Jalan-jalan Hore Part #2: Kehujanan di Lereng Gunung Lawu

Pelataran Candi.
Cerita Sebelumnya klik disini

Hari kedua, bermodal pinjaman motor dari Bang Yosh semalam kami sepakat untuk melanjutkan petualangan. Kali ini kami akan melipir sedikit dari Kota Solo, yaitu di lereng gunung Lawu, kabupaten Karanganyar tepatnya. Ya memang bukan daerah Solo lagi sih, tapi nggak apa-apa lah melipir dikit. Karena terdapat beberapa tempat wisata yang sayang untuk dilewatkan, apalagi mumpung lagi di Solo. Saya dan Mas Bani juga ditemani Mas Bayu dan Mbak Ika lagi, serta satu lagi semalam memutuskan untuk bergabung namanya Mbak Titin.
 
Tempat pertama yang kami sambangi adalah Candi Cetho, butuh sekitar 1,5 jam perjalanan dari kota Solo. Candi bercorak Hindu ini berlokasi di Dusun Cetho, Kabupaten Karanganyar. Berada di lereng gunung Lawu berketinggian 1496 meter di atas permukaan laut. Bisa ditebak kan jalannya kayak apa? Iya, jalannya penuh tikungan mesra dan tanjakan curam. Apalagi tanjakan terakhir sebelum area Candi, dengan sudut kemiringan hampir 50°. Sepanjang perjalanan kami juga disuguhi pemandangan perkebunan teh Kemuning yang membentang luas di kanan kiri jalan yang kami lewati.
Seakan sedang berada di Bali.
Melihat pemandangan seperti itu saya jadi ngebayangin syuting video klip ala India-indiaan gitu kan. Lari-larian, si cowok ngejar si cewek. Terus joget bentar, lari lagi. Selendangnya si cewek melambai-lambai kena angin. Lalu berakhir dengan si cowok nyungsep di parit. :D

Sebelum masuk komples candi, kami diwajibkan membayar karcis masuk. Ya iyalah! Dan setiap pengunjung, tak terkecuali kami, juga wajib memakai kain bercorak kotak-kotak seperti papan catur yang nantinya dililitkan di sekitar pinggang, biasanya sudah disediakan. Tapi balikin ye, jangan bawa pulang. Pengunjung langsung disambut dengan gapura megah sebagai pintu masuk Candi. Tapi anehnya mirip-mirip pura di Bali. Entah memang begini aslinya atau ini hasil pemugaran. Candi ini memiliki struktur bertingkat (punden berundak) total ada 12 tingkatan, kalo nggak salah ingat sih. Dan karena letaknya di lereng gunung yang pastinya sering turun kabut membuat suasana disini agak-agak mistis. Kayak muka saya.

Di salah satu tingkatan ternyata sedang ada proses syuting entah film atau cuma sinetron kolosal. Nah itu kan di tempat umum kan ya, dan salah satu propertinya berupa kain yang di gelar di gapura yang notabene kami dan pengunjung lainnya harus menginjaknya untuk sampai di tingkatan candi selanjutnya. Kami yang tak tahu menahu tiba-tiba diteriakin tuh.

"Mas mbak, sendalnya dicopot dong!"

Kami hanya menoleh sebentar lalu ngeloyor dengan pedenya tanpa melepas alas kaki. Terus kami sukses mendapat tatapan sinis dari si mbak kru film. Muahahaha Bodo amat!
Menggila lagi dia -_-
Tak lama kemudian, kabut turun.
Sampai di tingkatan candi paling atas, turunnya kabut membuat aura mistis di kompleks Candi Cetho ini cukup terasa. Apalagi ditambah dengan aroma dupa yang masih menyengat. Selain bangunan utama candi yang tersusun dari batu-batuan, terdapat juga semacam pondokan sebagai tempat ritual. Nah di salah satu pondokan di sela-sela dupa yang sudah padam, entah mata saya yang salah mengartikannya atau benda itu memang berbentuk mirip (maaf) Mr.P? Melihat benda seperti itu Mas Bani kumat, dia nyuruh saya memotretnya dengan berbagai gaya. Kebanyakan tingkah tingkah memang orang satu ini -__-
Papan petunjuk.
Arca Dewi Sarasvati.
Di sebelah timur bangunan Candi terdapat Puri Dewi Saraswati, dan masih dipergunakan sebagai tempat berziarah, pemujaan atau upacara keagamaan dengan adanya dupa dan bunga-bunga yang diletakkan. Oiya tepat dibawah patung Dewi Saraswati terdapat sebuah kolam. Nah, ketika saya tahu di dasar kolam ada beberapa keping uang logam, feeling saya mengatakan tempat ini bisa juga dijadikan untuk mengajukan permintaan dengan melempar uang logam ke dalam kolam. Dan memang iya, Mas Bayu membenarkannya.

"Coba aja, Mas" Ujar Mas Bayu.

Mas Bani langsung merogoh saku celana mengambil uang logam dan merem make a wish. Ya ngga ada salahnya mencoba sih. Tergantung kitanya masing-masing percaya apa engga.
Menuju Candi Kethek.
Selain itu, di sebelah timur laut kompleks utama terdapat juga sebuah candi bernama Candi Kethek atau kera.Dengan sedikit treking menuruni lereng. Treking yang seharusnya hanya memakan waktu 10 menit, karena sepanjang jalan kami malah sibuk foto-foto grouvie, molor jadi hampir setengah jam. Hehehe mumpung Mas Bayu bawa tongsis muahahaha. Nah dari namanya saja pasti bisa ditebak kan disana ada patung atau semacamnya berbentuk hewan kera, pikir saya. Tapi disana saya nggak nemu tuh. Di papan informasi malah dijelaskan tentang arca kura-kura. Apa salah kasih nama kali ya? Tapi kura-kura juga nggak ada. Tauk ah!
Bangunan Candi Kethek.
Say yeaaaah
Sebelum melanjutkan perjalanan ke tujuan selanjutnya, kami mampir di sebuah warung untuk makan siang. Dengan percaya diri Mas Bani memesan makanan yang belum pernah dia makan: nasi tumpang. Tapi setelah disajikan bukannya dimakan malah dianya pengen muntah. Dia ternyata nggak doyan sambel tumpangnya yang memang terbuat dari tempe busuk. Muahahaha kebanyakan gaya sih. Makanya pilih yang pasti-pasti aja. Yang lebih mahal banyak. Saya sendiri memesan Indomie rebus, Mas Bayu memilih nasi soto serta Mbak Ika dan Mbak Titin memesan nasi pecel. Eh tapi yang bikin kaget kami berlima semuanya cuma habis tiga puluh ribuan. Serius, murah banget kan.
Kelihatan adem.
Selanjutnya kami langsung menuju Curug Parang Ijo. Tadinya mau ke Candi Sukuh, tapi kata Mas Bayu lagi ada pemugaran dan cuma bisa lihat area depan candi aja. Jadi kami memutuskan untuk langsung ke Curug Parang Ijo saja. Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di Curug ini. Sesuai dengan namanya, suasana di area Curug memang ijo-ijo. Asli bikin adem di mata. Beberapa tanaman ditata sedemikian rupa jadi lebih menyerupai taman yang cantik menurut saya. Curugnya sendiri malah biasa-biasa aja. Tapi sayangnya curug ini masih sepi pengunjung, mungkin kalah pamor dengan saudaranya, yaitu Curug Jumog yang juga akan kami kunjungi setelah ini. Di parkiran tadi juga hanya ada beberapa sepeda motor. Selain itu fasilitas yang tersedia seperti wahana flying fox dan kolam renang nampaknya tidak terurus dan terbengkalai. Kabarnya juga terdapat area perkemahan di atas sana. Satu lagi, seekor monyet juga nampak tidak terawat karena saya tidak melihat makanan di kandangnya. Kasihan ya :'(
Kesannya asri banget kan?
Siapa itu di bawah -_-
Awan mendung sudah menggantung sesampainya kami di area parkir Curug Jumog yang terletak di Desa Berjo, Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar ini. Setelah membayar karcis kami beregas menuruni ratusan anak tangga menuju area utama curug. Anak tangga yang tersusun rapi sudah berupa semen untuk memudahkan pengunjung agar tidak terpeleset. Dari segi fasilitas, Curug Jumog juga dilengkapi sebuah kolam renang yang tidak begitu dalam, mungkin hanya diperuntukkan buat anak-anak. Namun berbeda dengan kolam renang yang ada di Curug Parang Ijo tadi, di Curug Jumog ini nampaknya masih terawat dengan baik.

Nah, selesai menuruni ratusan anak tangga tadi yang lumayan bikin napas engap dan dengkul pegel, belum ada lima menit berselang dan kami belum sanpai air terjunnya, hujan langsung turun dengan derasnya. Matik! Kami lalu memutuskan untuk berteduh di sebuah warung sambil menunggu hujan reda. Hari sudah semakin sore, dan hampir dua jam kami berteduh belum juga ada tanda-tanda hujan akan segera reda. Bahkan sampai warungnya mau tutup, kami masih belum beranjak. Mau lihat curugnya pun sepertinya percuma, karena kalau sedang hujan begini pasti warna airnya sudah berubah menjadi cokelat. Dan sudah tidak menarik lagi tentunya. Baiklah, sepertinya hujan berhasil mengalahkan kami hari ini. Tapi suatu saat saya pasti kembali lagi kesini. Tunggu saja pembalasan saya!

Kami pulang ke Solo menembus hujan yang masih turun rintik-rintik. Di tengah perjalanan pun hujan sempat menderas lagi. Asiikk, hujan-hujanan lagi nih. Muehehehe :D

Hatchiiinggg..!!! Yaelah baru kehujanan bentar aja udah bersin-bersin. Ngana bilang diri ngana lelaki?

Sampai di Solo hari sudah menjelang malam. Dalam keadaan basah kuyup kami numpang bersih-bersih badan dan sekalian ganti baju di kantor Bang Yosh. Sebelum Mas Bani balik ke Jogja naik Prameks yang berangkat jam setengah sembilan, kami mampir dulu untuk makan. Saya sendiri memutuskan semalam lagi di Solo, karena jika dipaksakan pulang akan kemaleman sampai Semarang. Pilihan kami jatuh pada nasi liwet yang ternyata harganya bikin susah nelen. Mahal :( Dengan porsi yang tak seberapa dan segelas teh hangat yang terlalu manis.

Hujan semakin menderas ketika ponsel saya bergetar pertanda SMS masuk. Saya buru-buru merogoh saku celana saya. Ya maklum sih menjelang hari raya Imlek kan identik dengan musim hujan yang seakan tiada hentinya. Tak apa, kata orang hujan itu berkah.

Kangen.

Saya hanya tersenyum ketika tahu pengirimnya dan membaca isi SMS yang nggak ada bedanya antara singkat padat, jelas atau kehabisan kata-kata itu. Tanpa pikir panjang saya berniat langsung menelponnya. Saya menempelkan ponsel di telinga saya, dan yang terdengar adalah...

"Maaf pulsa anda tidak mencukupi untuk melakukan panggilan telepon, silahkan...."

Arghhhhhhh......!!!!!! Sh*&%$@#$%&*?"%

Terima kasih atas kebersamaannya :)



Komentar

Posting Komentar

Baca Juga

Menyusuri Jejak Oei Tiong Ham, Raja Gula dari Semarang

Bersekutu dengan KM Kelimutu

Jelajah Kampung Kauman Semarang