senang mengunjungi atau sekedar melihat bangunan-bangunan tua. Tuh lihat muka saya aja udah oldish banget. -_-

Jalan Braga
Lukisan jalanan.
Begitu melangkahkan kaki ke pelataran sebuah bangunan, sebuah pohon beringin besar yang rindang berdiri kokoh di tengah-tengahnya menyambut saya. Dan tepat di bawah pohon tersebut , terdapat prasasti peresmian yang ditanda tangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2003. Ya, inilah Gedung Indonesia Menggugat. Meski memiliki arti penting dalam perjalanan bangsa ini, tapi ternyata tak semua yang menyadari keberadaan gedung yang terletak di salah satu sudut Jl. Perintis Kemerdekaan ini.
Gedung Indonesia Menggugat
Galeri Gedung Indonesia Menggugat.
Gedung ini beroperasi mulai pukul 08.00-17.00 dan terbuka bagi siapa saja. Memiliki tujuh ruangan utama yang diantaranya digunakan sebagai ruang pameran, ruang seminar atau diskusi publik, dan ruang kerja pengelola gedung. Memang tak banyak menyimpan benda-benda bersejarah, hanya memajang foto-cerita yang memaparkan biografi Soekarno, para tokoh PNI dan rangkaian peristiwa yang berkaitan dengan sejarah Indonesia Menggugat.
Gedung Indonesia Menggugat
Jendela yang tinggi-tinggi. Salah satu ciri khas bangunan peninggalan Belanda.
Sementara itu di sisi timur gedung terdapat satu ruangan yang tidak begitu luas, dimanfaatkan oleh  pengelola sebagai cafe. Dan sebuah etalase kecil memajang berbagai buku terbitan baru berkaitan dengan Soekarno dan pariwisata, jika tertarik kita bisa membelinya.

Hari semakin beranjak siang, sementara itu perut saya sudah meronta lagi minta diisi. Sambil berpikir mau makan apa, saya melanjutkan langkah menuju Taman Balai Kota yang jaraknya hanya selemparan batu dari Gedung Indonesia Menggugat.
Taman Balai Kota Bandung
Taman favorit ketika di Bandung.
Nah, kebetulan sekali ada seorang penjual Cuanki yang sedang mangkal. Cuanki sendiri kependekan dari "Cari Uang dengan Jalan Kaki", makanan khas Bandung sejenis bakso, terdiri dari bakso kecil, siomay dan tahu. Kemudian diberi kuah secukupnya. Kalau dirasa masih kurang kenyang tersedia opsi ditambah dengan indomie. Sementara itu wadahnya berupa mangkok bergambar ayam jago seperti bakso umumnya. Cara berjualannya pun unik, yaitu dengan cara dipikul. Semangkok Cuanki ditebus hanya dengan delapan ribu rupiah. Murah meriah kan? :D

Taman Balai Kota Bandung tidak banyak berubah sejak terakhir kali saya datang kesini. Hanya ada beberapa penambahan tanaman di salah satu sisi taman. Di taman ini jugalah saya ikut larut dalam perayaan ulang tahun kota Bandung ke 204. Saat itu kebetulan sedang diselenggarakan Bandung Caang Festival di taman Balai Kota, sebagai puncak rangkaian perayaan hari Jadi kota Bandung.
Kok saya yang ganteng sendiri.
Bangku taman yang telihat teduh dinaungi pohon-pohon besar menggoda saya untuk duduk-duduk sekedar meluruskan kaki. Terlebih suasana taman cukup sepi siang itu. Sementara perut kenyang, mata yang berat diserang rasa kantuk dan angin yang berhembus sepoi-sepoi adalah kombinasi tepat untuk merebahkan badan.Apalagi semalam di perjalanan kereta, saya hanya bisa memejamkan mata sebentar.

Persetan dengan Gedung sate yang entah berapa jauh lagi. Saya hanya ingin tidur!

Baru beberapa menit memejamkan mata, sayup-sayup terdengar beberapa pelajar SD duduk didekat tempat saya tiduran. Nampaknya mereka sedang diberi tugas oleh sang guru. Saya sempat mencuri dengar apa yang sedang mereka bicarakan. Dan ketika salah satu diantara mereka sedang sibuk browsing melalui ponselnya untuk mengerjakan tugas tersebut, dia mengumpat pelan sambil berkata bahwa kuotanya habis.

Hahahaha. Ah, sungguh berat beban hidupmu Nak!
Ke Bandung tak sempat bertemu Golden. :(
Entah ada yang mengalaminya atau tidak. Tapi saat itu saya sedang mengalami apa yang orang-orang sebut sebagai hilang arah. Iya, saya sedang bingung apa yang harus saya lakukan dalam hidup saya. Saya gamang, hidup ini akan jadi seperti apa kedepannya.

Parahnya, saya malah memilih mengepak ransel lalu memesan tiket kereta. Terpekur belasan jam duduk di bangku kereta, berjalan entah kemana tanpa tujuan yang pasti. Lalu duduk di taman, mengamati orang-orang yang berlalu lalang.

Sebut saja saya sedang melarikan diri. Ya, saya adalah seorang pengecut yang melarikan diri dari kenyataan. Meski melelahkan, terkadang melarikan diri itu harus dilakukan juga. Seperti yang pernah ditulis oleh Mas Ariy dalam Nomadic Heart.

Tiga hari berikutnya saya masih berada di Bandung. Tapi saya tak kemana-mana, karena duit saya memang sedang cekak. Saya hanya sempat nonton film di BIP, lalu nongkrong di taman Balai Kota lagi bersama Budhe dan Fitri. Tak seperti kunjungan saya sebelum-sebelumnya. Memberanikan diri ke Kawah putih yang jauh di selatan Bandung sana seorang diri. Melihat sebentar teropong bintang Boscha. Atau mengintip muda-mudi yang sedang berpacaran di Dago Pakar.

Pada akhirnya hari itu datang juga. Hari itu, Bandung mengalahkan saya. Dan mau tak mau saya harus menerima kekalahan itu, pulang dan kembali melanjutkan hidup saya. Tepat pada hari keempat, akhirnya saya memesan tiket kepulangan. Masih tetap sama dengan rute keberangkatan, via Stasiun Kiaracondong. Tapi nantinya saya akan turun di Solo.
Senja di Atas Flyover Kiaracondong
Langit sedang tersenyum.
Lalu semesta berkonspirasi untuk menertawakan saya. Setelah disuguhi senja yang begitu menawan di langit Bandung, perut saya meronta diisi. Dan akhirnya menemukan warung soto betawi di dekat stasiun. Makan soto betawi di Bandung adalah kombinasi yang sungguh absurd. Yang pada akhirnya membuat saya mengumpat karena harganya cukup mahal bagi saya yang berkantong cekak ini. Kamfreeet!

Keesokan harinya, kereta Kahuripan yang membawa saya tiba di Stasiun Purwosari repat waktu. Saya melangkah menuju pintu keluar stasiun. Namun bukan untuk naik bis pulang ke Semarang. Tanpa pikir panjang saya langsung menuju loket pemesanan tiket kereta lokal.

"Ke Wonogiri satu, Pak!"

Iya, rasa-rasanya saya masih belum ingin pulang. Pilihan jatuh pada membeli selembar tiket railbus Batara Kresna seharga 6.000 rupiah. Untuk berbelok jauh ke selatan, yaitu Wonogiri. Bukan untuk mudik ke kampung halaman Ibu saya. Tapi saya hanya penasaran dengan puncak bukit di belakang stasiun yang dijelaskan Mas Aji dalam postingannya tempo hari.
Gunung Gandul
Jurang di depan mata.
Di atas bukit tersebut saya hampir tak bertemu dengan siapapun. Kecuali seorang bapak-bapak yang saya dapati sedang sibuk mencari rumput untuk pakan ternaknya. Benar-benar sepi karena memang bukan hari libur. Beruntung, akal sehat saya masih bekerja dengan baik untuk tidak terjun ke dalam jurang sedalam lebih dari 200 meter, yang ada didepan mata saya. Buktinya saya masih bernapas sampai sekarang, dan menuliskan ini.

Komentar

  1. Wuedyaaann... itu kenapa bisa kayak hilang pegangan gituuu

    BalasHapus
  2. Aku jadi kangen ke Bandung. Tahun 2014 hanya sempat main bentar lalu balik Jogja naik kereta melalui Kiara Condong hehehehe. Jadi ingat waktu muter-muter di Bandung

    BalasHapus
  3. area KAA itu dibuat itam putih jadi kece ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya disepanjang jalan asia afrika kece2 buat foto-foto kok
      Kebetulan saya jg suka foto hitam putih sih hehehe

      Hapus
  4. Aku baru nulis tentang Bandung pas perjalanan tahun lalu. Jadi pengen ganti judul jadi 'Bandung Tahun Lalu' pula. Kwkwk. Ini angle ngambil fotonya edan e, bagusnya :O

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahihihi biasa aja kok fotonya XD
      Ah udh keduluan saya :p

      Hapus
  5. Entah kenapa tiap membincang Bandung selalu membuat saya rindu. Padahal tak ada yang tercinta disana.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah begitupun saya..
      Disana cuma ada bbrp teman :))

      Hapus
  6. Bandung.... saya asli bandung tapi ga pernah main ke asia afrika cuma numpang lewat aja. Hehehe selalu penuh soalnya


    Salam kenal dr blogger abal2

    BalasHapus
  7. Bandung.... saya asli bandung tapi ga pernah main ke asia afrika cuma numpang lewat aja. Hehehe selalu penuh soalnya


    Salam kenal dr blogger abal2

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wahahahaha abal2 dr mananya -__- mas budy mah udh master

      Hapus
    2. Hehehe... salam kenal maz jo

      Hapus
  8. keren, mengalir ulasannya, jadi ngerasa jalan2 :) Aku jg pengen menyusuri jalan2 itu, yg lbh personal dan ga keburu2 kayaknya asik yah :)

    BalasHapus
  9. eh serius cuanki singkatannya itu ?

    happy blogging

    BalasHapus
  10. bandung emang nyaman buat ngabur, pernah rencana ke sini seminggu mundur jadi 10 hari. itu pun inget balik gegara duit habis :D

    BalasHapus
  11. Saya jadi kangen Bandung, jalan kaki di sudut-sudut kota. Mungkin sekarang lebih nyaman dibanding zaman sebelum dipimpin Pak Ridwan Kamil. Foto-fotonya asyik Mas, :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mas. Bandung skrg sdh jauh lebih nyaman.
      Makasih udh mampir :))

      Hapus
  12. Bandung emang selalu menggoda untuk di jamah.... Foto black whitenya penuh kesan....

    BalasHapus
  13. Bandung selalu merindu dan bandung selalu ingin kembali

    BalasHapus
  14. Waduh kang kalau bercerita tentang bandung mah memang gak akan ada habis selalu menyimpan keistimewaan dan ciri khasnya sendiri jadi gak akan bosan deh kalau berkunjung ke bandung mah.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya kang. Bandung selalu membawa cerita tersendiri :)

      Hapus
  15. jujur aja kalau saya lahir di bandung dan besar 2 tahun disana, sayangnya sampai saat ini sudah 25 tahun berlalu belum pernah sekalipun kembali ke tanah kelahiran, ckck

    BalasHapus
  16. ga pernah bosen kalo ke bandung. Selalu suka ketika jalan kaki di bandung :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mas. Yuk kapan agendakan kesana lg mungkin bs barengan hehehe

      Hapus
  17. Kota Bandung emang gak ada matinya kalo soal liburan, coba sekali2 kemping di daerah Bandung Selatan Mas, sebagai contoh di Ranca Upas. Sebagai referensi bisa baca pengalaman saya ini Mas: http://garisbatas.com/berkemah-di-ranca-upas-ciwidey/

    BalasHapus
    Balasan
    1. siyaaap meluncur..
      boleh boleh temenin ya tapi :D
      *nglunjak

      Hapus

Posting Komentar

Baca Juga

Menyusuri Jejak Oei Tiong Ham, Raja Gula dari Semarang

Bersekutu dengan KM Kelimutu

Jelajah Kampung Kauman Semarang