Ketika Januari Bersenandung Bagian Kedua: Banda Neira

Setelah mengejutkan publik dengan kemunculannya kembali setelah hiatus selama hampir 8 tahun lamanya, Banda Neira seakan belum puas memberi kejutan-kejutan lain kepada pendengarnya. Lagu tunggal Tak Apa Akui Lelah resmi meluncur sesaat setelah mengaktifkan kembali media sosialnya. Lalu diikuti dengan album penuh ketiga Tumbuh dan Menjadi yang berisi 9 lagu yang sudah tersedia di kanal layanan musik digital pada 1 November silam.

Rupanya tak hanya itu, selang beberapa saat kemudian mereka mengumumkan akan menggelar pertunjukan spesial di Solo pada 21 Desember, yang kemudian langsung habis diserbu para pendengar yang ingin menyaksikannya langsung. Kabar baiknya, konser yang sama akan diadakan pula di kota-kota lain dalam serangkaian tur meliputi Jawa dan Bali. Tak perlu berpikir lama, tiketnya saya dapatkan dengan cukup mudah. Kesempatan ini mungkin saja tak datang dua kali, pikir saya.

Tibalah di hari pertunjukan, yang hanya berjarak beberapa hari seusai menyaksikan Adhitia Sofyan bernyanyi dengan gitarnya di tengah-tengah hujan. Saya melajukan motor menuju gedung pertunjukan setelah mengikuti misa sabtu sore. Jalanan sedikit padat, mungkin beberapa orang juga merayakan malam minggu mereka yang kebetulan sedang berbaik hati tidak menumpahkan air dari langit. Beberapa pasangan tampak berboncengan, beberapa lainnya menyelipkan bocah cilik yang dijepit di tengah-tengah. Lalu gerombolan sepeda motor dengan suara bising menyalip dengan agak seruntulan.

SMI Building termpat berlangsungnya acara, tampak masih cukup baru. Kursi-kursi yang telah ditata rapi, terisi lebih dari setengahnya ketika saya datang. Kesan pertama yang saya dapat adalah wewangian yang mampir di indera penciuman. Saya tak tahu apakah di Semarang ini Banda Neira masih bekerja sama dengan Rumah Atsiri atau tidak, sepert halnya di dua kota sebelumnya yaitu Surabaya dan Yogyakarta. Saya duduk di barisan agak ke tengah, penonton yang duduk di kanan kiri saya masih memberi jarak satu kursi kosong, sehingga membuat saya duduk leluasa tanpa takut mengganggu dengan suara sumbang saya ketika ikut bersenandung.

Panggung musik seperti inilah yang mungkin paling pas untuk saya pribadi. Bisa duduk tenang-tenang menikmati musik yang dimainkan, sesekali menggoyangkan kepala, atau kaki. Atau mengetuk-ngetukkan jari mengikuti irama yang mengalun. Tanpa hingar bingar crowdsurf, tanpa takut bersenggolan dengan penonton lain. Tetapi untungnya musik yang dimainkan Banda Neira memang bukan jenis yang membikin penonton melakukan hal-hal seperti itu.

Pertunjukan dimulai, Nanda dan Sasha naik ke atas panggung dengan gitar, biola, keyboard, kalimba dan alat musik tiup kazoo yang sudah menunggu di sana. Mereka mengenakan baju dengan warna yang senada yaitu biru. Tanpa berlama-lama, petikan gitar terdengar diikuti dengan gesekan pelan biola, memainkan intro lagu yang berjudul sama dengan warna baju yang mereka pakai malam itu. //Biru tuk sgala yang jauh/Biru tuk semua yang luruh//Bayang resah tak kan lesap/Segala pekat kan niscaya// Tenggelam menyusul, lagu ini pernah dibawakan di konser Kita Sama-sama Suka Hujan berkolaborasi dengan Gardika Gigih dan Layur pada 2015 silam.

Gesekan biola yang menyayat hati terdengar kembali untuk mengawali Langit dan Laut. Beberapa penonton, termasuk saya ikut merinding, ditambah dengan dinginnya suhu di dalam gedung pertunjukan. //Dan dengarkan ombak yang datang menerjang kuatmu//Langit dan laut dan hal-hal yang tak kita bicarakan/Biar jadi rahasia menyumblim ke udara//

Lagu-lagu dari album terbarunya juga turut diperkenalkan, kali ini langsung di atas panggung. Kan Terus Ku Tulis Sampai Napas Ini Habis, Tak Apa Akui Lelah, dan Tumbuh dan Menjadi berhasil dibawakan dengan apik di sesi pertama yang berlangsung selama 45 menit. Entah kenapa lagu-lagu itu terasa cukup akrab di telinga sejak pertama kali diluncurkan. Ini agak di luar kebiasaan saya ketika mendengarkan lagu baru, yang butuh tiga hingga empat kali dengar untuk nyantol di kepala saya. Mungkin karena sebelum resmi meluncur, saya sempat mengikuti sesi dengar langsung bersama album terbarunya melalui siaran langsung di kanal Youtube mereka. Sesi itu terasa dekat dan hangat karena setelah sekian lama, mereka dapat menyapa langsung pendengarnya, meski dipisahkan layar gawai yang terhubung dengan internet.

Sebagai pengingat bagaimana awal perjalanan musik mereka, lagu-lagu di album Berjalan Lebih Jauh (2013) tak luput dibawakan. Seperti Hujan di Mimpi, Di Atas Kapal Kertas, dan Esok Pasti Jumpa yang berhasil dibuat pada masa-masa awal mereka terbentuk. Bait-bait liriknya pernah saya salin mentah-mentah untuk menulis takarir pada unggahan foto di Instagram. Ini akan menjadi semacam pengakuan dosa saya di sini. Saya juga mengingat dulu sekali musik Banda Neira menjadi salah satu topik yang saya bahas ketika awal-awal belajar menulis di blog pribadi saya ini, itu pun banyak menyadur artikel-artikel lain di internet.

Sesi kedua dimulai setelah jeda sekitar 10 menit. Mimpilah Seliar-liarnya menjadi yang pertama dinyanyikan, lalu disusul Ajariku Jadi Berani yang mungkin merupakan satu dari deretan lagu bertema politis Banda Neira selain Tini dan Yanti, Rindu atau pun Mawar. Ananda Badudu yang pernah berprofesi sebagai jurnalis, membuatnya cukup aktif dan berani bersuara tentang kebenaran. Bahkan, ia pernah terkena tindakan represif dari aparat ketika demonstrasi besar-besaran yang meletus beberapa waktu silam.

Perpisahan seakan mengajarkan kita untuk tetap bertindak secara dewasa dalam menghadapinya dalam lagu Teman Kau Hendak Pergi Ke Mana. Dilanjutkan dengan Seorang Pemula yang mengingatkan kita untuk terus belajar, meski sebagai seorang dewasa. Dalam lagu Peganglah Tanganku, Coba Lagi Sekarang penonton diajak ikut bernyanyi menuju bagian akhir lagu. Ada dua bait lirik berbeda yang harus dinyanyikan secara bersamaan, dan itu cukup berhasil menghangatkan hati dan suasana, meski pendingin udara bekerja tanpa memberi ampun.

Senja di Jakarta dinyanyikan dengan sedikit mengubah liriknya. Sasha juga kembali memainkan kalimba yang menambah suasana lagu menjadi riang, meski liriknya cukup nelangsa karena terjebak macet belum lagi polusinya. Lalu Di Beranda membuat suasana langsung berubah pilu. Seorang penonton diundang ke atas panggung karena membawa kedua orangtuanya ke konser pada malam itu. Ia juga mengaku berhasil meracuni orangtuanya dengan lagu-lagu Banda Neira.

Di sela-sela jeda antar lagu, Nanda sempat bertanya kepada penonton apakah ada yang pernah menonton Banda Neira sebelumnya. Tetapi tak ada satu pun yang menjawab pernah, sebelum disusul oleh celetukan seorang penonton lain: "Keburu bubar..!" Dan betul, setelah memutuskan bubar tak lama setelah merilis album keduanya, banyak pendengar yang mengaku belum sempat menyaksikan pertunjukannya secara langsung. Sangat disayangkan, tetapi itu tak membuat para pendengarnya marah. Justru yang terjadi adalah sebaliknya, tagar #terimakasihbandaneira menggema di media sosial sebagai bentuk ucapan terimakasih pada waktu itu.

Selama masa bubar itu, lagu-lagu Banda Neira juga sempat hilang dari daftar putar yang saya dengarkan. Sesekali terputar pada jam-jam lewat tengah malam, ketika sedang butuh asupan pendengaran untuk mengundang rasa kantuk. Tetapi itu bukan berarti musik Banda Neira membosankan sehingga membikin kantuk. Saya juga luput dengan kabar bahwa festival musik di Jakarta sana, Banda Neira yang dibawakan oleh Ananda Badudu dibantu oleh beberapa musisi lain, disambut positif oleh pendengar. Rupanya hal itu yang membuat Nanda berniat menghidupkan kembali Banda Neira. Ia diliputi rasa bersalah karena tak bisa mempertanggungjawabkan karyanya setelah memutuskan bubar.

Ananda Badudu beralih menuju keyboard untuk memainkan intro piano panjang Sampai Jadi Debu, yang terinspirasi dari perjalanan hidup dan kisah cinta kakek neneknya. Bagi sebagian orang, lagu itu terasa cukup sentimentil, termasuk saya. //Selamanya/Sampai kita tua/Sampai jadi debu//Ku di liang yang satu/Ku di sebelahmu//  Bait tersebut seakan juga merekam cerita dalam hidup saya. Ibuk yang menyusul bapak mangkat beberapa tahun setelahnya, akhirnya berdampingan lagi di liang kubur. Seakan menegaskan apa itu cinta sehidup semati.

Lagu dengan bunyi piano dalam versi aslinya dimainkan oleh Gardika Gigih ini, ternyata sudah cukup populer di kalangan pendengarnya. Tak terhitung banyaknya kamera ponsel yang melayang-layang yang seakan berlomba mengabadikannya dari sudut terbaik. Hal ini sebetulnya tidak mengejutkan, jika melihat laman Banda Neira pada kanal layanan musik digital. Lagu tersebut telah diputar sebanyak ratusan juta kali, diikuti oleh Yang Patah Tumbuh, yang Hilang Berganti, yang juga telah menyentuh puluhan juta kali terputar.

Berjalan Lebih Jauh dimainkan sebagai penutup pertunjukan malam itu. Sekaligus mengajak pendengarnya merayakan kembalinya Banda Neira yang berjalan lebih jauh setelah memutuskan kembali dari masa hiatus mereka. Penonton serempak bertepuk tangan, mengikuti ketukan lagu, membuat lagu penutup tersebut semakin meriah. Saya juga mengingat lagu itu pada masanya, sempat menginspirasi saya untuk melakukan perjalanan-perjalanan akbar. Meski nyatanya, saya tak pernah berpergian lebih dari 1000 kilometer jauhnya dari rumah.

Selepas acara, saya tidak sengaja mencuri dengar pembicaraan penonton lain, saat menuruni tangga. Ia mengungkapkan sedikit kekecewaannya karena beberapa lagu yang dibawakan, agak berbeda dengan versi asli rekamannya yang begitu megah, dengan iringan string, piano, atau bahkan gebukan drum seperti pada beberapa lagu terbarunya. Padahal sesuai dengan tajuknya,  Panggung Intim: Berjalan lebih Jauh ini akan dibawakan tanpa melibatkan musisi lain. Hanya ada Nanda dan Sasha di panggung, ditemani beberapa alat musik yang bisa mereka mainkan sendiri. Hal ini sengaja dilakukan untuk membawa pendengar lebih dekat dengan karya-karya Banda Neira.

Format ini tak hanya menjadi tantangan bagi mereka berdua, tetapi juga menjadi cara bagaimana memperlihatkan sisi asli dari Banda Neira, yang sederhana dan apa adanya. Lagu-lagu mereka sangat cocok dimainkan dengan gitar di teras rumah, di taman kota, maupun di tempat-tempat lain yang apa adanya.

Sasha bernama asli Saron Sakina yang berperangai ceria, terasa sangat pas tampil bersama Ananda yang sering menunjukkan gestur kaku di atas panggung, karena ia sendiri mengaku introvert akut. Penampilan Sasha juga seakan membuktikan bawa dirinya tak perlu dibanding-bandingkan dengan personil sebelumnya. Ia akan melanjutkan estafet untuk membawa Banda Neira berjalan lebih jauh lagi menuju babak-babak yang baru. Banda Neira saat ini adalah Ananda Badudu dan Sasha, dan juga kita semua yang menghidupi karya-karyanya.

Melalui panggung ini, dan juga album terbarunya, Banda Neira mengajak saya, dan juga kita semua yang mungkin saja pernah menyerah akan sesuatu, untuk melanjutkan perjalanan apa pun itu yang sedang kita tempuh, sampai napas ini habis. Saya pulang dengan hati yang hangat, beberapa lagunya masih terngiang-ngiang di telinga, dan mulut ikut menggumamkan lirik-liriknya di atas motor. Sampai-sampai hampir saja saya menerobos lampu merah.

Sampai jumpa di pertemuan-pertemuan lainnya.

Tabik.


Komentar

Baca Juga

Menyusuri Jejak Oei Tiong Ham, Raja Gula dari Semarang

Bersekutu dengan KM Kelimutu

Jelajah Kampung Kauman Semarang