Jalan-jalan Hore Part #1: Lost in Solo

Jalan-jalan ke Solo ini sebenarnya adalah rencana yang hampir kadaluarsa dan mulai membusuk. Iya, lha wong rencananya tahun lalu dan hampir setahun kemudian baru kesampaian. Tapi kali ini saya tidak sendiri, saya bersama seorang teman yang saya kenal lewat Facebook, namanya Mas Bani dari Jogja. Dia awalnya sih ngajak one day trip aja ke Solo, atau kalau terpaksa nginep ya kami akan tidur di taman atau kalau perlu di emperan toko, intinya kami akan nggembel hore waktu itu. Tapi yah apa mau dikata, salah satu personil yang mau ikut yang juga temen Mas Bani mendadak sakit. Gagal deh. Bener ya manusia bisa aja penuh rencana keren di otak mereka, tapi Tuhan bisa seenaknya sendiri menentukan takdir. Itu sih hikmah yang bisa saya ambil. *tsahh*

Lalu kami sepakat pada tanggal 11-12 Februari kami akan jalan-jalan ke Solo. Saya waktu itu yang juga lagi luang ya oke-oke aja. Lagipula saya penasaran banget sama kota Solo itu seperti apa sih, meskipun sering lewat tapi belum pernah sekalipun main di Kota ini. Kemarin-kemarin juga sempet terbersit pengen jalan-jalan sendirian one day trip aja ke Solo. Eh tahunya ini ada temen barengan, ya udah hayuk aja lah.
 
Sebelumnya kami woro-woro dulu tuh di grup facebook Backpacker Joglosemar, siapa tahu ada anak solo yang lagi luang terus bisa ngehost kami. Cuma satu sih alasannya, takut nyasar. Tapi itu bukan saya ya, tapi Mas Bani. Maklum dianya masih newbietol. Yaelah masih di Jawa ini, lagian Solo juga cuma selemparan kolor dari Jogja, parno amat deh. Eh ada yang nyaut deh tuh. Adalah Mbak Ika, katanya sih dia berprofesi sebagai seorang bidan di sebuah klinik bersalin, tapi hobinya kluyuran. Bersedia untuk ngehost kami para gembel hina tak tahu diri ini.
Sampai Solo juga!
Singkat kata, kami bertemu di Stasiun Purwosari jam setengah 12 siang sesuai perjanjian dengan berbagai pertimbangan. Asal tahu saja, sebelumnya kami belum pernah ketemu. Tapi begitu pertama lihat kami langsung bisa saling mengenali satu sama lain. Seperti sudah memiliki chemistry. Atau jangan-jangan... kami saudara kandung yang terpisah sejak kecil? Dan drama pun terjadi di Stasiun Purwosari pada pagi menjelang siang itu.

"Kakaaak..."

"Adiik..."

Dalam gerakan slow motion kami berlarian, lalu berpelukan sambil menangis haru.

Oke, lupakan. Itu hanya imajinasi saya. Kembali ke dunia nyata.

Setelah berjabat tangan dan cipika-cipiki kami langsung memulai jalan-jalan kami. Jalan-jalan disini dalam arti yang sebenarnya, iya kami bener-bener jalan kaki. Alasannya sih pengen menikmati suasana Kota Solo, tapi aslinya mah karena kami memang mau ngirit. Maklum kere. Karena Mba Ika baru akan bergabung nanti jam 2 siang, kami memutuskan untuk jalan berdua duluan sambil gandengan tangan.

Niatnya sih mau menyusuri Jalan Slamet Riyadi dulu, karena di sisi sepanjang jalan tersebut terdapat citywalk yang cukup adem dan nyaman buat jalan kaki. Tapi pada kenyataannya, ada saja tuh sepeda motor yang lewat, dan buat berjualan juga. Ini nih permasalahan klasik jalur pedestrian alias pejalan kaki di kota-kota besar di Indonesia. Selain itu, sepanjang jalan itu ada beberapa tempat bisa kami kunjungi. Di antaranya Stadion Sriwedari, Stadion ini merupakan stadion pertama di indonesia yang dibangun oleh pribumi, dan juga sangat bersejarah karena menjadi tempat penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional pertama. Kami nggak masuk ding, cuma lewat depannya doang.
Sebelah kiri itu manusia ya, bukan patung.
Terus ada juga Museum Radya Pustaka, yang juga merupakan museum pertama yang ada di Indonesia. Duh, di Solo banyak yang serba pertama ya? Kalo cinta pertama ada nggak ya? *lalu digetok*

"Mau masuk nggak nih mas?" Tanya saya.

"Hayuk ajalah, liat-liat bentar" Sahut Mas Bani.

Ternyata bayar sodara-sodara! 5ribu per orang. Kamera juga dipungut retribusi. *sigh* Bukannya kalo masuk museum itu gratis ya? Ng.. nggak tahu juga ding, soalnya saya juga belum pernah bener-bener masuk museum. Seringnya ngetrip pas weekend sih, terus pas mau masuk museum pasti tutup. Ya iyalah! Mana ada museum buka pas weekend, nyet? Pe'a ya? -_-
Baru tahu ada ginian.
Berbagai koleksi disimpan disini, di antaranya terdiri dari berbagai macam arca, pusaka adat, wayang kulit, buku-buku kuno dan uang kuno juga. Nah yang menarik perhatian kami adalah mesin ketik huruf jawa. Baru tahu ada ginian, mungkin satu-satunya yang pernah di buat kali ya. Pastinya yang bikin para meneer Belanda dulu.

Kami sih aslinya cuma gaya-gayaan masuk museum beginian. Ya sok-sokan aja pengen mengetahui sejarah lewat barang-barang koleksi museum ini. Padahal di dalam kami malah menggila, berfoto dengan berbagai pose. Mulai dari pose alay sampai pose yang membuat kami sepakat bahwa tidak akan menunggahnya ke media sosial, sebelum merusak selera makan orang yang melihat foto kita. :D Please jangan tanya foto itu lagi. Sudah saya hapus!
Menggila di museum. Anggap saja ucapan selamat berpuasa :D
Selain itu kami melewati juga Museum Batik Danar Hadi, mau masuk takut bayar masuknya mahal. Soalnya dilihat dari luarnya saja bangunannya berkesan modern.

Kami melanjutkan menyusuri citywalk sepanjang Jalan Slamet Riyadi masih jalan kaki, tujuan selanjutnya mau ke Alun-alun Utara dan Keraton. Tapi kali ini nggak cuma kami berdua, ada anak Solo lain yang kebetulan lagi luang dan mau nemenin kami. Namanya Mas Bayu. Anak Teknik sipil yang akan jadi guide dadakan kami kali ini. Soalnya dia juga sedikit banyak tahu tentang sejarah di Kota Solo. Daripada nunggu Mba Ika kelamaan. -_-

Please, kalo kamu waras jangan coba-coba meniru apa yang kami lakukan. Jalan Slamet Riyadi dari ujung ke ujung itu ada kali sekitar 5 kilometer, dan kami jalan kaki? Mungkin kami nggak ada bedanya antara kurang waras atau cuma mau ngirit.

Sesampainya di Alun-alun Utara, saya sedikit terkaget-kaget. Kok banyak banget yang jualan? Apa aslinya emang gini, buat jualan? Ternyata mereka ini para pedagang Pasar Klewer yang baru saja terkena musibah kebakaran beberapa waktu yang lalu itu. Karena letaknya yang tidak begitu jauh, jadi Alun-alun Utara ini digunakan sebagai pasar darurat.
Gerbang Utara Keraton. Namanya lupa
Masuk keraton juga harus bayar. Kamera  juga kena retribusi. Ampun dah -_- Sebelum masuk halaman keraton, pengunjung diharuskan melepas sandal. Tapi kalo sepatu nggak usah! Aneh kan? Alhasil saya nyeker tuh. Karena pake sendal, sementara Mas Bani dan Mas Bayu pake sepatu. Halaman ini dialasi dengan pasir hitam dari pantai selatan dan ditumbuhi oleh berbagai pohon langka. Uniknya, di sekitaran halaman juga dihiasi dengan patung-patung bergaya Eropa. Aneh ya? Entah bagaimana sejarahnya. Selain itu juga ada sebagian kompleks keraton yang difungsikan sebagai museum. Menyimpan berbagai koleksi milik kasunanan termasuk berbagai replika pusaka keraton, kereta kencana dan gamelan.
Sok serius :p
Patung bercorak Eropa.
Menggila lagi -_-
Tapi kami tak bisa berlama-lama karena keraton akan segera di tutup bagi para pengunjung pada pukul 3 sore. Dan kami sadar saat kami merasa seperti diusir secara halus ketika lampu museumnya dipadamkan oleh penjaga.

Mbak Ika baru bergabung saat kami sudah di Benteng Vastenburg. Tidak banyak yang bisa kami lakukan disini. Yang menarik cuma gerbang depan. Mau masuk juga tidak bisa karena digembok, lagipula dalamnya terlihat hanya semak-semak ilalang yang sudah meninggi. Paritnya juga penuh dengan sampah. Anehnya kami malah diberi tahu oleh sepasang turis asing tentang sejarah Benteng Vastenburg ini. Bahwa di masa lalu pernah terjadi banjir besar yang menenggelamkan hampir separuh dari tinggi gerbangnya.
Benteng Vastenburg.
Kami juga menyempatkan untuk mencicipi es dawet selasih di Pasar Gede. Lumayan buat menghilangkan dahaga setelah jalan kaki di siang bolong. Suegeer!

Langkah kami akhirnya terhenti karena hujan. Kami berteduh di sebuah warung makan, bisa sekalian makan siang niatnya. Iya, perut sayasudah meronta-ronta minta diisi, tadi pagi juga saya tidak sarapan. Bukan karena saya jomblo dan nggak ada yang ngingetin makan sih, ya cuma mau ngirit aja. *ngeles*

"Pesen apa, Mas?" Tanya si mbak penjaga warung.

"Saya pesen sepiring cinta dan segelas kasih sayangnya mbak. Karena saya lagi lapar akan cinta dan haus kasih sayang" Celetuk Mas Bani.

"....." Si mbaknya cuma melongo mendengarnya.

"Terus teman saya itu pesen es teh satu. Tapi nggak pake gula ya mbak. Tuh, lihat mbaknya nggak pake gula aja udah manis. Ntar dia malah kena diabetes!"

*si mbaknya muntah...
*trus warungnya tutup...
*trus kita nggak jadi makan...
*trus kita nangis di jalan sambil ujan-ujanan...

Ya Allah, aim salah apa ya Allah...

Duh saya makin ngawur -__-" Abaikan yang tadi ya, kita jadi makan kok. Karena saya yang aslinya udah kelaparan dari tadi.

Beres makan, tapi hujan masih belum berhenti. Jadi kami masih tertahan di warung makan ini. Sampai saya sadar ada keanehan disini. Saya celingak-celinguk untuk memastikannya. Lalu berbisik pada Mas Bani.

"Mas, coba deh itung kalender disini ada berapa?"

"Emang ada apa?" Ujar Mas Bani.

"Udah itung aja!"

"1... 2... 3... 4... ...12???"

Kami berdua ngakak. Ini lebih mirip kios penjual kalender daripada warung makan. Kalender bisa segitu banyak tertempel di dinding. Mulai dari produk oli yang memajang wajah brand ambassadornya, seorang pembalap F1 favorit saya. Sampai model yang berpose aduhai dari sebuah produk cat! Wkwkwk Saya berniat meminta satu kalender, baru ingat saya belum punya kalender baru di kamar kostan. Tapi ketika membayar makanan yang sudah kami makan tadi. Begitu mendengar nominalnya, saya mengurungkan niat saya tadi. Ough! Mahal untuk ukuran saya yang kere ini. Perasaan tadi saya pesen menu biasa biasa aja, kok bisa jadi semahal itu sih :(
Menyapa mereka sepanjang jalan.
Hari semakin sore dan hujan sudah mereda ketika kami melanjutkan jalan. Sesekali saya harus berjingkat, menghindari genangan air di sisi jalan. Untung bukan genangan masa lalu. Eaaa Karena memang dasarnya masa kecil kami kurang bahagia, entah siapa yang memulai tiba-tiba saja sebuah dahan pohon yang tidak begitu tinggi bergoyang dan menimbulkan hujan lokal. Alhasil kami harus berlari menghindari hujan lokal tersebut jika tidak ingin pakaian kami  basah. Iseng saya kumat, pohon berikutnya giliran Mas Bani berlari sambil mengucapkan sumpah serapah pada saya. Wkwkwk

Oiya, kami juga melewati Pasar Antik Triwindu. Itu, yang terkenal menjual berbagai barang antik. Karena muka saya sudah antik, jadi nggak perlu mampir lah ya -_-
Karena Mbak Ika juga masih ada urusan di klinik, saya dan Mas Ban memutuskan untuk istirahat di sebuah Masjid. Sekalian Mas Bani bisa menunaikan ibadah shalat maghrib. Selagi dia shalat, saya hanya bisa bengong bego di pelataran Masjid, sambil mengurut betis saya yang mulai kerasa pegelnya :(

Menjelang malam langkah kami belum berhenti. Padahal kaki saya udah mau copot rasanya :( Kali ini kami akan bergabung dengan acara wedangan yang sering diadakan oleh teman-teman Backpacker JogloSemar, khususnya yang tinggal di sekitaran Solo. Saya serasa bagaikan tamu negara yang disambut meriah oleh warga Solo. *tabur bunga* *Tsaahhh Wedangan ini mungkin ya semacam angkringan kalo di Jogja. Bisa sambil nongkrong bareng, sharing pengalaman trip, atau kalo mau curhat juga boleh. Selain Mbak Ika dan Mas Bayu, beberapa orang disitu juga sudah saya kenal sebelumnya lewat grup whatsapp meskipun ini pertama kalinya kami bertemu. Begitu juga sang admin, seorang penulis yang bukunya pernah saya baca. Sayangnya saya lupa membawa buku itu, padahal tadinya saya pengen minta tanda tanganin buku tersebut. Di situ juga kami akhirnya mendapatkan tumpangan menginap malam ini. Lumayan lah daripada lumanyun. :D Adalah Bang Yosh yang ternyata sering juga menampung para traveler bule khususnya, karena dia juga bergabung di forum couchsurfing.
Solo sehabis hujan.
Selesai acara wedangan, kemudian secara berombongan kami bergerak menuju kawasan titik nol Kota Solo. Nah yang menjadi daya tarik di kawasan ini adalah lampion-lampion yang terpasang di sisi jalan, dalam rangka menyambut tahun baru Imlek yang akan segera tiba. Tadi siang sebenarnya kami sudah melewati daerah ini, tapi berhubung masih siang jadi lampionnya belum dinyalakan. Dan kalau malam ternyata memang cukup ramai di kunjungi warga Solo, untuk sekedar foto ataupun nongkrong bareng.

Setelah puas berfoto dan hari sudah semakin malam beberapa teman pamit untuk pulang ke rumah masing-masing. Dan kebetulan gerimis mulai turun, saya dan Mas Bani yang sudah kelelahan jalan seharian memutuskan untuk langsung menuju rumah Bang Yosh. Tapi petualangan kami belum berakhir sampai disini. Tenang, tunggu saja kelanjutannya, saya mau ngelurusin kaki dulu -_-"

Bersambung disini

Komentar

  1. Halo Mas! Salam kenal!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo!! Salam kenal juga. Thanks udh mampir :))

      Hapus
  2. Wahahaha... yg di bagian warung makan, kemeplakkkk tenan kak! :))))

    BalasHapus
  3. Mas city walknya ngojek gendong bisa enggak? haha

    BalasHapus
  4. pas pertama kali ke Solo saya langsung diajakin makan ceker ayam, yang bukanya cuman tengah malem itu, lupa namanya. Lokasinya nggak terlalu jauh dari Terminal Bus, dan enaaak :)

    BalasHapus
  5. ayo kulineran lagi di solo :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Baca Juga

Menyusuri Jejak Oei Tiong Ham, Raja Gula dari Semarang

Bersekutu dengan KM Kelimutu

Jelajah Kampung Kauman Semarang