Pada Hari-hari yang Berbeda

Dua ribu dua puluh empat tak terasa sudah tiba di bulan Juni, bulan keenam dalam kalender Masehi. Seketika saja separuh tahun hampir terlewati lagi. Hari demi hari, tahun demi tahun berlalu. Blog ini seakan mati suri, tak berpenghuni tanpa suatu postingan apapun. Terhitung sudah lima tahun silam sejak tulisan panjang terakhir saya terbitkan. Itupun juga tulisan lama yang mengendap di draft, yang akhirnya saya selesaikan juga bertahun setelahnya.

Masih adakah yang setia membaca blog di tahun 2024? Di era sekarang ini, di mana segala sesuatunya bergerak dengan cepat, dan segala macam rupa informasi datang silih berganti tanpa ampun, rasa-rasanya blog adalah sesuatu yang usang dan sudah ditinggalkan. Hadirnya media sosial yang terus berkembang tentu menjadi salah satu sebab. Berbagai informasi berbasis foto, gambar, ataupun video berdurasi singkat lebih disukai banyak orang karena bisa selesai dalam sekali menggulung layar gawai. Berbeda sekali dengan blog yang harus duduk tenang-tenang untuk membaca kalimat demi kalimat, hingga beberapa paragraf untuk dapat memahami suatu informasi.

Jika dipikirkan kembali, lima tahun itu juga bukan masa yang dibilang singkat. Dan 5 tahun itu sudah menyentuh setengah dekade. Tetapi rasa-rasanya waktu seakan cepat sekali bergulir, hari berganti hari, tahun berganti tahun berlalu begitu saja. Entah hanya saya saja atau orang lain mengalaminya juga, waktu berjalan begitu cepat setelah tahun 2020. Tentu saja kita semua paham apa yang terjadi pada tahun tersebut.

Sebuah wabah penyakit misterius merebak, dan seketika saja menjadi pandemi yang menyebar dengan cepat ke seluruh penjuru bumi. Pandemi yang akhirnya mengubah segala bentuk dan sisi kehidupan manusia. Kita manusia yang tadinya bergerak bebas kemanapun, harus dipaksa berdiam di dalam rumah masing-masing untuk menekan penyebaran penyakit yang begitu cepat. Di era modern ini manusia bisa berpergian menempuh jarak setengah lingkar bumi dalam waktu kurang dari 20 jam, dan secepat itu pula virusnya menyebar.

Jalan kosong bak kota mati.

Lebih dari setahun setelahnya, pada masa-masa di mana kita sebagai manusia dalam kesendirian harus merasakan kecemasan, bosan, hingga di tahap putus asa, bertanya-tanya kapan semuanya ini akan berujung. Sekaligus marah dan kecewa kepada penyelenggara negara dan orang-orang berwenang, yang seakan meremehkan penyakit mematikan ini. Keadaan tak kunjung membaik, malah yang terjadi adalah sebaliknya. Kabar sedih silih berganti, berita kematian setiap hari dikumandangkan, disusul kabar kematian lain menggema di langit.

Beberapa orang lebih beruntung, menyaksikan semuanya itu dari dalam rumah, mendengar dari layar gawai ataupun menyimak dari layar televisi. Sementara yang lain, jauh lebih banyak jumlahnya yang merasakannya langsung di antara bangsal-bangsal IGD dan ICU rumah sakit, di antara panjangnya antrian tabung oksigen dan jenazah-jenazah yang akan dikuburkan di pemakaman khusus.

Saya adalah termasuk salah satu yang beruntung, tidak ada keluarga, kerabat maupun orang terdekat lainnya terpapar virus tersebut yang berujung pada kematian. Meski pada akhirnya, selang beberapa waktu kemudian, keluarga, kerabat, teman hingga orang-orang yang saya temui hampir semuanya mengaku merasakan gejala yang sama, mengalami sakit yang sama. Entah yang ringan hingga yang terberat, mengabaikan gejala hingga yang cuma mendapatkan pengobatan seadanya. Mengingat betapa nyaris ambruknya sistem layanan kesehatan kita menangani pagebluk pada bulan-bulan itu.

Bersepeda, salah satu hobi yang mewabah di kala pandemi.

Bertahun setelahnya, segalanya sesuatunya telah membaik, satu per satu hal yang tadinya direnggut oleh wabah sudah pulih kembali. Pandemi berlalu dan dinyatakan berakhir pada pertengahan 2023. Sebagian orang akan mengganggap masa-masa kelam itu sebagai mimpi buruk, kenangan pahit mendalam yang harusnya dilupakan. Sementara beberapa lainnya masih merawat ingatan tentangnya.

Tempo hari, ketika sedang menggulung layar gawai, di linimasa media sosial twitter atau X, atau terserah orang menyebutnya apa sekarang. Mata saya tertuju pada satu cuitan yang membagikan beberapa foto Jalan Sudirman-Thamrin Jakarta yang begitu lengang seperti kota mati. Bukan hanya lengang, tetapi kosong melompong, hampir tak ada aktivitas manusia terlihat di sana. Pemandangan yang hampir tak pernah terlihat sebelumnya, mengingat jalan tersebut adalah salah satu ruas jalan tersibuk di Jakarta. Pemandangan yang kita harap tidak pernah terulang kembali.

Foto-foto tersebut tertanggal Juli 2021, bulan-bulan ketika PPKM darurat sedang diberlakukan oleh pemerintah di Jawa dan Bali. Hal tersebut terpaksa ditempuh karena pandemi kian mengganas, Covid varian delta rupanya begitu masif menyebar, hingga menyebabkan layanan rumah sakit kelebihan kapasitas dan hampir tumbang.

Cuitan tadi mendapatkan tanggapan dari beberapa akun twitter lainnya. Rupanya masih ada juga yang menyimpan foto-foto kenangan pada bulan-bulan itu, seperti kosongnya pusat perbelanjaan yang biasanya ramai, aktivitas dan hobi baru ketika harus menjalani isolasi mandiri di rumah, hingga betapa pilunya pemandangan di ruang isolasi di suatu rumah sakit. Beberapa lainnya membagikan pengalaman traumatis mereka ketika mendengar suara sirine ambulans yang hilir mudik mengangkut pasien ataupun jenazah. Atau speaker masjid dekat rumah mengabarkan nama warga yang meninggal, dan itu bisa terjadi berkali-kali dalam sehari.

Pengalaman kelam tersebut meninggalkan bekas yang begitu mendalam bagi semua orang. Kita sebagai manusia pada umumnya, yang memiliki ingatan panjang, kita tidak bisa tidak mengingat memori-memori kelam itu. Memori yang harusnya bisa dijadikan pelajaran, bahwa hal buruk tersebut tidak boleh berulang kembali di masa yang akan datang.

Beberapa waktu sebelumnya, masih di media sosial twitter, sebuah akun festival musik yang cukup ternama membagikan playlist yang tersusun dari beberapa nama penyanyi, band ataupun musisi lainnya yang akan tampil panggung festival tersebut. Kemudian saya membukanya di aplikasi layanan steraming musik Spotify. Ada beberapa nama yang memang  sedang saya dengarkan kembali belakangan ini. Ada juga penyanyi atau band baru yang sebetulnya sudah saya ketahui, namun belum ada satu atau dua lagunya yang nyantol di telinga.

Sebagai orang yang sudah menyentuh kepala tiga, saya sudah jarang sekali mengeksplorasi musik atau nama baru yang sama sekali asing di telinga. Konon selera musik sebagian orang memang akan terhenti pada umur tersebut, dan lebih sering memutar lagu-lagu yang akrab di telinga, musik yang kerap didengarkan pada tahun-tahun yang lalu, ketika usia remaja hingga beranjak dewasa. Pun sebetulnya perbendaharaan musik saya memang tak banyak. Ada kalanya menyetel sebuah lagu yang sama berulang kali dalam suatu waktu. Di lain hari ketika bosan bisa tidak mendengarkan musik sama sekali.

Dari daftar putar di Spotify tadi, ada satu hal yang menarik perhatian saya. Icon kecil bergambar sebuah cover artwork album berwarna biru dengan aksen kehijauan, dengan nama artis Stars and Rabbit. Saya mengernyit, sejak kapan Stars and Rabbit punya lagu baru? Sejak kemunculannya pada 2015 silam dengan album perdana bertajuk Constellation yang cukup meledak pada masanya itu, saya sudah tak mendengar lagi kabarnya. Pun sebetulnya hanya dua tiga lagu di album tersebut yang akhirnya berhasil masuk telinga saya. Setelahnya, hilang begitu saja dari daftar putar lagu-lagu yang sering didengarkan.

Library of My Mind menjadi yang pertama terputar, dan seperti biasa butuh pengulangan dua atau tiga kali supaya bisa benar-benar masuk di telinga saya. Kesan pertama yang saya dapatkan di lagu ini adalah menggambarkan suasana yang tenang di pedesaan yang asri. Padang ilalang dan tumbuh-tumbuhan liar lainnya sedang berbunga warna-warni, dan burung-burung berkicauan di tepi sungai yang beriak kecil, atau di tepian telaga atau danau yang tak begitu luas. Agaknya, Stars and Rabbit menghadirkan musik yang sedikit berbeda dari sebelumnya.

Lagu Library of My Mind tersebut merupakan bagian dari On Different Days, album penuh ketiga dari Stars and Rabbit yang dirilis pada Juni 2021 silam. Masa-masa yang mengingatkan kita pada episode-episode yang sulit bagi semua orang. On Different Days, pada hari-hari yang berbeda bagi banyak orang itu, segala sisi dan bentuk kehidupan manusia berubah sama sekali. Pandemi begitu hebat menghantam kemanusiaan, berbagai macam profesi dan pekerjaan manusia juga terdampak. Tak terkecuali Stars and Rabbit sebagai musisi.

Album yang berisi delapan nomor ini hadir sebagai bentuk respon dan dokumentasi situasi selama setahun ke belakang dan dampaknya yang sama-sama dirasakan oleh semua orang. Masa-masa yang sulit, masa-masa yang terasa lambat, penuh dengan kecemasan, kesedihan dan ketidakpastian. Alih-alih meratapi dan mengutuk keadaan, di On Different Days kita akan diajak berdamai dan melepaskan sesuatu dengan segala pasang surutnya. Sepertinya mereka sengaja menghadirkan komposisi musik yang lebih menenangkan, untuk menumbuhkan optimisme dan harapan untuk melewatinya.

Keseluruhan album On Different Days sedikit tergambarkan pada sampul artworknya sendiri yang cukup sederhana. Dominasi warna biru dan aksen kehijauan yang menyiratkan sebuah padang rumput membentang di bawah langit biru dengan sungai kecil di tengah-tengahnya, memberi kesan damai dan menenangkan. Dibuka dengan manis lewat Merry Alone, yang akan menuntun kita mengatasi kesendirian pada masa-masa isolasi dengan melakukan hal-hal yang positif. "We're in the middle of disease, unexpected mother crisis. Would you be merry alone with me."

Elda Suryani, masih dengan suara akrobatisnya yang khas itu, akan membawa kita menyelami dan merefleksikan diri kita sendiri terhadap keadaan pada masa itu. Berhasil dipadu dengan harmonis oleh permainan dan petikan gitar yang sekarang dipegang oleh Didit Saad, yang juga merangkap sebagai produser. Silakan disimak permainan solo gitar pada pertengahan lagu Moon Lone City dan juga Library of My Mind, berhasil membuat jari-jari saya bergerak mengikuti melodi-melodinya yang berbeda dari album-album sebelumnya.

Lirik-lirik berbahasa inggris yang sepenuhnya ditulis oleh Elda, juga selalu menarik untuk disimak. Seperti pada lagu One Foot, akan membantu kita menemukan pelipur lara di tengah situasi yang tidak menentu "Leave the phone on the table, Fold the chair let alone. Allow your mind to wander, Place one foot to the other now." Satu lagu lainnya yang menarik adalah Pretty Anticipated, melodinya yang amat ceria akan membawa kita mempersiapkan diri untuk menerima semua yang datang dan pergi. Suatu hal yang biasa terjadi dalam kehidupan ini. "Ooh change can be scary, but darling universe is so friendly. If you choose it to be."

Hari-hari yang berbeda itu kini telah berlalu.  Kita akhirnya berhasil melewatinya bersama-sama, meski ada sesuatu yang hilang dari masa-masa sulit itu. Entah yang terkecil hingga yang paling berharga dalam hidup kita. Kita bisa saja melupakannya begitu saja, atau bisa juga mengingatnya bahwa demi rasa kemanusiaan, kita mampu menumbuhkan kembali kepedulian terhadap sesama di tengah masa-masa yang sulit itu. Meski cuma sekadar "Jaga kesehatan, ya!"

Tabik.

Komentar

Baca Juga

Menyusuri Jejak Oei Tiong Ham, Raja Gula dari Semarang

Bersekutu dengan KM Kelimutu

Jelajah Kampung Kauman Semarang