Lasem dalam Lini Masa

Menyapa pegunungan Lasem ketika pagi hari.
Sebelum benar-benar berangkat ke Lasem, saya telah membaca berbagai hal tentang Lasem dari berbagai macam sumber. Namun saya sadar, sebanyak apapun saya mencari tahu tentangnya, justru saya merasa semakin tak tahu apa-apa. Jadi, ketika akhirnya tiba di Lasem saya berusaha mengesampingkan semua yang saya ketahui tentangnya. Anggap saja saya sedang amnesia karena kepala terbentur tembok tempo hari.

Ekspektasi saya tentu saja adalah bangunan-bangunan kuno, jalanan yang lengang dengan tembok-tembok tinggi di kanan-kirinya. Seakan mengurung harta terpendam yang tak ternilai dari Lasem, sebuah kota kecil di pantura Jawa Tengah. Yang terjebak dalam memori masa lalu, di tengah truk-truk besar yang berjalan merayap ataupun klakson bis-bis yang menyalak kesetanan.

Saya mengawali perjalanan menuju Lasem dengan mengendarai sepeda motor seorang diri. Menyusuri jalur pantura Semarang, Kudus hingga Rembang bukan sesuatu hal yang mudah sebenarnya. Terlebih karena lawan yang akan dihadapi adalah kendaraan-kendaran besar. Tapi saya yang masih termasuk pemula dalam dunia per-sepeda motoran (khususnya jarak jauh) ini akhirnya memberanikan diri juga. Nekat? Mungkin iya.
Gunung Muria di kejauhan.
Perkenalan saya dengan Lasem membawa saya bertemu dengan Mas Pop. Pria dengan rambut yang tergerai sebahu ini juga seorang pemerhati heritage di Lasem. Tawaran untuk memandu saya untuk menjelajah Lasem tentu bukan tawaran sembarangan yang harus diabaikan begitu saja. Lagipula bangunan-bangunan tua yang masih tegak berdiri itu tak bisa menuturkan cerita sendiri, tanpa perantara yang melaluinya dapat kita dengarkan dengan seksama tentang memori-memori masa lalu itu.

Kota kecamatan yang masih termasuk dalam Kabupaten Rembang ini sebenarnya memiliki bentang alam yang lengkap. Mulai dari laut, pesisir pantai, dataran rendah hingga perbukitan. Dan hingga pada satu titik, pantai bertemu langsung dengan barisan perbukitan, dipisahkan oleh satu ruas jalan aspal yang kini kita kenal dengan jalur poros pantura Jawa. Kesemuanya terdapat kehidupan masyarakat yang aktif pada masing-masing titik tersebut.

***

Pagi-pagi buta Mas Pop mengajak saya untuk menyusuri Jalan Dasun. Bersama Jana, seorang solo traveler asal Ceko yang tiba satu hari lebih awal dari kedatangan saya di Lasem. Setelah bersusah payah mengendarai sepeda motor melalui pematang tambak yang berlumpur dan licin, kami bertiga sampai sebuah pantai. Panti Dasun, begitu warga setempat menyebutnya. Pantai Dasun ini letaknya juga bersisian dengan muara Sungai Lasem.

Awan mendung menggantung di langit Lasem, dan angin berhembus pelan pagi itu. Angin yang sama membawa pasukan Jepang mendarat di pantai ini tahun 1942. Kemudian Jepang mengambil alih satu galangan kapal milik Belanda serta membangun dua galangan lagi. Namun siapa sangka, sejarah pembuatan kapal di Lasem ternyata sudah dimulai jauh sebelum jaman kolonial, yaitu sejak era imperium Majapahit.
Kopi lelet.
Setelah menuangkan kopi lelet ke dalam tiga buah cangkir mungil, Mas Pop mulai bercerita.Yang membuat 'imajinasi waktu' saya harus ditarik lebih jauh lagi, dari pendaratan tentara Jepang di pantai Dasun ini. Sambil menunjuk PLTU Sluke di kejauhan, Mas Pop berkata bahwa di dekat PLTU tersebut terdapat sebuah situs perkuburan kuno yang ditemukan tak sengaja oleh pemilik lahan di pinggir laut beberapa tahun silam. Keberadaan situs yang diperkirakan berasal dari jaman prasejarah ini, bisa jadi membuktikan peradaban awal di Lasem dan sekitarnya.

Ketika mendengarnya, saya hanya bisa membelalakan mata. Setua itukah peradaban yang pernah ada di Lasem?

***

Beralih dari muara sungai, kali ini saya diajak untuk menyusuri jalur pantura sedikit ke arah barat kota Lasem. Tepatnya di desa Punjulharjo. Tak jauh dari jalan raya, terdapat bangunan semi permanen yang berdekatan dengan sebuah lapangan dan tentu saja tambak garam. Di tempat inilah secara tidak sengaja warga menemukan sebuah bangkai perahu kuno pada tahun 2008 silam.

Bangkai perahu sedang dalam proses perendaman larutan kimia
Masih di Desa Punjulharjo, terdapat makam kuno.
Menurut penelitian panjang yang dilakukan, jenis perahu ini berasal dari sekitar abad ke-7 hingga ke-8. Atau setara dengan masa pembangunan Candi Borobudur! Temuan ini juga menjadi yang terlengkap, dalam arti pada waktu ditemukan dalam kondisi relatif masih utuh dibanding temuan di tempat lain. Hal itu membuat Situs Temuan Perahu Kuno Punjulharjo ini, bukan lagi aset daerah melainkan cagar budaya nasional yang harus dijaga kelestariannya.

***

Mendung semakin pekat ketika saya, Mas Pop, Mbak Lina beserta Mas Doni yang baru tiba di Lasem siang harinya, memasuki pelataran Klenteng Cu An Kiong. Jika dilihat dari halaman depan, sekilas memang tak ada yang istimewa dari klenteng yang berada di tepi Jalan Dasun ini. Namun ketika saya melangkahkan kaki masuk ke dalamnya, saya meyakini satu hal; Klenteng ini dibangun dengan sentuhan citarasa seni yang tinggi.
Klenteng Cu An Kiong tampak dari depan.
Kata indah mungkin saja tak cukup untuk menggambarkan betapa cantiknya klenteng yang telah berusia ratusan tahun ini. Keindahan detail setiap ornamen atap, tiang, ukiran ataupun pahatan kayu serta mural pada dinding-dindingnya, seakan tak tergerus oleh waktu. Serta membuat siapapun yang melihatnya pasti akan langsung berdecak kagum.
Mural pada dinding klenteng.
Tak ada catatan sejarah yang pasti, kapan klenteng ini berdiri. Penjarahan oleh tentara Belanda pada masa kolonial diyakini turut menghilangkan catatan sejarah tersebut. Namun klenteng ini diperkirakan dibangun sekitar abad ke-15 oleh orang-orang Tionghoa yang berlabuh di Lasem. Ya, berdirinya Klenteng Cu An Kiong juga sebagai penanda awal mula masuknya orang-orang Tionghoa di tanah Jawa, khususnya di Lasem.

Cukup untuk sekedar mengagumi keindahan klenteng ini. Kami berempat terjebak dalam diskusi-diskusi liar, ketika melihat setiap ornamen-ornamen di setiap sudut bangunan klenteng. Aneka ragam hias simbolik di setiap sudut tentu saja tak diciptakan begitu saja tanpa makna, bukan? Hal inilah yang membuat saya hanya bisa menerka-nerka apa maksud dari ornamen-ornamen tersebut. Terlebih ketika Mas Pop mengajak kami untuk mencoba mengartikan mural- mural pada dinding bangunan.
Ornamen ukiran yang sangat 'kaya'.
Begitu detilnya gambaran torehan tinta pada dinding Cu An Kong, membuat gambar itu tampak hidup. Menurut Mas Pop, mural-mural tersebut bercerita tentang penggulingan seorang Raja yang lalim di masa pemerintahannya. Penggulingan tersebut dibantu oleh sekawanan tentara, dewa-dewi, roh halus, dan mahluk jadi-jadian. Namun Mas Pop sendiri pun belum bisa menjelaskan secara berurutan, karena bingkai-bingkai mural tersebut tersusun acak.

***

Berdirinya Klenteng Cu An Kiong juga diiringi oleh munculnya pemukiman etnis Tionghoa pertama di Lasem. Terlebih lagi klenteng tersebut memang berdekatan dengan Sungai Lasem. Seperti yang kita ketahui, selain pesisir tepian sungai adalah tempat favorit untuk mengembangkan kehidupan masyarakat di banyak tempat. Tak terkecuali di Lasem ini. Aliran sungai menjadi hal penting karena bisa memicu aktifitas perekonomian, perdagangan dan juga transportasi masyarakat pada masa itu.
Guest house berarsitektur indische.
Kedatangan etnis Tionghoa di Lasem tak hanya terjadi sekali itu saja, melainkan terjadi secara bertahap. Mas Pop menuturkan, peristiwa-peristiwa besar turut melatarbelakangi munculnya pemukiman Tionghoa di desa Karangturi. Salah satunya adalah peristiwa yang kita kenal dengan peristiwa Geger Pecinan.

Kita akan dibawa bergeser ke tahun 1740-an, di Batavia terjadi pembantaian etnis Tionghoa secara besar-besaran. Pada masa itu, pemerintah kolonial Belanda memberlakukan politik pengurangan etnis Tionghoa, karena jumlahnya sudah melebihi dari jumlah serdadu VOC. Hal itu memaksa mereka yang selamat dari peristiwa tersebut untuk keluar dari Batavia, dan Lasem lah tujuan mereka.
Pagi hari di rumah Opa.
Salah satu pemukiman yang masih bertahan tersebut berada di desa Karangturi gang 4. Mas Pop mengajak kami untuk menembus hujan gerimis menuju rumah Opa Oma, salah satu rumah yang masih bertahan di Karangturi gang 4. Beruntung pintu gerbang belum dikunci, mengingat hari sudah hampir beranjak malam.

Di beranda rumah, Mbak Menuk terlihat sibuk menampung air bocoran dari atap rumah disana sini. Sementara itu Opa yang biasanya duduk di beranda, mungkin sudah istirahat di kamarnya. Lagipula hujan deras yang mengguyur Lasem sejak sore, membuat siapapun lebih memilih mendekam di dalam hangatnya rumah. Sedangkan Oma kini hanya bisa berbaring di ranjangnya.

Sulit membayangkan bagaimana rumah ini masih tegak berdiri selama ratusan tahun. Terhitung sejak kakek buyut Opa ketika mendirikan rumah ini pertama kali, tutur Mas Pop. Itu berarti, rumah ini sudah bertahan selama empat generasi! Meskipun sebenarnya kerusakan ada disana sini, termasuk atap yang bocor tadi.  Cukup miris sebenarnya, melihat beberapa ruangan kosong berisi tumpukan barang yang terpakai. Jika dibersihkan pun Opa biasanya akan marah, kata Mas Pop.
Beranda rumah yang damai.
Jika mata anda jeli, terlihat lukisan-lukisan detil pada atap gerbang tersebut.
Sebenarnya masih banyak rumah-rumah Tionghoa lainnya yang nasibnya masih lebih beruntung dari rumah opa Oma. Rumah yang berciri khas simetris pada kedua sisinya ini,  biasanya dilengkapi dengan beranda yang cukup luas. Pintu utama terletak tepat di tengah-tengah, didampingi dua jendela besar di kanan kirinya. Altar untuk sembahyang menghadap tepat ke arah pintu utama, serta kamar-kamar terbagi di kedua sisi rumah. Rumah-rumah tersebut biasanya tersembunyi di balik tembok-tembok tinggi bercat putih.

***

Mari sejenak bergeser dari bangunan-bangunan kuno yang membangkitkan memori-memori masa lalu tersebut. Selain bangunan, sejarah panjang Lasem juga terekam dalam selembar kain batik. Alkulturasi budaya Tionghoa dan Jawa menghasilkan karya berupa batik pesisir utara yang kini dikenal dengan sebutan Batik Lasem. Motif batik Lasem mendapat pengaruh corak simbolik tradisi Tionghoa yang berpadu dengan motif lokal, tentu saja dengan ciri khas warna merahnya.
Dari lembaran-lembaran kain putih ini, mahakarya itu diciptakan.
Mengintip proses panjang kain batik.
Motif-motif tersebut diwariskan turun-temurun dalam keluarga pembatik. Yang diambil dari kisah sejarah, alam, dan budaya Jawa-Tionghoa. Pada masa keemasannya yaitu pada tahun 1860an, usaha batik pada masa itu merupakan usaha yang paling menguntungkan setelah perdagangan candu. Namun sempat mengalami kemunduran pada periode 1970an. Setelah batik diakui sebagai warisan dunia oleh UNESCO pada tahun 2009, kini industri Batik Lasem mulai kembali menggeliat.
Kain batik setengah jadi

***

Lasem tak hanya soal pecinan dan etnis Tionghoanya. Saya sempat diajak Mas Pop menyusuri kampung Soditan, dimana sebuah komunitas muslim hidup damai berbaur dengan etnis Tionghoa. Selain itu Lasem juga telah lama dikenal dengan sebutan Kota Santri, dimana banyak tersebar pondok pesantren disini. Saya bisa dengan mudahnya menemukan remaja-remaja mengenakan sarung dan peci di jalanan Lasem.

Sejarah panjang Lasem membuat saya seakan menyusuri lorong waktu. Lewat penuturan dari Mas Pop, perahu kuno, tulang-belulang manusia purba, klenteng maupun bangunan-bangunan yang sudah berusia ratusan tahun, ataupun lewat selembar Batik Lasem. Hal itu juga yang membuat Mas Pop beserta beberapa komunitas pegiat heritage di Lasem memiliki misi yang sama, yaitu ingin menjadikan Lasem sebagai World Heritage City atau Kota Pusaka Dunia!
Panen bandeng bersama Pak Kadus Dasun.
Mereka sangat optimis Lasem memang layak untuk masuk daftar suci milik UNESCO tersebut. Meski gaungnya hanya terdengar dari kota kecil nun jauh di sudut pantai utara Jawa. Ada rasa bangga, sedih ataupun haru. Melihat kegigihan mereka memperjuangkan sejarah yang sempat dilupakan negeri ini. Agar memori-memori tentang kejayaan Lasem di masa lalu kembali terdengar. Serta warisan harmonisasi antar etnis yang sudah berlangsung ratusan tahun ini, dapat dicontoh di seluruh penjuru negeri nan kaya ini.

Komentar

  1. ya ampun, meski objek yang sama, selalu ada cerita baru soal lasem, karena setiap pemandu mempunyai cerita yang berbeda2 namun sama, sama namun beda soal lasem ....

    BalasHapus
    Balasan
    1. Cerita2 itu yg melengkapi bangunan2 kuno itu mas, imajinasi waktu saya diajak bermain2 di lasem :D

      Hapus
  2. inikah si bule ceko yang kamu ceritakan itu gie?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mas, sekilas dia terlihat tak kurang suatu apapun, salut untuk dia di tengah kekurangannya dia berani menjelajah dunia :))

      Hapus
  3. Cerita setiap sejarah dan sudut lasemnya lengkap sekali mas...
    oiya, arsitekturnya klenteng amazing :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Itu belum semuanya mbak :D
      Masih banyak detil yg tidak saya tulis, biar gak kepanjangan :D

      Hapus
  4. Saya percaya Lasem memang daerah yang sebenarnya sangat penting dan strategis di masa lampau di bidang perdagangan. Negarakretagama menyebut Lasem setelah ibukota dan Daha, dan kota inilah yang pertama disebut ketika kitab itu merinci kota-kota besar di Jawa bagian tengah yang dipimpin oleh keluarga raja. Tapi ketika kini Lasem hanya berpredikat sebagai kota kecamatan, menurut saya ada yang salah. Hm, kota ini pantas dapat eksplorasi dan perhatian yang lebih maksimal. Sayang sekali jika seluruh kisah yang ada di mural itu, dan di kota ini secara umum, tak bisa diturunkan sampai anak cucu.
    Ada begitu banyak hal yang bisa dipelajari dari Lasem ya, Mas. Tak sabar deh untuk bisa segera mengunjunginya, hehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya menyebutnya harta karun, mas gara. Lasem memang kaya sekali, namun seolah tenggelam oleh hiruk pikuk jalan pantura jawa. Semoga impian Lasem sebagai kota pusaka dunia, bisa mengembalikan kejayaan masa lalu itu.

      Hapus
  5. Sy dari Tuban, Lasem itu cuma butuh waktu 2 jam dari Tuban, tapi sy hanya tau pesujudan Sunan Bonang dan pancingnya itu. Semoga suatu saat bisa menggali lebih banyak lagi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Banyak yang bisa di gali dar kota kecil ini :D

      Hapus
  6. ahh membahas Lasem seolah tak ada habisnya.Daya tariknya pun tak pernah juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul, mbak. namun gaungnya belum santer terdengar :)

      Hapus
  7. aaaaarrrggh nggak tahan liat makam kuno kayak gitu dianggurin.. itu makam siapa? pahatan dalam batunya apaan? :D
    btw, lasem, dasum.. dah macam film john carter aja ya? hehe

    BalasHapus
    Balasan
    1. belum ada informasi yang jelas mengenai makam tersebut, mas yudi. sementara baru perkiraan-perkiraan. tapi kalau dilihat batu tersebut dari batuan andesit dari sekitar abad ke 7-8

      Hapus
  8. makasih infonya menarik nih jadi tahu tentang lasem

    BalasHapus
    Balasan
    1. sama-sama mbak tira :D
      kapan mau mampir ke lasem?

      Hapus
  9. sudah beberapa melewati lasem, namun tak pernah singgah disana
    semoga bisa segera kesana. selalu tertarik dg cerita sejarah, peradaban dan perkembangan zaman. salah satunya Lasem

    BalasHapus
  10. Wah saya kok ga diajak ke perahu kuno sama guide saya hems. Masih jauh kalau harus diakui UNESCO sebab masih byk yg harus dibangun. Minimal diakui sama dinas Pariwisata deh.

    BalasHapus
    Balasan
    1. masih jauh bukan berarti tidak mungkin kan? itu tugas kita sebagi blogger untuk mengenalkan lasem ke khalayak. sementara baru batik tulis lasem yang baru dapat perhatian dari dinas terkait :)

      Hapus
  11. Kalau untuk mencari bahan Heritage, Lasem harus diutamakan. Ada banyak peninggalan bersejarah di sana. Semoga pemerintah peka akan hal tersebut. Tidak serta-merta dilepaskan begitu saja.

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul ma sitam. bentang alamnya juga lengkap sekali :)

      Hapus
  12. wah mas klentengnya bagus banget sayang di Bondowoso jarang ada klenteng

    BalasHapus
    Balasan
    1. bener mas, ornamennya betul-betul cantik :)

      Hapus
  13. Cantiik bangeeet lasem di pagi harii.. Istimewa 😊

    BalasHapus
  14. Itu yang megang ikan di jaring nelayan, bule kan?

    BalasHapus
  15. aku penasaran dengan makam kunonya

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya mbak masih saya cari tahu lagi, makanya saya belum bisa menuliskan lebih lanjut tentang makam tersebut

      Hapus
  16. Jangan pernah berpikir untuk mengunjungi banyak obyek ketika tiba di Lasem. Cukup datang, nikmati dan nikmati apa yang dilihat, didengar dan dirasakan hehehe. Syahdu banget yah Lasem. Tahun depan mau nostalgia ke sana ahh. Mau tjurhat ama mas Pop juga hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahahaha iya mas, kata mas pop ke lasem ga perlu keliling2 cukup diem bengong aja sambil ngebayangin lasem di masa lalu :D

      Hapus
  17. Rumah Opa ne karo gambar "Beranda rumah yg damai" menarik. Iku pas neng kono masuk ke ruang2 opo ger neng halaman tok?

    Menarik untuk dipetakan secara sipil.

    BalasHapus
    Balasan
    1. boleh masuk kok mas bay. penghuninya dengan senang hati memperbolehkan melihat2 sampe dalam. tapi ga semua rumah bisa dimasuki sih.
      betul, mas. tapi bukan hanya banguannnya saja, tapi hubungan antara rumah dan penghuninya yang bikin aku penasaran. Magis, kalau tidak ingin menggunakan kata angker.

      Hapus
    2. Tertarik banget klonida dengar kata magis atawa angker aku

      Hapus
  18. Aku baper. Aku kesengsem Lasem.#MenujuLasem2017

    BalasHapus
  19. kalo saya yang penting rute mas hehehe kalo masalah di sananya wah itu sudah masalah jurnalis saya mah masalah jalan ajah senang hehehe mantap mas.. makin banyak tahu kita emang bakal makin bodoh ini

    BalasHapus
  20. itu di guide sama mas pop dimintain bayaaran engga mas ?

    BalasHapus
  21. desain bangunan klenteng unik banget ya

    BalasHapus
  22. sering dengar tentang Lasem ini. Tapi baru tau detilnya dari blogmu ini mas. keren. panjang dan detil ceritanya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehhe makasih mbak, masih banyak yg kudu digali dari lasem. Dan bakal balik kesana lagi nih kayaknya :D

      Hapus
  23. Menarik. Gambaran tentang Lasemnya detil banget. Kebetulan saya mau berkunjung ke sana untuk berburu batik Lasem.
    Terima kasih.
    Salam kenal :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Salam kenal mbak, iya batij lasem cantik-cantik

      Hapus
  24. Lasem, kota pusaka yang sudah masuk dalam destinasi selanjutnya. selalu menarik kalau kita mau mengulas tentang keunikan lasem dari sisi nilai historisnya.

    Mas g mau bawa saya ke lasem? haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Setuju, mas. Yuk agendakan sama mas Halim juga hahaha

      Hapus
  25. Ternyata banyak hal unik di Lasem ya,
    bolak-balik lewat sana tapi belum pernah 'ngubek-ubek'.
    kalau mau meng-ekplor, sebaiknya mulai dari sisi mana ya Pak?
    terima kasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. hmmm.. mulai dari mana saja bisa. dari rumah-rumah tua juga bisa

      Hapus
  26. Rumah e terkesan singup ya mas..

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe ya begitulah. positif thingking aja sih mas anggap saja memang sudah pernah masuk ke rumah itu

      Hapus
  27. Lasem ... mudah2an tahun ini bisa ke sana
    bener ya, semakin banyak kita cari tau makin banyak yang nggak tau
    jadi udah bener nikmati Lasem, duduk di teras rumah opa saja menikmati suasana
    datang ke sini pastilah tak cukup sehari dua hari

    BalasHapus
  28. fotonya bercerita, bagus. Saya belum pernah ke Lasem, ternyata unik dan so Indonesia ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih kak :D
      Betul Lasem sebenarnya memilik peranan penting dalam sejarah harmonisasi antar etnis yg damai :)

      Hapus
  29. Gara-gara baca ini Lasem ku masukin daftar list traveling nanti, keren-keren bangunan heritagenya. Semoga kesampaian kesana :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. Amiin segerakan mbak :D
      Lasem masih rendah hati kok utuk dikunjungi :)

      Hapus
  30. Gila mas johanes, aku tercengang baca penuturan ceritamu, bener2 menjiwai
    Huhu #khas blogger yang bener2 traveler ini mah
    Btw bener, klo nyeberang pantura dengan diapit raksasa (truk tronton) gitu serasa berada di adegan fast furious tu mas hahaha
    Lasem yang sarat akn kisah sejarah ya, khususnya etnik tionghoa dengan aneka peninggalannya.
    Btw pekuburan kunonya artistik banget emang. Terus aku juga pnasaran sama mural2 yang ada di klentengnya. Biasa, aku mang suka cerita folklore gitu

    Ohya kopi lelet apa spesialnya mas?

    BalasHapus
  31. Ahahaha makasih mbak nit, masih belajar nulis nih :3
    Kopi lelet spesial krn bubuknya yg halus, menjalani beberapa kali proses penggilingan. Makanya, ampasnya bisa buat ngelukis rokok :D

    BalasHapus
  32. Ada juga ya yang namanya kopi lelet. Kirain cuma jaringan yang lelet. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. pelafalannya beda mas hehehe e nya dibaca seperti kata memerah sapi :D

      Hapus
  33. Btw itu bangunnaya nuansananya emang horror atau bener-bener horror ya om :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. selama positif thingking gak akan ada apa-apa kok mas :D

      Hapus
  34. dari fotonya kok tempatnya agak" gimanaaa gitu wkwk , tp menarik sih byk yg bisa dikunjungin. suka sama artikelnya mas, bagus. ditunggu postingan selanjutnya.
    mampir jg mas kesini Pariwisata siapa tau butuh info tmpt wisata. makasih

    BalasHapus
    Balasan
    1. gak kok, biasa aja. seperti rumah pada umumnya :)

      Hapus
  35. Jadi inget dulu waktu kecil sering naik patung singa yg di depan klenteng.. hehehe...
    Masih sama bentuknya kayak dulu klentengnya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bapak saya yg asli sana mas. Biasanya setahun sekali kesana pas lebaran.. ni udah 2 tahun ga kesana..

      Hapus
    2. walah pasti udah diceritain banyak ttg lasem ya mas sama bapak? ato udh nulis ttg lasem kah ?

      Hapus
    3. Iya banyak mas.. tapi blm nulis soalnya foto2nya blm ada.. hehehe..

      Hapus
  36. Jadi pengen ke Lasem deeh baca tulisanmu mas, di dekat saya daerah Pedan Klaten, juga banyak rumah 2 tua gedong gitu, dulunya Pedan juga kota batik tepatnya Lurik, mungkin dulu itu runah2 Tionghoa juga.

    BalasHapus
    Balasan
    1. waaah msih dihuni ato sudah ditinggalkan mbak?

      Hapus
  37. Dengar punya dengar, ini jadi tempat terkuat etnis Tionghoa pada masa penjajahan Belanda ya? Mereka ikut serta dalam meraih kemerdekaan Indonesia. Kisahnya lengkap disini, juara. :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul mbak, bahkan ada selentingan disana tidak mempunyai sumbu, jadi memang gak mudah tersulut oleh isu2 SARA :))

      Hapus
  38. Saya baru satu ke Lasem, itu juga hanya 2 hari, menemani teman saya penelitian. Tidak ada pikiran saat itu untuk menengok sejarah dari masa ke masa di Lasem. Ternyata ada banyak hal bersejarah dan khas yang saya lewatkan ketika mengujungi daerah yang membuat saya berkeringat lagi selang setengah jam mandi.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehehe panas ya? maklum pantura :3
      kalo kesana lagi ajakin aku mas :D

      Hapus

Posting Komentar

Baca Juga

Menyusuri Jejak Oei Tiong Ham, Raja Gula dari Semarang

Bersekutu dengan KM Kelimutu

Jelajah Kampung Kauman Semarang