Lasem dalam Lini Masa
Menyapa pegunungan Lasem ketika pagi hari. |
Sebelum benar-benar berangkat ke Lasem, saya telah membaca
berbagai hal tentang Lasem dari berbagai macam sumber. Namun saya sadar,
sebanyak apapun saya mencari tahu tentangnya, justru saya merasa semakin tak tahu
apa-apa. Jadi, ketika akhirnya tiba di Lasem saya berusaha mengesampingkan semua yang saya ketahui tentangnya. Anggap saja
saya sedang amnesia karena kepala terbentur tembok tempo hari.
Ekspektasi saya tentu saja adalah bangunan-bangunan kuno,
jalanan yang lengang dengan tembok-tembok tinggi di kanan-kirinya. Seakan mengurung
harta terpendam yang tak ternilai dari Lasem, sebuah kota kecil di pantura Jawa Tengah. Yang terjebak
dalam memori masa lalu, di tengah truk-truk besar yang berjalan merayap ataupun klakson bis-bis yang menyalak kesetanan.
Saya mengawali perjalanan menuju Lasem dengan mengendarai sepeda motor seorang diri. Menyusuri jalur pantura Semarang, Kudus hingga Rembang bukan sesuatu hal yang mudah sebenarnya. Terlebih karena lawan yang akan dihadapi adalah kendaraan-kendaran besar. Tapi saya yang masih termasuk pemula dalam dunia per-sepeda motoran (khususnya jarak jauh) ini akhirnya memberanikan diri juga. Nekat? Mungkin iya.
Gunung Muria di kejauhan. |
Perkenalan saya dengan Lasem membawa saya bertemu dengan Mas Pop. Pria dengan rambut yang tergerai sebahu ini juga seorang pemerhati heritage di Lasem. Tawaran untuk memandu saya untuk menjelajah Lasem tentu bukan tawaran sembarangan yang harus diabaikan begitu saja. Lagipula bangunan-bangunan tua yang masih tegak berdiri itu tak bisa menuturkan cerita sendiri, tanpa perantara yang melaluinya dapat kita dengarkan dengan seksama tentang memori-memori masa lalu itu.
Kota kecamatan yang masih termasuk dalam Kabupaten Rembang ini sebenarnya memiliki bentang alam yang lengkap. Mulai dari laut, pesisir pantai, dataran rendah hingga perbukitan. Dan hingga pada satu titik, pantai bertemu langsung dengan barisan perbukitan, dipisahkan oleh satu ruas jalan aspal yang kini kita kenal dengan jalur poros pantura Jawa. Kesemuanya terdapat kehidupan masyarakat yang aktif pada masing-masing titik tersebut.
***
Pagi-pagi buta Mas Pop mengajak saya untuk menyusuri Jalan Dasun. Bersama Jana, seorang solo traveler asal Ceko yang tiba satu hari lebih awal dari kedatangan saya di Lasem. Setelah bersusah payah mengendarai sepeda motor melalui pematang tambak yang berlumpur dan licin, kami bertiga sampai sebuah pantai. Panti Dasun, begitu warga setempat menyebutnya. Pantai Dasun ini letaknya juga bersisian dengan muara Sungai Lasem.
Awan mendung menggantung di langit Lasem, dan angin berhembus pelan pagi itu. Angin yang sama membawa pasukan Jepang mendarat di pantai ini tahun 1942. Kemudian Jepang mengambil alih satu galangan kapal milik Belanda serta membangun dua galangan lagi. Namun siapa sangka, sejarah pembuatan kapal di Lasem ternyata sudah dimulai jauh sebelum jaman kolonial, yaitu sejak era imperium Majapahit.
Kopi lelet. |
Setelah menuangkan kopi lelet ke dalam tiga buah cangkir mungil, Mas Pop mulai bercerita.Yang membuat 'imajinasi waktu' saya harus ditarik lebih jauh lagi, dari pendaratan tentara Jepang di pantai Dasun ini. Sambil menunjuk PLTU Sluke di kejauhan, Mas Pop berkata bahwa di dekat PLTU tersebut terdapat sebuah situs perkuburan kuno yang ditemukan tak sengaja oleh pemilik lahan di pinggir laut beberapa tahun silam. Keberadaan situs yang diperkirakan berasal dari jaman prasejarah ini, bisa jadi membuktikan peradaban awal di Lasem dan sekitarnya.
Ketika mendengarnya, saya hanya bisa membelalakan mata. Setua itukah peradaban yang pernah ada di Lasem?
***
Beralih dari muara sungai, kali ini saya diajak untuk menyusuri jalur pantura sedikit ke arah barat kota Lasem. Tepatnya di desa Punjulharjo. Tak jauh dari jalan raya, terdapat bangunan semi permanen yang berdekatan dengan sebuah lapangan dan tentu saja tambak garam. Di tempat inilah secara tidak sengaja warga menemukan sebuah bangkai perahu kuno pada tahun 2008 silam.
Bangkai perahu sedang dalam proses perendaman larutan kimia |
Masih di Desa Punjulharjo, terdapat makam kuno. |
Menurut penelitian panjang yang dilakukan, jenis perahu ini berasal dari sekitar abad ke-7 hingga ke-8. Atau setara dengan masa pembangunan Candi Borobudur! Temuan ini juga menjadi yang terlengkap, dalam arti pada waktu ditemukan dalam kondisi relatif masih utuh dibanding temuan di tempat lain. Hal itu membuat Situs Temuan Perahu Kuno Punjulharjo ini, bukan lagi aset daerah melainkan cagar budaya nasional yang harus dijaga kelestariannya.
***
Mendung semakin pekat ketika saya, Mas Pop, Mbak Lina beserta Mas Doni yang baru tiba di Lasem siang harinya, memasuki pelataran Klenteng Cu An Kiong. Jika dilihat dari halaman depan, sekilas memang tak ada yang istimewa dari klenteng yang berada di tepi Jalan Dasun ini. Namun ketika saya melangkahkan kaki masuk ke dalamnya, saya meyakini satu hal; Klenteng ini dibangun dengan sentuhan citarasa seni yang tinggi.
Klenteng Cu An Kiong tampak dari depan. |
Kata indah mungkin saja tak cukup untuk menggambarkan betapa cantiknya klenteng yang telah berusia ratusan tahun ini. Keindahan detail setiap ornamen atap, tiang, ukiran ataupun pahatan kayu serta mural pada dinding-dindingnya, seakan tak tergerus oleh waktu. Serta membuat siapapun yang melihatnya pasti akan langsung berdecak kagum.
Mural pada dinding klenteng. |
Tak ada catatan sejarah yang pasti, kapan klenteng ini berdiri. Penjarahan oleh tentara Belanda pada masa kolonial diyakini turut menghilangkan catatan sejarah tersebut. Namun klenteng ini diperkirakan dibangun sekitar abad ke-15 oleh orang-orang Tionghoa yang berlabuh di Lasem. Ya, berdirinya Klenteng Cu An Kiong juga sebagai penanda awal mula masuknya orang-orang Tionghoa di tanah Jawa, khususnya di Lasem.
Cukup untuk sekedar mengagumi keindahan klenteng ini. Kami berempat terjebak dalam diskusi-diskusi liar, ketika melihat setiap ornamen-ornamen di setiap sudut bangunan klenteng. Aneka ragam hias simbolik di setiap sudut tentu saja tak diciptakan begitu saja tanpa makna, bukan? Hal inilah yang membuat saya hanya bisa menerka-nerka apa maksud dari ornamen-ornamen tersebut. Terlebih ketika Mas Pop mengajak kami untuk mencoba mengartikan mural- mural pada dinding bangunan.
Ornamen ukiran yang sangat 'kaya'. |
Begitu detilnya gambaran torehan tinta pada dinding Cu An Kong, membuat gambar itu tampak hidup. Menurut Mas Pop, mural-mural tersebut bercerita tentang penggulingan seorang Raja yang lalim di masa pemerintahannya. Penggulingan tersebut dibantu oleh sekawanan tentara, dewa-dewi, roh halus, dan mahluk jadi-jadian. Namun Mas Pop sendiri pun belum bisa menjelaskan secara berurutan, karena bingkai-bingkai mural tersebut tersusun acak.
***
Berdirinya Klenteng Cu An Kiong juga diiringi oleh munculnya pemukiman etnis Tionghoa pertama di Lasem. Terlebih lagi klenteng tersebut memang berdekatan dengan Sungai Lasem. Seperti yang kita ketahui, selain pesisir tepian sungai adalah tempat favorit untuk mengembangkan kehidupan masyarakat di banyak tempat. Tak terkecuali di Lasem ini. Aliran sungai menjadi hal penting karena bisa memicu aktifitas perekonomian, perdagangan dan juga transportasi masyarakat pada masa itu.
Guest house berarsitektur indische. |
Kedatangan etnis Tionghoa di Lasem tak hanya terjadi sekali itu saja, melainkan terjadi secara bertahap. Mas Pop menuturkan, peristiwa-peristiwa besar turut melatarbelakangi munculnya pemukiman Tionghoa di desa Karangturi. Salah satunya adalah peristiwa yang kita kenal dengan peristiwa Geger Pecinan.
Kita akan dibawa bergeser ke tahun 1740-an, di Batavia terjadi pembantaian etnis Tionghoa secara besar-besaran. Pada masa itu, pemerintah kolonial Belanda memberlakukan politik pengurangan etnis Tionghoa, karena jumlahnya sudah melebihi dari jumlah serdadu VOC. Hal itu memaksa mereka yang selamat dari peristiwa tersebut untuk keluar dari Batavia, dan Lasem lah tujuan mereka.
Pagi hari di rumah Opa. |
Salah satu pemukiman yang masih bertahan tersebut berada di desa Karangturi gang 4. Mas Pop mengajak kami untuk menembus hujan gerimis menuju rumah Opa Oma, salah satu rumah yang masih bertahan di Karangturi gang 4. Beruntung pintu gerbang belum dikunci, mengingat hari sudah hampir beranjak malam.
Di beranda rumah, Mbak Menuk terlihat sibuk menampung air bocoran dari atap rumah disana sini. Sementara itu Opa yang biasanya duduk di beranda, mungkin sudah istirahat di kamarnya. Lagipula hujan deras yang mengguyur Lasem sejak sore, membuat siapapun lebih memilih mendekam di dalam hangatnya rumah. Sedangkan Oma kini hanya bisa berbaring di ranjangnya.
Sulit membayangkan bagaimana rumah ini masih tegak berdiri selama ratusan tahun. Terhitung sejak kakek buyut Opa ketika mendirikan rumah ini pertama kali, tutur Mas Pop. Itu berarti, rumah ini sudah bertahan selama empat generasi! Meskipun sebenarnya kerusakan ada disana sini, termasuk atap yang bocor tadi. Cukup miris sebenarnya, melihat beberapa ruangan kosong berisi tumpukan barang yang terpakai. Jika dibersihkan pun Opa biasanya akan marah, kata Mas Pop.
Beranda rumah yang damai. |
Jika mata anda jeli, terlihat lukisan-lukisan detil pada atap gerbang tersebut. |
Sebenarnya masih banyak rumah-rumah Tionghoa lainnya yang nasibnya masih lebih beruntung dari rumah opa Oma. Rumah yang berciri khas simetris pada kedua sisinya ini, biasanya dilengkapi dengan beranda yang cukup luas. Pintu utama terletak tepat di tengah-tengah, didampingi dua jendela besar di kanan kirinya. Altar untuk sembahyang menghadap tepat ke arah pintu utama, serta kamar-kamar terbagi di kedua sisi rumah. Rumah-rumah tersebut biasanya tersembunyi di balik tembok-tembok tinggi bercat putih.
***
Mari sejenak bergeser dari bangunan-bangunan kuno yang membangkitkan memori-memori masa lalu tersebut. Selain bangunan, sejarah panjang Lasem juga terekam dalam selembar kain batik. Alkulturasi budaya Tionghoa dan Jawa menghasilkan karya berupa batik pesisir utara yang kini dikenal dengan sebutan Batik Lasem. Motif batik Lasem mendapat pengaruh corak simbolik tradisi Tionghoa yang berpadu dengan motif lokal, tentu saja dengan ciri khas warna merahnya.
Dari lembaran-lembaran kain putih ini, mahakarya itu diciptakan. |
Mengintip proses panjang kain batik. |
Motif-motif tersebut diwariskan turun-temurun dalam keluarga pembatik. Yang diambil dari kisah sejarah, alam, dan budaya Jawa-Tionghoa. Pada masa keemasannya yaitu pada tahun 1860an, usaha batik pada masa itu merupakan usaha yang paling menguntungkan setelah perdagangan candu. Namun sempat mengalami kemunduran pada periode 1970an. Setelah batik diakui sebagai warisan dunia oleh UNESCO pada tahun 2009, kini industri Batik Lasem mulai kembali menggeliat.
Kain batik setengah jadi |
***
Lasem tak hanya soal pecinan dan etnis Tionghoanya. Saya sempat diajak Mas Pop menyusuri kampung Soditan, dimana sebuah komunitas muslim hidup damai berbaur dengan etnis Tionghoa. Selain itu Lasem juga telah lama dikenal dengan sebutan Kota Santri, dimana banyak tersebar pondok pesantren disini. Saya bisa dengan mudahnya menemukan remaja-remaja mengenakan sarung dan peci di jalanan Lasem.
Sejarah panjang Lasem membuat saya seakan menyusuri lorong waktu. Lewat penuturan dari Mas Pop, perahu kuno, tulang-belulang manusia purba, klenteng maupun bangunan-bangunan yang sudah berusia ratusan tahun, ataupun lewat selembar Batik Lasem. Hal itu juga yang membuat Mas Pop beserta beberapa komunitas pegiat heritage di Lasem memiliki misi yang sama, yaitu ingin menjadikan Lasem sebagai World Heritage City atau Kota Pusaka Dunia!
Panen bandeng bersama Pak Kadus Dasun. |
Mereka sangat optimis Lasem memang layak untuk masuk daftar suci milik UNESCO tersebut. Meski gaungnya hanya terdengar dari kota kecil nun jauh di sudut pantai utara Jawa. Ada rasa bangga, sedih ataupun haru. Melihat kegigihan mereka memperjuangkan sejarah yang sempat dilupakan negeri ini. Agar memori-memori tentang kejayaan Lasem di masa lalu kembali terdengar. Serta warisan harmonisasi antar etnis yang sudah berlangsung ratusan tahun ini, dapat dicontoh di seluruh penjuru negeri nan kaya ini.
ya ampun, meski objek yang sama, selalu ada cerita baru soal lasem, karena setiap pemandu mempunyai cerita yang berbeda2 namun sama, sama namun beda soal lasem ....
BalasHapusCerita2 itu yg melengkapi bangunan2 kuno itu mas, imajinasi waktu saya diajak bermain2 di lasem :D
Hapusinikah si bule ceko yang kamu ceritakan itu gie?
BalasHapusIya mas, sekilas dia terlihat tak kurang suatu apapun, salut untuk dia di tengah kekurangannya dia berani menjelajah dunia :))
HapusCerita setiap sejarah dan sudut lasemnya lengkap sekali mas...
BalasHapusoiya, arsitekturnya klenteng amazing :)
Itu belum semuanya mbak :D
HapusMasih banyak detil yg tidak saya tulis, biar gak kepanjangan :D
Saya percaya Lasem memang daerah yang sebenarnya sangat penting dan strategis di masa lampau di bidang perdagangan. Negarakretagama menyebut Lasem setelah ibukota dan Daha, dan kota inilah yang pertama disebut ketika kitab itu merinci kota-kota besar di Jawa bagian tengah yang dipimpin oleh keluarga raja. Tapi ketika kini Lasem hanya berpredikat sebagai kota kecamatan, menurut saya ada yang salah. Hm, kota ini pantas dapat eksplorasi dan perhatian yang lebih maksimal. Sayang sekali jika seluruh kisah yang ada di mural itu, dan di kota ini secara umum, tak bisa diturunkan sampai anak cucu.
BalasHapusAda begitu banyak hal yang bisa dipelajari dari Lasem ya, Mas. Tak sabar deh untuk bisa segera mengunjunginya, hehe.
Saya menyebutnya harta karun, mas gara. Lasem memang kaya sekali, namun seolah tenggelam oleh hiruk pikuk jalan pantura jawa. Semoga impian Lasem sebagai kota pusaka dunia, bisa mengembalikan kejayaan masa lalu itu.
HapusSy dari Tuban, Lasem itu cuma butuh waktu 2 jam dari Tuban, tapi sy hanya tau pesujudan Sunan Bonang dan pancingnya itu. Semoga suatu saat bisa menggali lebih banyak lagi.
BalasHapusBanyak yang bisa di gali dar kota kecil ini :D
Hapusahh membahas Lasem seolah tak ada habisnya.Daya tariknya pun tak pernah juga.
BalasHapusbetul, mbak. namun gaungnya belum santer terdengar :)
Hapusaaaaarrrggh nggak tahan liat makam kuno kayak gitu dianggurin.. itu makam siapa? pahatan dalam batunya apaan? :D
BalasHapusbtw, lasem, dasum.. dah macam film john carter aja ya? hehe
belum ada informasi yang jelas mengenai makam tersebut, mas yudi. sementara baru perkiraan-perkiraan. tapi kalau dilihat batu tersebut dari batuan andesit dari sekitar abad ke 7-8
Hapusmakasih infonya menarik nih jadi tahu tentang lasem
BalasHapussama-sama mbak tira :D
Hapuskapan mau mampir ke lasem?
sudah beberapa melewati lasem, namun tak pernah singgah disana
BalasHapussemoga bisa segera kesana. selalu tertarik dg cerita sejarah, peradaban dan perkembangan zaman. salah satunya Lasem
banyak yang bisa dikulik disana mas vai
HapusWah saya kok ga diajak ke perahu kuno sama guide saya hems. Masih jauh kalau harus diakui UNESCO sebab masih byk yg harus dibangun. Minimal diakui sama dinas Pariwisata deh.
BalasHapusmasih jauh bukan berarti tidak mungkin kan? itu tugas kita sebagi blogger untuk mengenalkan lasem ke khalayak. sementara baru batik tulis lasem yang baru dapat perhatian dari dinas terkait :)
HapusKalau untuk mencari bahan Heritage, Lasem harus diutamakan. Ada banyak peninggalan bersejarah di sana. Semoga pemerintah peka akan hal tersebut. Tidak serta-merta dilepaskan begitu saja.
BalasHapusbetul ma sitam. bentang alamnya juga lengkap sekali :)
Hapuswah mas klentengnya bagus banget sayang di Bondowoso jarang ada klenteng
BalasHapusbener mas, ornamennya betul-betul cantik :)
HapusCantiik bangeeet lasem di pagi harii.. Istimewa 😊
BalasHapussetuju :)
HapusItu yang megang ikan di jaring nelayan, bule kan?
BalasHapushahaha iya bang.
Hapusaku penasaran dengan makam kunonya
BalasHapusiya mbak masih saya cari tahu lagi, makanya saya belum bisa menuliskan lebih lanjut tentang makam tersebut
HapusJangan pernah berpikir untuk mengunjungi banyak obyek ketika tiba di Lasem. Cukup datang, nikmati dan nikmati apa yang dilihat, didengar dan dirasakan hehehe. Syahdu banget yah Lasem. Tahun depan mau nostalgia ke sana ahh. Mau tjurhat ama mas Pop juga hahaha
BalasHapusHahahaha iya mas, kata mas pop ke lasem ga perlu keliling2 cukup diem bengong aja sambil ngebayangin lasem di masa lalu :D
HapusRumah Opa ne karo gambar "Beranda rumah yg damai" menarik. Iku pas neng kono masuk ke ruang2 opo ger neng halaman tok?
BalasHapusMenarik untuk dipetakan secara sipil.
boleh masuk kok mas bay. penghuninya dengan senang hati memperbolehkan melihat2 sampe dalam. tapi ga semua rumah bisa dimasuki sih.
Hapusbetul, mas. tapi bukan hanya banguannnya saja, tapi hubungan antara rumah dan penghuninya yang bikin aku penasaran. Magis, kalau tidak ingin menggunakan kata angker.
Tertarik banget klonida dengar kata magis atawa angker aku
HapusAku baper. Aku kesengsem Lasem.#MenujuLasem2017
BalasHapusyuk kak ke lasem lagi :D
Hapuskalo saya yang penting rute mas hehehe kalo masalah di sananya wah itu sudah masalah jurnalis saya mah masalah jalan ajah senang hehehe mantap mas.. makin banyak tahu kita emang bakal makin bodoh ini
BalasHapusitu di guide sama mas pop dimintain bayaaran engga mas ?
BalasHapusAda fee untuk guide pasti😉
Hapusdesain bangunan klenteng unik banget ya
BalasHapus'Kaya' lebih tepatnya hehehe
Hapussering dengar tentang Lasem ini. Tapi baru tau detilnya dari blogmu ini mas. keren. panjang dan detil ceritanya
BalasHapusHehhe makasih mbak, masih banyak yg kudu digali dari lasem. Dan bakal balik kesana lagi nih kayaknya :D
HapusMenarik. Gambaran tentang Lasemnya detil banget. Kebetulan saya mau berkunjung ke sana untuk berburu batik Lasem.
BalasHapusTerima kasih.
Salam kenal :)
Salam kenal mbak, iya batij lasem cantik-cantik
HapusLasem, kota pusaka yang sudah masuk dalam destinasi selanjutnya. selalu menarik kalau kita mau mengulas tentang keunikan lasem dari sisi nilai historisnya.
BalasHapusMas g mau bawa saya ke lasem? haha
Setuju, mas. Yuk agendakan sama mas Halim juga hahaha
HapusMuralnya keren banget kaka
BalasHapusyap tul
HapusTernyata banyak hal unik di Lasem ya,
BalasHapusbolak-balik lewat sana tapi belum pernah 'ngubek-ubek'.
kalau mau meng-ekplor, sebaiknya mulai dari sisi mana ya Pak?
terima kasih
hmmm.. mulai dari mana saja bisa. dari rumah-rumah tua juga bisa
HapusRumah e terkesan singup ya mas..
BalasHapushehehe ya begitulah. positif thingking aja sih mas anggap saja memang sudah pernah masuk ke rumah itu
HapusLasem ... mudah2an tahun ini bisa ke sana
BalasHapusbener ya, semakin banyak kita cari tau makin banyak yang nggak tau
jadi udah bener nikmati Lasem, duduk di teras rumah opa saja menikmati suasana
datang ke sini pastilah tak cukup sehari dua hari
Betul mba, mari ke Lasem :)
Hapusfotonya bercerita, bagus. Saya belum pernah ke Lasem, ternyata unik dan so Indonesia ya
BalasHapusMakasih kak :D
HapusBetul Lasem sebenarnya memilik peranan penting dalam sejarah harmonisasi antar etnis yg damai :)
Gara-gara baca ini Lasem ku masukin daftar list traveling nanti, keren-keren bangunan heritagenya. Semoga kesampaian kesana :D
BalasHapusAmiin segerakan mbak :D
HapusLasem masih rendah hati kok utuk dikunjungi :)
Gila mas johanes, aku tercengang baca penuturan ceritamu, bener2 menjiwai
BalasHapusHuhu #khas blogger yang bener2 traveler ini mah
Btw bener, klo nyeberang pantura dengan diapit raksasa (truk tronton) gitu serasa berada di adegan fast furious tu mas hahaha
Lasem yang sarat akn kisah sejarah ya, khususnya etnik tionghoa dengan aneka peninggalannya.
Btw pekuburan kunonya artistik banget emang. Terus aku juga pnasaran sama mural2 yang ada di klentengnya. Biasa, aku mang suka cerita folklore gitu
Ohya kopi lelet apa spesialnya mas?
Ahahaha makasih mbak nit, masih belajar nulis nih :3
BalasHapusKopi lelet spesial krn bubuknya yg halus, menjalani beberapa kali proses penggilingan. Makanya, ampasnya bisa buat ngelukis rokok :D
Ada juga ya yang namanya kopi lelet. Kirain cuma jaringan yang lelet. :)
BalasHapuspelafalannya beda mas hehehe e nya dibaca seperti kata memerah sapi :D
HapusBtw itu bangunnaya nuansananya emang horror atau bener-bener horror ya om :D
BalasHapusselama positif thingking gak akan ada apa-apa kok mas :D
Hapusdari fotonya kok tempatnya agak" gimanaaa gitu wkwk , tp menarik sih byk yg bisa dikunjungin. suka sama artikelnya mas, bagus. ditunggu postingan selanjutnya.
BalasHapusmampir jg mas kesini Pariwisata siapa tau butuh info tmpt wisata. makasih
gak kok, biasa aja. seperti rumah pada umumnya :)
HapusJadi inget dulu waktu kecil sering naik patung singa yg di depan klenteng.. hehehe...
BalasHapusMasih sama bentuknya kayak dulu klentengnya..
loh, mas asli sana??
HapusBapak saya yg asli sana mas. Biasanya setahun sekali kesana pas lebaran.. ni udah 2 tahun ga kesana..
Hapuswalah pasti udah diceritain banyak ttg lasem ya mas sama bapak? ato udh nulis ttg lasem kah ?
HapusIya banyak mas.. tapi blm nulis soalnya foto2nya blm ada.. hehehe..
HapusJadi pengen ke Lasem deeh baca tulisanmu mas, di dekat saya daerah Pedan Klaten, juga banyak rumah 2 tua gedong gitu, dulunya Pedan juga kota batik tepatnya Lurik, mungkin dulu itu runah2 Tionghoa juga.
BalasHapuswaaah msih dihuni ato sudah ditinggalkan mbak?
HapusDengar punya dengar, ini jadi tempat terkuat etnis Tionghoa pada masa penjajahan Belanda ya? Mereka ikut serta dalam meraih kemerdekaan Indonesia. Kisahnya lengkap disini, juara. :)
BalasHapusbetul mbak, bahkan ada selentingan disana tidak mempunyai sumbu, jadi memang gak mudah tersulut oleh isu2 SARA :))
HapusSaya baru satu ke Lasem, itu juga hanya 2 hari, menemani teman saya penelitian. Tidak ada pikiran saat itu untuk menengok sejarah dari masa ke masa di Lasem. Ternyata ada banyak hal bersejarah dan khas yang saya lewatkan ketika mengujungi daerah yang membuat saya berkeringat lagi selang setengah jam mandi.
BalasHapushehehehe panas ya? maklum pantura :3
Hapuskalo kesana lagi ajakin aku mas :D