Tiga Puluh Tiga, Seperti Hari-hari yang Lain

Tepat hari ini saya resmi berusia tiga puluh tiga. Seperti hari-hari yang lain, tampaknya saya akan menghabiskan hari ini dengan biasa saja, tidak ada sesuatu yang istimewa. Tidak ada perayaan atau semacamnya, seperti tahun-tahun yang lalu. Beberapa waktu yang lalu saya sempat akan merencanakan sesuatu pada hari ini. Mengambil jatah cuti kerja barang satu atau dua hari, sekadar bersantai di rumah atau berpergian ke suatu tempat yang dekat-dekat saja, lalu berkeliling sebentar atau mencari makanan khas yang ingin saya cicipi. Namun rencana hanyalah rencana, beberapa pekerjaan perlu dibereskan, dan kali ini memang sedang tidak bisa ditunda-tunda.

Di hari bertambahnya umur ini, sebetulnya dua tahun ke belakang saya mempunyai perayaan kecil, itu juga kalau pantas disebut perayaan. Saya mengajak serta seorang kawan lama, yang kebetulan memiliki hari lahir hanya berselisih satu hari. Kami berpergian bersama, ketika keadaan telah pulih seperti sedia kala, setelah kita semua melalui hari-hari yang berbeda dan berpergian bisa dilakukan kembali dengan aman.

Mengingat kedua kota tempat kami tinggal berjarak ratusan kilometer, kami sepakat untuk bertemu di tengah-tengah saja, yang sekiranya bisa dijangkau dengan perjalanan kereta api. Dalam satu hari penuh, kami merencanakan untuk berkunjung ke tempat ini itu, lalu mampir satu atau dua kedai makan yang ketika membayangkannya saja kami tahu pasti lezat betul. Sepertinya hari ulang tahun kami akan menyenangkan sekali.

Nyatanya rencana kami meleset karena suatu hal, hari yang kami tunggu-tunggu itu sedikit berbeda dari yang diharapkan. Hari itu kami lalui hanya dengan duduk-duduk di bangku taman pinggir jalan sampai matahari mulai meninggi. Berbincang sambil memandangi sepeda motor dengan suara knalpot yang bising sedang beradu kencang dengan sepeda motor lain. Atau bapak-bapak pengemudi ojek daring dengan jaket usangnya kebingungan mencari alamat. Atau seorang ibu-ibu penyapu jalan sedang menjelma menjadi ninja untuk menahan panas terik yang menyengat, menyisakan kedua matanya saja yang telanjang.

Di sore yang teduh, kami beranjak. Berjalan di trotoarnya yang lebar untuk mencari santap siang yang sedikit terlambat. Setelahnya, kami bergeser sedikit ke utara untuk menunggu matahari tenggelam yang berhias mega-mega berwarna jingga. Di bawahnya, kapal-kapal berukuran raksasa sedang bersandar malas di dermaga pelabuhan. Kami jadi ingat dahulu sekali, kami sempat berangan-angan ingin melakukan petualangan bersama naik kapal laut menuju pulau-pulau kecil nan indah di ujung sana.

Setahun setelahnya, ketika waktu begitu cepat berlalu dan umur sudah bertambah lagi, kami berjumpa kembali. Kali ini kami akan menyewa kendaraan, saya diberi tugas untuk mengemudi sekaligus menentukan rute dan titik pemberhentian, tempat-tempat yang sekiranya menarik untuk dihampiri. Sementara kawan saya dengan lagak seenaknya bilang, hanya akan menyusun playlist lagu-lagu kesukaan yang akan diputar sepanjang perjalanan.

Seharusnya kami bisa saja saling mencurahkan keresahan dan ketakutan masing-masing di umur kami yang sekarang. Di mana kami sama-sama jauh tertinggal dari manusia-manusia lain seusia kami, usia yang sudah tidak bisa dibilang muda lagi. Namun hal itu tak terjadi. Dia bilang kami harus bersenang-senang, setidaknya untuk satu hari itu. Soal bagaimana hari esok akan seperti apa, tak usah terlalu dipusingkan. Que sera sera, apa yang akan terjadi, maka terjadilah. Setiap orang juga punya peran dan perjuangannya masing-masing, tambahnya. Tidak bisa disamaratakan atau dibanding-bandingkan satu sama lain.

Saya hanya bisa mengamininya dalam diam. Sekaligus bangga padanya bahwa sampai hari ini, setelah hal-hal buruk yang menimpanya, dia masih bisa tersenyum dan menyingkirkan pikiran-pikiran negatif di kepala. Saya juga bersyukur kami bisa bersua kembali, berjabat tangan dan saling memberi ucapan selamat datang di umur yang baru.

Langit sedang biru, menampakkan puncak-puncak gunung yang sungguh agung di kejauhan, mengiringi perjalanan. Kami larut dalam obrolan remeh tak penting, atau menertawakan tingkah laku pengendara lain yang kami temui di jalan, atau menggumamkan sebaris lirik lagu yang cukup akrab di telinga sedang terputar, lagu-lagu yang dahulu menemani masa-masa muda yang menyenangkan itu. Di sebuah tempat pemberhentian yang direncanakan, kami hanya duduk melamun di pinggir telaga.

Sebuah sampan melaju di atas air, pelan-pelan saja karena tidak sedang mengejar apa-apa. Riak-riak kecil mengekor belakangnya, menggoyahkan sampah-sampah plastik yang tadinya terapung tenang-tenang di tepian telaga. Jika menengok ke belakang, bertahun-tahun lalu hingga sampai di umur yang sekarang, rasa-rasanya hidup saya mirip sampan di telaga yang airnya tenang itu. Datar-datar saja, nyaris tanpa gelombang yang cukup berarti menerpa.

Hari-hari di hidup saya berlalu seperti biasa, seperti hari-hari yang lain, berkutat dengan rutinitas yang itu-itu saja, hampir tak ada yang berbeda dari hari-hari yang lain. Mungkin sebagian orang akan bilang itu sungguh membosankan, namun hal tersebut sebetulnya juga patut untuk disyukuri, seperti kata seorang teman lainnya. Hidup begini-begini saja itu juga merupakan sebuah pencapaian bagi seseorang. Coba lihatlah di sekitar, di mana ada beberapa orang yang terus dihampiri hal-hal buruk berturut-turut dalam hidupnya. Setelah selamat dari terjangan gelombang besar, badai lainnya siap menyusul lagi seakan tanpa ampun.

Hingga saat ini, saya masih di tahap berusaha menyadari bahwa ada kehilangan-kehilangan yang sudah sewajarnya harus dilalui, di tengah hal-hal rumit yang ada. Saya masih tak tahu hidup saya akan seperti apa kedepannya. Yang pasti, setelah menapaki umur tiga puluh tiga ini, saya berharap masih bisa menjalani hari-hari seperti biasa, seperti hari-hari yang lain, sambil terus merapalkan doa-doa yang baik. Karena sebaik-baiknya hidup adalah hidup yang dijalani, di tengah dunia yang terus berputar semakin cepat. Di antara rasa sedih, sepi, kecewa, sesal, syukur, senang yang selalu akan datang silih berganti.

Sampai di titik ini saya juga masih akan terus mempertanggungjawabkan keputusan penting yang saya ambil bertahun silam. Keputusan yang dibuat bukan karena menyerah atau ketakutan pada suatu hal. Melainkan secara sadar dan penuh pertimbangan dipilih bahwa peran inilah yang memang sewajarnya dijalani. Satu dan lain hal yang menjadi alasannya, rasanya tak wajib saya jelaskan panjang lebar di sini.

Sebetulnya keputusan besar ini sudah saya ketuk palu dalam hati pada awal umur dua puluhan dulu. Entah apa yang merasuki saya pada waktu itu, dengan jumawa saya bilang di depan sana akan menempuh langkah yang mungkin tidak akan bisa diterima oleh semua orang, dengan alasan yang bisa saja terlalu muluk dan bertele-tele. Namun setelah melalui berbagai macam hal dalam hidup yang terkadang mengecewakanmu atau di lain waktu bisa membuatmu berbesar hati, rasanya semakin ke sini semakin masuk akal untuk dijalani dan diyakini.

Seiring dengan bertambahnya umur, saya juga masih ingin hidup lebih lama lagi. Saya masih ingin menjalin pertemanan-pertemanan dekat yang belakangan hilang, atau melakukan kembali hal-hal yang bertahun-tahun lalu menjadi kesenangan pribadi. Atau sekadar menghabiskan akhir pekan dan libur tanggal merah dengan bermalas-malasan saja. Masih banyak makanan enak yang patut dicicipi, musik yang menggugah perasaan untuk didengarkan, dan film yang menginspirasi untuk ditonton.

Sebetulnya hal ini berbanding terbalik sama sekali dengan saya pada awal-awal umur dua puluhan silam, ketika saya ingin sekali mati muda saja. Seperti kata Soe Hok Gie yang mengutip seorang filsuf Yunani: Berbahagialah mereka yang mati muda. Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan, yang kedua dilahirkan tapi mati muda. Sementara yang tersial adalah berumur tua. Berhubung saya bukan seorang pesohor ataupun musisi macam Jim Morrison atau Kurt Cobain yang meninggal pada usia 27 tahun ketika berada di puncak karirnya, maka dari itu saya masih ingin berumur panjang. Nyatanya hari ini saya resmi menapaki usia tiga puluh tiga, dan semoga di depan masih ada tiga puluh empat, tiga puluh lima, empat puluh satu dan seterusnya.

Saya masih ingin hidup lebih lama lagi, meski negara seolah tak bosan membuatmu patah hati setiap hari. Atau di tengah-tengah dunia dengan ancaman krisis iklim yang semakin nyata, senjata-senjata canggih yang terus diciptakan, entah digunakan untuk berperang melawan siapa lagi. Atau sebuah penyakit misterius berikutnya mungkin saja akan muncul lebih cepat di masa yang akan datang, meski pandemi baru saja berlalu.

Namun semua kembali lagi, pada akhirnya bukan kehendak saya, melainkan kehendakNya-lah yang terjadi.

Tabik.

Komentar

  1. Selamat ulang tahun, Mas :)

    BalasHapus
  2. Ayo kapan-kapan ketemu, atau pas main ke Lasem mampir neng omahku. Kita belum pernah ketemu loh

    BalasHapus

Posting Komentar

Baca Juga

Menyusuri Jejak Oei Tiong Ham, Raja Gula dari Semarang

Bersekutu dengan KM Kelimutu

Jelajah Kampung Kauman Semarang