Selingan Riang di Waktu Senggang

gambar nyopet dari sini
Saya berkenalan dengan musik Banda Neira baru pada awal 2015 lalu. Awalnya sekali-dua kali mendengar salah satu lagunya yang berjudul Hujan di Mimpi diputar di radio. Iya, radio masih menjadi andalan (halah!) dalam mencari referensi musik untuk saya dengarkan. Ketika musik sudah merambah di dunia digital dan internet, seperti Soundcloud, Youtube dan kawan-kawannya.
Berawal dari penasaran, saya mulai mencari lebih banyak tentang Banda Neira ini. Terlebih lagi dari namanya saja unik. Diambil dari nama salah satu pulau di kepulauan Maluku sana. Seingat saya, dari pelajaran sejarah waktu sekolah dulu Banda Neira juga merupakan tempat dimana Bung Hatta pernah diasingkan. (Bener gak sih?)

Adalah Ananda Badudu dan Rara Sekar, dua alumnus Universitas Parahyangan ini resmi memperkenalkan diri sebagai Banda Neira Neira pada awal 2012. Meski formatnya dua orang,  Ananda di gitar/vokal dan Rara di vokal dan kadang memainkan Xylophone sebagai sempilan, mereka kekeuh tidak mau disebut duo, tapi band. Entah apa alasannya, menurut saya format duet akustik begini memang paling asik dan harmonisasinya juga dapet.

Musik yang mereka usung adalah akustik/pop/folk. Namun teman-temannya banyak yang menyebut dengan nelangsa pop, karena lirik dan musiknya yang melankolis. Tapi mungkin lebih karena mereka nelangsa tidak mempunyai studio hahaha.. jadi mereka bisa latihan dimana saja termasuk taman, rumah makan yang sepi, mushola bahkan gang sempit pun mereka jadikan 'studio musik'.

Atas dasar iseng belaka dan premis seru-seruan, mereka akhirnya memutuskan merekam empat buah lagu dan menghasilkan sebuah mini album bertajuk Di Paruh Waktu. Berisikan lagu-lagu santai nan kontemplatif. Itupun karena tidak mau membiarkan materinya terhambur tak terurus. Apalagi waktu itu Rara akan pindah ke Bali, sementara Ananda di Jakarta. Baru tahu saya ada band LDR?

Empat lagu tersebut antara lain Di Atas Kapal Kertas, bercerita tentang gadis kecil naik kapal kertas (?). Rindu yang juga merupakan musikalisasi puisi karya Subagio Sastrowardoyo, yang katanya rindu tapi menyayat seperti belati. Selanjutnya ada Kau Keluhkan (Esok Pasti Jumpa). Lalu akhirnya kita akan dibawa tersesat Ke Entah Berantah, yang menuai kritik karena salah dari segi tata bahasa. Seharusnya kan ke antah berantah.

Hasil rekaman iseng itu kemudian diunggah di Soundcloud. Ternyata mendapat respon yang diluar ekspetasi. Atas dasar itulah mereka sepakat meneruskan yang awalnya proyek iseng ini.  Ananda dan Rara menaikkan sedikit level mereka dalam bermusik dari iseng belaka menjadi iseng agak serius. (Maksudnya?)

Banda Neira akhirnya secara resmi merilis album perdana mereka pada April 2013. Album yang bertajuk Berjalan Lebih Jauh ini sendiri terdiri dari 10 lagu; empat lagu dari Di Paruh Waktu yang direkam ulang dan enam buah lagu baru. Judul album "Berjalan Lebih Jauh" bisa diartikan seperti keberangkatan yang awalnya hanya iseng-iseng lalu ditingkatkan menjadi lebih serius. Lalu memulai pemberangkatan baru (serius) secara lebih jauh.

Menemukan Banda Neira di tengah sumpeknya kota terasa membebaskan.
Musiknya yang sederhana tapi dengan begitu tidak lantas membosankan, dipadu dengan lirik yang terkesan begitu indah nan puitis. Membuat Banda Neira seolah menawarkan suasana, dan juga ide yang disimpan menjadi sebuah kesan dan pemikiran.

Jadi kalau beberapa waktu lalu ada Float dan Payung Teduh yang disebut-sebut sebagai band akustik dengan lirik Bahasa Indonesia yang indah dan puitis, maka sekarang Banda Neira bisa disejajarkan dengan mereka.

Lagu-lagu Banda Neira juga asik didengarkan ketika saya berpergian, atau mungkin juga sekedar sebagai selingan riang di waktu senggang. Tapi kok mendengarkan Banda Neira membuat saya 'berpikir' ya? Riang dari mananya? Ah anggap saja saya sedang melantur ketika memberi judul postingan ini. Gampang toh? Hehehe..

Komentar

Baca Juga

Menyusuri Jejak Oei Tiong Ham, Raja Gula dari Semarang

Bersekutu dengan KM Kelimutu

Jelajah Kampung Kauman Semarang