Mendengarkan Kembali: Roekmana's Repertoire (2013)

Pada pertengahan Juli lalu, Roekmana's Repertoire secara resmi mulai tersedia di kanal layanan musik digital. Perlu waktu lebih dari sepuluh tahun bagi album yang dirilis pada 2013 silam ini akhirnya dapat dinikmati para pendengarnya melalui gawai masing-masing. Zaman terus berubah, begitu pula cara kita untuk mendengarkan musik. Tigapagi boleh dibilang sedikit terlambat untuk menghadirkan kembali album yang awalnya lahir dalam format fisik ini ke dalam bentuk digital.

Idealisme mungkin menjadi salah satu alasan mereka, hal yang pernah dilakukan musisi-musisi lainnya untuk menjaga karyanya agar tetap eksklusif. Di mana format rilisan fisik entah itu kaset, CD ataupun vinyl masih diutamakan untuk menyebarluaskan karya. Atau mungkin saja beberapa urusan memang perlu waktu untuk dibereskan, karena konon royalti yang didapat dari kanal musik digital bisa dibilang tak seberapa.

Tahun lalu sebetulnya digipack CD Roekmana's Repertoire edisi khusus dirilis ulang dalam jumlah terbatas melalui Demajors, sekaligus menjadi tanda tiket masuk konser yang akan diselenggarakan Tigapagi di Bandung. Konser yang bertajuk perayaan 10 tahun Roekmana's Repertoire itu juga menjadi penanda kembalinya Tigapagi dari hiatus selama beberapa tahun. Kini formasinya menggemuk menjadi lima sekawan, Sigit Agung Pramudita (vokal, gitar), Prima Dian Febrianto (gitar), Achmad Kurnia (cello), Aisyah Sekaranggi Andjani (vokal, synth), dan Indra Kusharnandar (keyboard, synth, piano).

 

Pada awal dekade 2010-an adalah masa di mana musik-musik pop akustik dan sejenisnya sedang marak bermunculan di Indonesia. Musik yang memainkan beberapa instrumen akustik itu sedang banyak digandrungi. Sebagian melabelinya dengan sebutan folk, sementara yang lain menamainya musik indie. Nama-nama seperti Banda Neira dan Payung Teduh adalah sedikit di antaranya yang cukup sukses merebut hati pendengar musik kala itu.

Tipapagi melalui Roekmana's Repertoire muncul sebagai salah satu pembeda. Pasalnya, unit ansambel musik asal Bandung ini memasukkan unsur bunyi-bunyian bernuansa tradisi Sunda ke dalam musiknya. Perpaduan tersebut menawarkan pendekatan artistik yang berbeda, meski bagi beberapa orang masih terasa asing di telinga. Seperti pada petikan-petikan gitar yang seolah disulap menjadi bunyi kecapi, begitu lembut tetapi bisa menghantarkan suasana dari riang menjadi tenang, lalu berpindah menuju suasana yang kelam. Formula ini rupanya disambut baik pula oleh para awak media, salah satunya adalah Vice Indonesia yang pernah menempatkannya dalam jajaran Album Terbaik dekade 2009-2019.

Nama Roekmana sendiri diambil dari penokohan ulang seorang mentor bagi Sigit Pramudita dkk, yaitu Agus Roekmana yang mendedikasikan hidupnya pada musik tradisional Sunda. Roekmana dalam album ini menjelma sebagai seorang figur perempuan yang pada usia senjanya, sedang gelisah mencari tentang makna-makna kehidupan dengan latar suasana tragedi 65. Meski unsur bunyi-bunyian string section di hampir keseluruhan album terasa megah dan kolosal, namun tetap membuat suasana menjadi kelam, kelabu, suram, atau apapun itu yang mengingatkan kita dengan apa yang terjadi pada bangsa ini di masa-masa gelap itu.

Roekmana's Repertoire sejatinya berisi 14 lagu yang tersambung tanpa jeda dalam satu track utuh berdurasi 65 menit. Konsep yang mungkin bagi sebagian orang masih dianggap baru, meski beberapa musisi pernah memakainya. Outro dari satu lagu bisa saja diinterpretasikan oleh pendengar sebagai intro pada lagu berikutnya, dan begitu seterusnya hingga akhir. Kita seolah akan dipaksa mendengar lagu-lagunya secara utuh dan runut, kemudian menyelami cerita-cerita dibaliknya yang berputar seperti sebuah siklus kehidupan.

Di zaman yang serba acak dan informasi-informasi yang kita terima berdasarkan algoritma internet ini, sepertinya memang perlu meluangkan sedikit waktu untuk mendengarkan album musik secara utuh dari awal hingga akhir, seperti halnya menonton sebuah film atau membaca lembaran buku. Meskipun tak bisa dipungkiri tangan akan terasa sedikit gatal untuk memencet tombol skip pada satu atau dua lagu yang dirasa kurang familiar di telinga. Mungkin hal ini pula yang membuat Roekmana's Repertoar sedikit sulit untuk dihadirkan pada layanan musik digital pada awalnya.

"Alang-alang" diplot menjadi pembuka Roekmana's Repertoire, diawali dengan intro petikan gitar dan lengkingan flute yang mendayu, lalu suara vokal (alm) Ade Paloh, pentolan dari band SORE menyusul kemudian. "Hanya terpaku, suarakupun berseru. Cuma pilu, Cuma pilu. Anakku hilang tak kembali, Anakku yang hilang tak kembali" Lagu yang terdengar cenderung riang di telinga awam ini sengaja ditempatkan oleh Sigit untuk menjebak pendengar agar menyimak keseluruhan album secara utuh. Meskipun begitu, suasana muram tetap terasa, terutama pada baris-baris liriknya yang menggambarkan rasa kehilangan yang menjadi awal kisah kelam dari Roekmana.

Vokal Ida Ayu Made Paramita Saraswati dari Nadafiksi langsung merasuk tanpa ampun melalui nomor berjudul "Erika". Suaranya yang begitu khas membuat unsur folk semakin terasa, dipadu dengan ritme pentatonik yang cukup menghanyutkan. Pada bagian baris lirik "You are just too good for me, But you are not so good for yourself" lumayan membuat bergidik.

"S(m)unda" menyusul tak lama kemudian, melalui lantunan dari Sigit sang vokalis, berkisah tentang kegelisahan Roekmana yang kehilangan sesuatu di tanah kelahirannya. "Satu per satu hilang dari hidupku, seiring waktu. Satu per satu tiada lagi, beranjak pasti, menghantuiku".

Roekmana seakan ingin membawa kita merasa tersesat pada "Yes We Were Lost in Our Hometown" sebagai nomor keempat. Lengkingan flute yang pilu kembali terdengar menuju bagian akhir, membuat siapapun yang mendengarnya seperti menghayati kesedihan macam apa yang dihadapi oleh Roekmana. Kemudian rangkaian akapela akan menyudahi lagu sekaligus menghantarkan kita menemui "Batu Tua", ganjalan yang harus dilalui Roekmana di antara kemelut yang memuncak di dalam hatinya saat hari beranjak menuju sore. "Tetap menjadi tua, Tetap menjadi jingga meski lelah kau mencoba"

"Sorrow Haunts" yang bertempo lambat memberi kesempatan untuk  menghela napas sejenak, sekaligus membawa kita menuju perenungan yang dalam. "Everything just shades apart, yet there's nothing changes in me. Why I sing this song for you, Because death will do us apart". Diikuti oleh "Heufken", satu dari dua lagu instrumental di album ini,  membuat semacam  jeda dengan iringan denting piano yang cukup kental.

Pada intro "Tangan Hampa Kaki Telanjang" mungkin akan membuat pendengar agak sedikit terperanjat. Nomor kedelapan pada album ini menggambarkan penyesalan pada hal yang pernah dilakukan oleh Roekmana, atau hal-hal lain yang tidak sempat dilakukannya di masa silam. Merelakan bisa jadi satu-satunya cara untuk terus hidup. "Selama hayat ini, ku hanya mengikuti dan ikuti. Mungkin suatu nanti, saat semua mati, kita mati".

Baris-baris lirik puitis yang diramu oleh Sigit terasa semakin magis ketika dilantunkan oleh Cholil Mahmud dari Efek Rumah Kaca pada lagu berjudul "Pasir". Pada tahap ini Roekmana mungkin sudah lelah, mungkin juga sudah pasrah dengan kisahnya sendiri, karena segala sesuatunya yang terjadi di luar kuasanya sebagai manusia. Meski begitu, kesedihan masih saja menghantuinya pada lagu "Vertebrate Song (The Maslow)".

Hampir tengah malam, segala sesuatunya berubah menjadi hitam putih. "Birthday" sebagai nomor kesebelas muncul dengan semacam perasaan dingin yang menyergap, sebagai pengingat akan kematian yang akan dihadapi oleh siapapun. "Happy birthday and happy anniversary to you. But don't be too happy, cause you will see your face of death". Lalu Roekmana kembali pada perenungannya, kali ini tentang upayanya yang telah berhasil menemukan jalan untuk mengisi beberapa lini kehidupan lewat lagu "The Way".

Track instrumental kedua dalam album ini, De Rode Slaapkamer mengalun menuju penghujung kisah dari Roekmana. Setelahnya terdengar potongan-potongan pidato Soeharto yang pernah disiarkan RRI ketika huru-hara 65 terjadi, disusun ulang menjadi bait-bait baru.

Sebagai penutup, "Tertidur" pendek saja dinyanyikan oleh Ajie Gergaji dari The Milo. Rangkaian bunyi organ yang panjang cukup menggetarkan hati. Suasana kelam seketika sirna, berubah menjadi perasaan damai dan tenang yang menyergap, seperti menghantarkan Roekmana menuju tidur abadinya. Dentingan glockenspiel menghiasi outronya yang begitu panjang, memunculkan perasaan lega. Tirai-tirai mulai ditutup menandakan pertunjukan yang telah usai. Begitu pelan, perlahan, menjauh, lalu sayup-sayup terdengar anak-anak kecil tertawa riang. Bagian akhir ini seakan-akan terhubung kembali pada lagu pertama, berputar macam sebuah siklus.

Mendengarkan kembali Roekmana's Repertoire di 2024 membuat saya sedikit merefleksikan tentang september yang juga merupakan bulan kelahiran saya sendiri. Saya atau juga mungkin sebagian orang akan menyambutnya dengan sukacita pada setiap tahunnya, karena September Ceria-nya Vina Panduwinata memang sudah kadung mengakar di kepala.

Sebagai orang yang lahir pada dekade 90an, saya tentu termakan mentah-mentah dengan pelajaran sejarah di bangku sekolah tentang peristiwa 65. Meski sebetulnya saya sedikit beruntung, karena belum terpapar dengan film propaganda penuh adegan kekerasan yang beberapa tahun silam sempat dilakukan pemutaran kembali demi kepentingan politis tertentu itu. Saya mengira huru-hara hanya terjadi di Jakarta dengan terbunuhnya 6 jenderal dan seorang perwira Angkatan Darat secara keji pada malam 30 September 1965. Lalu di setiap tahunnya akan dilakukan peringatan dengan pengibaran bendera setengah tiang di instansi-instansi, gedung perkantoran, hingga di depan rumah-rumah warga.

Di era keterbukaan informasi seperti sekarang, narasi-narasi alternatif tentang tragedi itu terus berkembang di masyarakat melalui berbagai macam media. Melalui buku, novel, film, dokumenter, artikel berita hingga video liputan-liputan beberapa media akhirnya sedikit memberi perspektif baru, khususnya bagi saya sendiri. Narasi yang mungkin akan sedikit sulit diterima oleh beberapa pihak itu, mengungkapkan sekelumit fakta bahwa mereka yang tertuduh atau diduga terlibat komunis juga merupakan korban dari pergolakan politik berdarah pada rentang waktu 1965-1966.

Setelah peristiwa pada malam 30 September, kekerasan demi kekerasan yang didukung militer terus meluas hingga penjuru negeri, dengan dalih pemberantasan terhadap anggota, simpatisan atau organisasi-organisasi yang bersinggungan dengan komunis. Sejumlah laporan dari para ahli sejarah dan peneliti menyebut angka ratusan ribu hingga jutaan orang terbunuh. Sementara puluhan ribu lainnya dipenjara dan diasingkan tanpa proses peradilan.

Bahkan dampaknya juga dirasakan hingga ke belahan bumi yang lain, yaitu para mahasiswa ikatan dinas yang dikirim oleh pemerintahan Soekarno untuk menjalani studi di luar negeri. Sebagian lainnya merupakan delegasi yang sedang melaksanakan tugas diplomatik. Mereka dianggap terafiliasi dengan komunis karena tidak mau mengakui pemerintah orde baru yang terbentuk di bawah Soeharto. Tiba-tiba saja paspornya dicabut, seketika itu pula mereka tidak memiliki kewarganegaraan atau stateless, dan tidak bisa kembali ke tanah air.

Stigma negatif terus melekat pada mereka yang dituduh atau diduga komunis, bahkan setelah rezim orde baru tumbang sekalipun. Termasuk anak dan keluarga mereka yang tidak tahu menahu apa itu komunisme, juga turut mengalami diskriminasi dalam beberapa hal. Propaganda anti-komunis begitu kuat mengakar di masyarakat kita selama puluhan tahun, salah satunya melalui buku sejarah yang diajarkan di bangku sekolah-sekolah. Isu kebangkitan komunis juga terus digaungkan kembali tiap menjelang tahun politik demi kepentingan tertentu.

Upaya rekonsiliasi terhadap korban atau penyintas nampaknya masih menjadi angan-angan. Namun setidaknya, pemerintah telah mengakui bahwa negara terlibat dalam konflik horizontal pada tragedi 65. Pernyataan ini dibacakan oleh Sidarto Danusubroto yang juga anggota Dewan Pertimbangan Presiden, menjadi salah satu kesimpulan akhir dalam acara Simposium Nasional mengenai tragedi 65 yang diselenggarakan pada April 2016 silam. Untuk pertama kalinya, pemerintah melalui sejumlah kementerian dan lembaga negara, bersama akademisi, peneliti dan beberapa organisasi yang menaungi korban dan penyintas, akhirnya bisa duduk bersama membahas apa yang terjadi pada 1965-1966 melalui pendekatan kesejarahan.

Sedikit kabar baik berhembus pada awal tahun 2023 lalu. Presiden Joko Widodo melalui siaran pers mengeluarkan pernyataan bahwa sebagai kepala negara, mengakui dan menyesalkan adanya pelanggaran HAM berat pada sejumlah peristiwa yang terjadi di beberapa daerah di Tanah Air, termasuk di dalamnya tragedi 65. Hal ini dinilai cukup penting oleh beberapa kalangan, sebagai langkah awal untuk memulihkan hak-hak mereka yang menjadi korban secara adil dan bijaksana. Namun dari pihak para korban, pernyataan tersebut dianggap masih jauh dari harapan untuk mengupayakan keadilan melalui penyelesaian yudisial. Mereka juga menuntut komitmen yang sungguh-sungguh dari negara agar peristiwa serupa tidak terulang kembali di masa-masa yang akan datang.

Tahun demi tahun terus berganti, berbagai macam peristiwa juga datang dan pergi. Tepat hari ini Roekmana's Repertoire genap berusia sebelas tahun. Tanggal 'merah' yang oleh sebagian orang dianggap tabu untuk dibicarakan, atau mungkin membangkitkan kebencian terhadap kelompok tertentu. Memang sengaja dipilih Tigapagi sebagai hari perilisan repertoar Roekmana pada sebelas tahun silam.

Segelintir orang mungkin akan menganggapnya sudah usang, termasuk pula pesan-pesan yang terkandung di dalamnya. Sedangkan sebagian lain tetap merayakan kehadirannya di kanal digital, lalu menyematkannya di unggahan instastories mereka. Atau mengetwitkan pengalamannya di twitter, bagaimana dahulu Roekmana's Repertoire begitu lekat menemani di masa-masa sulit mereka. Tigapagi melalui Roekmana's Repertoire juga seolah mengajak kita semua untuk tidak melupakan sejarah yang membentuk kita hari ini. Sejarah yang tak harus hitam dan putihnya saja. Siapa yang benar, siapa yang salah. Atau siapa yang menang, siapa yang kalah. Karena terkadang sejarah juga bisa menjadi abu-abu, atau merah atau bisa juga kuning.

Bagi Sigit Pramudita sendiri melalui esainya di situs Pophariini mengatakan babak Roekmana's Repertoire telah selesai, ditandai dengan diluncurkannya di kanal digital pada Juli lalu. Babak baru Tigapagi dimulai dengan terbentuknya formasi baru yang diharapkan akan memberi ide-ide baru. Orang-orang baru akan memberi semangat baru pula untuk keberlangsungan Tigapagi dalam bermusik, meninggalkan repertoar Roekmana menuju karya-karya selanjutnya di masa yang akan datang.

Babak baru Tigapagi.

Komentar

Baca Juga

Menyusuri Jejak Oei Tiong Ham, Raja Gula dari Semarang

Bersekutu dengan KM Kelimutu

Jelajah Kampung Kauman Semarang