Bandung Tahun Lalu
![]() |
Salah satu sudut di Jl. Asia Afrika. |
Dalam ingatan masa kecil saya, Bandung saya kenal lewat
Film Petualangan Sherina. Meskipun hanya secuil Kota Kembang yang
ditampilkan sebagai latarnya. Adalah Lembang, sebuah daerah pegunungan
di utara kota kembang yang berhawa sejuk.
Dalam film
tersebut, yang paling membekas diingatan saya sampai sekarang adalah
adegan dimana Sherina dan Saddam yang diperankan oleh Derby Romero
bersembunyi dari kejaran para penculik di sebuah tempat yang dinamakan Observatorium Boscha.
Semenjak saat itu, kota yang juga berjuluk Paris van Java ini terus melekat dihati saya. Ciyeeeee
Bandung, beberapa juta tahun kemudian...
Bandung, beberapa juta tahun kemudian...
*halah*
Suatu pagi buta di Stasiun Kiaracondong. Saya
mulai melangkahkan kaki menuju pintu keluar stasiun yang seakan ingin
terlihat angkuh menyambut kedatangan para penumpang. Sementara itu,
gerbong-gerbong tua kereta Kahuripan yang baru saja mengantarkan saya
dan ratusan penumpang lainnya nampak kelelahan di jalur 1 setelah
menempuh perjalanan jauh.
Ini merupakan kali ketiga saya
menginjakkan kaki di kota Kembang ini. Sekaligus menjadi kedua kalinya
menggunakan transportasi kereta api dan via Jogja pula. Bodoh Aneh
memang, karena Semarang-Bandung pun sebenarnya bisa ditempuh menggunakan
kereta api langsung. Tapi saya lebih memilih memutar lewat Jogja,
menginap semalam disana, lalu naik kereta ekonomi di Stasiun Lempuyangan. Meski kalau dihitung-hitung budget yang saya habiskan tak jauh berbeda jika naik kereta Harina kelas bisnis sekalipun. Tapi, bagaimanapun juga ada seseorang yang membuat saya selalu ingin singgah di Jogja barang sejenak. :)))
Sambil
menunggu pagi, saya memutuskan untuk duduk-duduk di emperan stasiun
yang dingin. Bersama belasan penumpang lainnya yang nampaknya sedang
menunggu jemputan. Meskipun kaki saya sudah menginjak tanah pasundan,
namun rasanya saya masih berada di daerah Jawa Tengah. Samar-samar,
telinga saya masih mendengar beberapa orang berbicara dalam bahasa Jawa.
Saya
mengedarkan pandangan. Tepat dibelakang saya, ada seorang mas-mas yang
sedang sibuk dengan laptopnya. Sekilas saya lihat dia sedang browsing
tentang daerah bernama Cigowendah. Di sebelah saya duduk sepasang suami
istri. Si ibu bicara masih menggunakan bahasa Jawa, dengan sedikit logat
Banyumasan. Sedangkan sang Bapak menimpalinya dengan bahasa Sunda dan
sesekali menggunakan bahasa Jawa. Namun masih dengan logat khas Sunda.
Sementara
di depan saya terlihat seorang wanita muda, yang tengah kerepotan
menaikkan barang bawaannya ke atas motor. Saya pun iseng menghitungnya.
Total ada 5 tas, termasuk 1 koper ukuran jumbo dan tas kecil yang
dijinjing.
Saya masih diam di tempat. Bukannya saya
tidak mau membantunya, tapi sudah ada beberapa orang yang tergerak untuk
mengulurkan bantuan. Bahkan ada yang memberi saran sebaiknya dilangsir
saja dengan barang bawaan sebanyak itu. Toh katanya, rumahnya pun tidak
terlalu jauh dari stasiun. Namun si wanita tetap kekeuh dengan
pendiriannya.
Tak terasa hari sudah beranjak terang.
Setelah menggosok gigi dan cuci muka sekenanya (baca: males mandi :p) di
toilet stasiun, kini giliran saya yang beranjak. Berjalan kaki sekitar 1
kilometer menuju perempatan di Jl. Jakarta. Nantinya, dari sana akan
dilanjut dengan naik bis Damri menuju Alun-alun. Sebenarnya tersedia
angkot maupun ojek yang banyak mangkal di sekitaran stasiun
Kiaracondong. Namun lagi-lagi dengan alasan pengiritan (baca: pelit :p)
saya tetap memilih berjalan kaki.
Entah kenapa pagi itu
Bandung terasa dingin sekali. Bahkan tadi, berjalan kaki sekitar 15
menit tidak membuat saya berkeringat. Malah sebaliknya, saya kembali
mengenakan jaket yang tadinya sudah saya lipat rapi di dalam ransel.
Entah karena saya sudah lupa Bandung memang sedingin itu, atau mungkin
karena sedang musim kemarau sehingga udara di pagi hari menjadi sangat
dingin.
Saya sengaja turun di salah satu ujung Jalan
Asia-Afrika, bukan seperti niat semula yang langsung menuju Alun-alun.
Untuk kemudian berjalan kaki sekedar menikmati suasana jalan yang kini
telah dipercantik dalam rangka menyambut gelaran peringatan 60 Tahun KAA
pada April 2015 lalu. Namun kenyataannya pagi itu, saya juga harus
menikmati asap knalpot kendaraan. Iya, apalagi kalau bukan macet. -_-
Beberapa
petugas TNI maupun Polisi terlihat sibuk berjaga di beberapa titik sepanjang jalan tersebut. Terutama di sekitaran gedung Merdeka.
Sepertinya sedang berlangsung suatu acara disitu, atau mungkin akan ada
kunjungan pejabat penting negara? Entahlah itu hanya dugaan saya.
Salah
seorang aparat memandang penuh curiga, ketika saya berpapasan
dengannya. Saya jadi parno sendiri. Melihat tampilan saya pada waktu itu
yaitu mengenakan hoodie dan menggendong ransel besar. Pantas lah saya dicurigai! Saya sudah mirip pelaku bom bunuh diri seperti di film-film Hollywood yang pernah saya tonton. Tanpa ba-bi-bu saya pun mempercepat langkah. Daripada urusannya tambah panjang. Hehehe
Alun-alun
Bandung pagi itu tidak begitu ramai. Mungkin hanya belasan orang, yang
berkerumun dalam beberapa kelompok. Setelah berkeliling akhirnya saya
memilih salah satu sudut untuk duduk-duduk. Sengaja saya pilih tempat
yang agak sepi dan terkena sinar matahari langsung. Sekalian berjemur dan
menghangatkan badan yang sedari tadi kedinginan, pikir saya.
Alun-alun
yang juga merupakan halaman Masjid Raya Bandung ini, terakhir kali
mengalami renovasi pada 2014 silam. Terletak di pusat kota Bandung
dengan luas lahan 1.200 meter persegi. Kini telah dilengkapi berbagai
fasilitas seperti perpustakaan, arena bermain anak, jaringan Wi-Fi dan
sebagainya.
Uniknya rumput yang digunakan bukanlah
rumput biasa, melainkan rumput sintetis. Sehingga pengunjung diwajibkan
harus melepas alas kaki jika ingin menginjak atau berjalan kaki diatas
rumput. Namun yang membuat saya sedikit tidak nyaman adalah aromanya
yang mirip kaos kaki. Terutama sehabis diguyur hujan. Saya kira tadi
kaki saya yang bau, ternyata rumputnya. Wkwkwk.
Untuk
mengganjal perut, saya membeli jajanan dari pedagang asongan yang
kebetulan sedang berkeliling menjajakan barang dagangannya. Murah
meriah, saya menyodorkan 12.000 rupiah sudah termasuk satu botol air
mineral ukuran sedang. Lumayan mengenyangkan, mengingat dari kemarin
sore perut saya tak kemasukan nasi. Hanya sebungkus gorengan seharga
lima ribu rupiah dan sekotak bakpia plus roti pemberian Bu Fatimah, yang
ternyata sedikit berjamur. Akhirnya gak kemakan deh :(
Perut
kenyang, kini saatnya tugas kaki untuk kembali melangkah. Dengan tujuan
akhir Gedung Sate yang berjarak sekitar 3 kilometer. Nggak takut nyasar?
Tenang, saya sudah menghafalkan rutenya lewat google maps. Bahkan saya buatkan peta butanya untuk berjaga-jaga jika battery ponsel saya habis. Niat banget ya? Wkwkwkwk. Kalau masih nyasar juga ya masih ada GPS manual alias Gunakan Penduduk Setempat :D
![]() |
Bangunan tua di sepanjang Braga |
Menyusuri
kembali Jalan Braga seperti menjadi napak tilas bagi saya. Karena
selama dua kali kunjungan saya ke Bandung sebelumnya, dua kali pula saya
kesini. Berjalan kaki di atas trotornya seolah membuat saya menyusuri
lorong waktu. Kompleks pertokoan di kanan kirinya yang masih tetap
mempertahankan ciri arsitektur lamanya, selalu membuat saya jatuh cinta
berkali-kali dengan Bandung. Apalagi buat saya yang memang senang
mengunjungi atau sekedar melihat bangunan-bangunan tua. Tuh lihat muka
saya aja udah oldish banget. -_-
Begitu
melangkahkan kaki ke pelataran sebuah bangunan, sebuah pohon beringin
besar yang rindang berdiri kokoh di tengah-tengahnya menyambut saya. Dan
tepat di bawah pohon tersebut , terdapat prasasti peresmian yang
ditanda tangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 2003. Ya,
inilah Gedung Indonesia Menggugat. Meski memiliki arti penting dalam
perjalanan bangsa ini, tapi ternyata tak semua yang menyadari keberadaan
gedung yang terletak di salah satu sudut Jl. Perintis Kemerdekaan ini.
Gedung
ini beroperasi mulai pukul 08.00-17.00 dan terbuka bagi siapa saja.
Memiliki tujuh ruangan utama yang diantaranya digunakan sebagai ruang
pameran, ruang seminar atau diskusi publik, dan ruang kerja pengelola
gedung. Memang tak banyak menyimpan benda-benda bersejarah, hanya
memajang foto-cerita yang memaparkan biografi Soekarno, para tokoh PNI
dan rangkaian peristiwa yang berkaitan dengan sejarah Indonesia
Menggugat.
Sementara itu di sisi timur gedung terdapat
satu ruangan yang tidak begitu luas, dimanfaatkan oleh pengelola
sebagai cafe. Dan sebuah etalase kecil memajang berbagai buku terbitan
baru berkaitan dengan Soekarno dan pariwisata, jika tertarik kita bisa
membelinya.
Hari semakin beranjak siang, sementara itu
perut saya sudah meronta lagi minta diisi. Sambil berpikir mau makan
apa, saya melanjutkan langkah menuju Taman Balai Kota yang jaraknya
hanya selemparan batu dari Gedung Indonesia Menggugat.
Nah, kebetulan sekali ada seorang penjual Cuanki yang sedang mangkal. Cuanki
sendiri kependekan dari "Cari Uang dengan Jalan Kaki", makanan khas
Bandung sejenis bakso, terdiri dari bakso kecil, siomay dan tahu.
Kemudian diberi kuah secukupnya. Kalau dirasa masih kurang kenyang
tersedia opsi ditambah dengan indomie. Sementara itu wadahnya berupa
mangkok bergambar ayam jago seperti bakso umumnya. Cara berjualannya pun
unik, yaitu dengan cara dipikul. Semangkok Cuanki ditebus hanya dengan
delapan ribu rupiah. Murah meriah kan? :D
Taman Balai
Kota Bandung tidak banyak berubah sejak terakhir kali saya datang
kesini. Hanya ada beberapa penambahan tanaman di salah satu sisi taman.
Di taman ini jugalah saya ikut larut dalam perayaan ulang tahun kota
Bandung ke 204. Saat itu kebetulan sedang diselenggarakan Bandung Caang Festival di taman Balai Kota, sebagai puncak rangkaian perayaan hari Jadi kota Bandung.
Bangku
taman yang telihat teduh dinaungi pohon-pohon besar menggoda saya untuk
duduk-duduk sekedar meluruskan kaki. Terlebih suasana taman cukup sepi
siang itu. Sementara perut kenyang, mata yang berat diserang rasa kantuk
dan angin yang berhembus sepoi-sepoi adalah kombinasi tepat untuk
merebahkan badan.Apalagi semalam di perjalanan kereta, saya hanya bisa
memejamkan mata sebentar.
Persetan dengan Gedung sate yang entah berapa jauh lagi. Saya hanya ingin tidur!
Baru beberapa menit memejamkan mata, sayup-sayup terdengar beberapa pelajar SD duduk didekat tempat saya tiduran. Nampaknya mereka sedang diberi tugas oleh sang guru. Saya sempat mencuri dengar apa yang sedang mereka bicarakan. Dan ketika salah satu diantara mereka sedang sibuk browsing melalui ponselnya untuk mengerjakan tugas tersebut, dia mengumpat pelan sambil berkata bahwa kuotanya habis.
Persetan dengan Gedung sate yang entah berapa jauh lagi. Saya hanya ingin tidur!
Baru beberapa menit memejamkan mata, sayup-sayup terdengar beberapa pelajar SD duduk didekat tempat saya tiduran. Nampaknya mereka sedang diberi tugas oleh sang guru. Saya sempat mencuri dengar apa yang sedang mereka bicarakan. Dan ketika salah satu diantara mereka sedang sibuk browsing melalui ponselnya untuk mengerjakan tugas tersebut, dia mengumpat pelan sambil berkata bahwa kuotanya habis.
Hahahaha. Ah, sungguh berat beban hidupmu Nak!
Entah
ada yang mengalaminya atau tidak. Tapi saat itu saya sedang mengalami
apa yang orang-orang sebut sebagai hilang arah. Iya, saya sedang bingung
apa yang harus saya lakukan dalam hidup saya. Saya gamang, hidup ini
akan jadi seperti apa kedepannya.
Parahnya, saya malah
memilih mengepak ransel lalu memesan tiket kereta. Terpekur belasan jam
duduk di bangku kereta, berjalan entah kemana tanpa tujuan yang pasti.
Lalu duduk di taman, mengamati orang-orang yang berlalu lalang.
Sebut
saja saya sedang melarikan diri. Ya, saya adalah seorang pengecut yang
melarikan diri dari kenyataan. Meski melelahkan, terkadang melarikan
diri itu harus dilakukan juga. Seperti yang pernah ditulis oleh Mas Ariy dalam Nomadic Heart.
Tiga
hari berikutnya saya masih berada di Bandung. Tapi saya tak
kemana-mana, karena duit saya memang sedang cekak. Saya hanya sempat
nonton film di BIP, lalu nongkrong di taman Balai Kota lagi bersama
Budhe dan Fitri. Tak seperti kunjungan saya sebelum-sebelumnya.
Memberanikan diri ke Kawah putih yang jauh di selatan Bandung sana
seorang diri. Melihat sebentar teropong bintang Boscha. Atau mengintip
muda-mudi yang sedang berpacaran di Dago Pakar.
Pada
akhirnya hari itu datang juga. Hari itu, Bandung mengalahkan saya. Dan
mau tak mau saya harus menerima kekalahan itu, pulang dan kembali
melanjutkan hidup saya. Tepat pada hari keempat, akhirnya saya memesan
tiket kepulangan. Masih tetap sama dengan rute keberangkatan, via
Stasiun Kiaracondong. Tapi nantinya saya akan turun di Solo.
Lalu
semesta berkonspirasi untuk menertawakan saya. Setelah disuguhi senja
yang begitu menawan di langit Bandung, perut saya meronta diisi. Dan
akhirnya menemukan warung soto betawi di dekat stasiun. Makan soto
betawi di Bandung adalah kombinasi yang sungguh absurd. Yang pada akhirnya membuat saya mengumpat karena harganya cukup mahal bagi saya yang berkantong cekak ini. Kamfreeet!
Keesokan
harinya, kereta Kahuripan yang membawa saya tiba di Stasiun Purwosari
repat waktu. Saya melangkah menuju pintu keluar stasiun. Namun bukan
untuk naik bis pulang ke Semarang. Tanpa pikir panjang saya langsung
menuju loket pemesanan tiket kereta lokal.
"Ke Wonogiri satu, Pak!"
Iya, rasa-rasanya saya masih belum ingin pulang. Pilihan jatuh pada membeli selembar tiket railbus Batara Kresna seharga 6.000 rupiah. Untuk berbelok jauh ke selatan, yaitu Wonogiri. Bukan
untuk mudik ke kampung halaman Ibu saya. Tapi saya hanya penasaran
dengan puncak bukit di belakang stasiun yang dijelaskan Mas Aji dalam postingannya tempo hari.
Di
atas bukit tersebut saya hampir tak bertemu dengan siapapun. Kecuali
seorang bapak-bapak yang saya dapati sedang sibuk mencari rumput untuk
pakan ternaknya. Benar-benar sepi karena memang bukan hari libur. Beruntung,
akal sehat saya masih bekerja dengan baik untuk tidak terjun ke dalam
jurang sedalam lebih dari 200 meter, yang ada didepan mata saya.
Buktinya saya masih bernapas sampai sekarang, dan menuliskan ini.
Wuedyaaann... itu kenapa bisa kayak hilang pegangan gituuu
BalasHapusGelap kak gelap :'v
HapusAku jadi kangen ke Bandung. Tahun 2014 hanya sempat main bentar lalu balik Jogja naik kereta melalui Kiara Condong hehehehe. Jadi ingat waktu muter-muter di Bandung
BalasHapusYok mas ke Bandung lg :3
Hapusarea KAA itu dibuat itam putih jadi kece ya
BalasHapusIya disepanjang jalan asia afrika kece2 buat foto-foto kok
HapusKebetulan saya jg suka foto hitam putih sih hehehe
Aku baru nulis tentang Bandung pas perjalanan tahun lalu. Jadi pengen ganti judul jadi 'Bandung Tahun Lalu' pula. Kwkwk. Ini angle ngambil fotonya edan e, bagusnya :O
BalasHapusAhihihi biasa aja kok fotonya XD
HapusAh udh keduluan saya :p
Entah kenapa tiap membincang Bandung selalu membuat saya rindu. Padahal tak ada yang tercinta disana.
BalasHapusAh begitupun saya..
HapusDisana cuma ada bbrp teman :))
Bandung.... saya asli bandung tapi ga pernah main ke asia afrika cuma numpang lewat aja. Hehehe selalu penuh soalnya
BalasHapusSalam kenal dr blogger abal2
Bandung.... saya asli bandung tapi ga pernah main ke asia afrika cuma numpang lewat aja. Hehehe selalu penuh soalnya
BalasHapusSalam kenal dr blogger abal2
Wahahahaha abal2 dr mananya -__- mas budy mah udh master
HapusHehehe... salam kenal maz jo
Hapuskeren, mengalir ulasannya, jadi ngerasa jalan2 :) Aku jg pengen menyusuri jalan2 itu, yg lbh personal dan ga keburu2 kayaknya asik yah :)
BalasHapusHehehe iya, makasih udh mampir :))
Hapuseh serius cuanki singkatannya itu ?
BalasHapushappy blogging
Kata mamang yg jualan sih gitu hehehe
Hapusbandung emang nyaman buat ngabur, pernah rencana ke sini seminggu mundur jadi 10 hari. itu pun inget balik gegara duit habis :D
BalasHapusBandung bikin betah ya XD
HapusSaya jadi kangen Bandung, jalan kaki di sudut-sudut kota. Mungkin sekarang lebih nyaman dibanding zaman sebelum dipimpin Pak Ridwan Kamil. Foto-fotonya asyik Mas, :)
BalasHapusBetul mas. Bandung skrg sdh jauh lebih nyaman.
HapusMakasih udh mampir :))
Bandung emang selalu menggoda untuk di jamah.... Foto black whitenya penuh kesan....
BalasHapusMakasih udh mampir :D
HapusBandung selalu merindu dan bandung selalu ingin kembali
BalasHapusAh, setuju sama Om Cum :)
HapusWaduh kang kalau bercerita tentang bandung mah memang gak akan ada habis selalu menyimpan keistimewaan dan ciri khasnya sendiri jadi gak akan bosan deh kalau berkunjung ke bandung mah.
BalasHapusIya kang. Bandung selalu membawa cerita tersendiri :)
Hapusjujur aja kalau saya lahir di bandung dan besar 2 tahun disana, sayangnya sampai saat ini sudah 25 tahun berlalu belum pernah sekalipun kembali ke tanah kelahiran, ckck
BalasHapusWah, bandung semakin cantik loh heehhe
Hapusga pernah bosen kalo ke bandung. Selalu suka ketika jalan kaki di bandung :D
BalasHapusIya, Mas. Yuk kapan agendakan kesana lg mungkin bs barengan hehehe
HapusKota Bandung emang gak ada matinya kalo soal liburan, coba sekali2 kemping di daerah Bandung Selatan Mas, sebagai contoh di Ranca Upas. Sebagai referensi bisa baca pengalaman saya ini Mas: http://garisbatas.com/berkemah-di-ranca-upas-ciwidey/
BalasHapussiyaaap meluncur..
Hapusboleh boleh temenin ya tapi :D
*nglunjak