Sumurup, Sisi Lain Rawa Pening

Antara gunung, sawah dan rel kereta.
Sebenarnya sudah sejak lama saya mengetahui tentang desa bernama Sumurup. Setelah membaca artikel di blognya Mas Satya, dan begitu melihat foto-foto yang terpampang disitu, saya langsung ingin sesegera mungkin mengunjunginya. Tapi apa mau dikata, barulah pada libur Lebaran 2015 lalu saya sempat kesana.
 
Seperti tahun sebelumnya, saya dan Budhe memiliki rencana jalan-jalan bareng lagi. Mumpung dia juga lagi pulang kampung. Tapi berhubung dompet saya yang lagi cekak, dan ditambah ijin dari Babeh-nya Budhe yang tak kunjung turun untuk dia jalan-jalan terutama yang jauh. Maka diputuskanlah yang dekat-dekat sajaaah.
Menyusuri rek kereta.
Saya usul di sekitaran Ambarawa-Salatiga. Selain jaraknya yang tidak terlalu jauh dan bisa dijangkau dalam sehari, juga karena di daerah tersebut ada beberapa tempat yang menarik tapi belum pernah saya kunjungi. Terutama desa Sumurup tadi yang memang saya pengen banget kesana. Blusukan sampai Kotagede kami malah udah pernah :D

Beruntung kami memiliki teman seorang warga negara Salatiga. Jadi bisa kami tanya-tanyai informasi tentang tempat-tempat tersebut. Sekalian nemenin jalan sih kalo bisa :D Sebut saja Mas Tarom, katanya sih dia premannya Salatiga ^^V
Perkenalkan, trio rawapening :D
Desa Sumurup terletak di kecamatan Bawen, kabupaten Semarang. Sekitar 20 km dari Ungaran. Secara geografis berada di tepian Rawa Pening. Dan itulah yang menjadi daya tarik utamanya. Tak begitu sulit untuk sampai kesana. Jika dari arah Bawen atau Semarang menuju Salatiga atau Solo, persis sebelum melintasi jembatan Tuntang, akan ada jalan kecil dikanan jalan. Jalan tersebut juga merupakan jalur alternatif menuju Ambarawa. Ikuti jalan tadi sekitar 500 meter, kamu akan menemukan gapura besar masuk desa Sumurup dikiri jalan. Nah tinggal lurus saja sampai mentok kira-kira 100 meter akan ada tempat parkir yang biasanya digunakan wisatawan atau pemancing memakirkan kendaraan.

Sumurup sebetulnya bukan desa ataupun tempat wisata. Saya malah baru tahu setelah sampai disana (20/7). Jadi tidak ada pungutan retribusi masuk, hanya dikenakan biaya parkir. Itupun kalo anda membawa kendaraan (ya iyalah!) Padahal tempat ini cukup dikenal khususnya dikalangan penghobi fotografi untuk berburu foto, ataupun penghobi memancing. Apalagi sudah banyak artikel di internet yang membahas tentang desa ini, jadi saya kira ya sudah dikelola jadi desa wisata.
Budhe in action! Mas Tarom lagi ngadem :p
Abaikan modelnya, fokus pada background.
Hanya dengan berjalan kaki sebentar, kamu sudah akan menemui hamparan Rawa Pening yang hijau didepan mata. Kenapa saya bilang hijau? Iya, karena hampir sebagian besar rawa ditumbuhi tanaman enceng gondok. Selain itu juga tepian rawa yang mendangkal sudah beralih fungsi menjadi persawahan warga setempat. Ditambah lagi pemandangan beberapa gunung terlihat berjejer dikejauhan, seperti Merbabu, Andong dan Telomoyo.

Kalau ingin melihat lebih jelas lagi, bisa menyusuri rel kereta untuk menuju warung-warung apung ataupun dermaga yang memang banyak terdapat disana. Oiya, rel kereta tadi merupakan peninggalan jaman Belanda yang kini masih aktif digunakan sebagai jalur kereta wisata dari Stasiun Ambarawa-Stasiun Tuntang.
Pemandangan menghampar. Tapi panas cuy!
Ijoooo :D
Di warung apung anda bisa menikmati pemandangan Rawa Pening sambil menyantap makan siang ataupun hanya duduk-duduk ditemani segelas es teh *cleguk* Eh saya belum tahu ding menu yang disediakan disana. Lha wong saya tidak mampir di warung apung, hanya melewatinya. Tapi karena banyak keramba ikan dan penghobi mancing paling ya menunya apalagi kalo bukan ikan.

Kalau ingin melihat rawa lebih dekat lagi juga bisa, dengan menyewa sampan-sampan yang memang banyak bersandar di dermaga. Biasanya digunakan nelayan untuk mencari ikan. Kamu juga bisa berkeliling Rawa Pening yang luas itu dengan mendayung sampan. Sanggup? :p

Ada satu lagi yang unik yaitu keberadaan jembatan setengah jadi yang nantinya akan menghubungkan Sumurup dan desa-desa di sisi lain rawa. Setidaknya ada tiga bagian jembatan yang terpisah dan belum tersambung. Anehnya tiga bagian itu tidak berada pada satu garis lurus! Ini masih menjadi misteri bagi saya. Nah dari atas jembatan itu pemandangan Rawa Pening yang menghampar bisa dinikmati lebih bebas lagi.
Sore di jembatan yang gak nyambung.
Sayangnya pas pertama kali ke Sumurup bersama Budhe dan Mas Tarom, saya merasa bukan diwaktu yang tepat. Karena hampir tengah hari waktu itu. Apalagi cuaca sedang cerah-cerahnya. Bisa ditebak kan teriknya seperti apa? Ya maka dari itu Sumurup lebih cocok sebagai tempat untuk menghabiskan sore (atau pagi?) daripada siang hari. Sigh~

Barulah pada kesempatan kedua (5/9) saya datang kesana lagi di waktu yang tepat. Yaitu pas sore hari. Masih dalam rangka nemenin jalan teman saya dari Surabaya. Tapi ngemeng-ngemeng jauh banget ya sampai Rawa Pening hahaha. Lha wong dianya sendiri yang ngajak, ya udah toh.

Bapaknya lagi mancing galau. Nyender :D
Di antara keramba dan sawah.
Nah kalau sore memang cukup ramai yang datang ke Sumurup. Adalah beberapa... pasang manusia. Iya, ternyata tempat ini favorit buat pacaran juga. Khususnya jembatan tadi yang menjadi spot untuk mengabiskan sore atau melihat senja. Ditemani suara-suara hewan yang berhabitat di persawahan, sambil menikmati panorama Rawa Pening ketika matahari kembali ke peraduannya. Oiya, sore itu ada juga yang sedang mengadakan sesi pemotretan prewedding. Bikin tambah sakit mata saja! -_-
Menuju senja.
Menurut saya Desa Sumurup bisa menjadi alternatif lain untuk menikmati panorama Rawa Pening. Selain Bukit Cinta di Salatiga yang sudah dulu dikenal ataupun tempat makan di tengah rawa yang sudah cukup hits itu (tidak usah saya sebutkan). Bedanya Sumurup tidak perlu bayar untuk masuk karena bukan tempat wisata, kalau dua tempat itu kan harus bayar. (Halah bilang aja sukanya yang gratisan!! Wuuuu!!)
Senja di atas sawah.
Ketemu senja lagi :')

Komentar

Posting Komentar

Baca Juga

Menyusuri Jejak Oei Tiong Ham, Raja Gula dari Semarang

Bersekutu dengan KM Kelimutu

Jelajah Kampung Kauman Semarang