Mendadak Prau 2565 mdpl

Sindoro di kejauhan :))
Berawal dari seorang teman untuk mengadakan acara reuni teman-teman SMP, namun kali ini mungkin akan sedikit berbeda. Yap, karena kali ini akan reunian di gunung alias mendaki gunung. Iya dong harus mendaki dulu. Masa iya tiba-tiba cling! Gitu dah di atas gunung? Kan gak lucu. Setelah contact sana-sini siapa saja teman SMP dulu yang masih bisa dihubungi dan diajak bergabung dalam pendakian ini, akhirnya terkumpul lah kami.. empat orang! Sigh~ Pipit, Sulis, Afriliyanto alias Pak Yanto dan saya. Lah kok cuma berempat? Itu mau reunian ato mau bikin boyband? Bodo amat!
 
Oke saya terima nikahnya ehh ajakannya untuk reunian ini.
"Kapan?" Tanya saya.
"Weekend ini" Sahut Sulis. Dia yang paling ngebet ngajakin kami naik gunung.
"Lah kok mendadak amat?"
"..."
Tapi saya iyakan saja toh weekend ini saya memang belum ada acara. Namun kami belum menentukan gunung mana yang akan kami panjat. Dengan pertimbangan jarak dan lama pendakian yang bisa di jangkau dengan waktu yang kami miliki. Gunung Ungaran? udah pada bosen (meskipun saya belum pernah), Gunung Andong? Belum pernah semua, tapi terlalu rame. Gunung Semeru?(usulan Pak Yanto) lalu digetok Sulis.
"Prau aja, gimana?" Saya mulai angkat bicara.

"Prau? Maksudnya Tangkuban Prau?" Pak Yanto gantian tanya.
"Bukan woy! Gunung Prau di Wonosobo" Pipit mulai emosi. Saya cuma nyengir, sedangkan Sulis cuma garuk-garuk kepalanya yang gak gatal.
Ngapain juga sih jauh-jauh mau ke Tangkuban Perahu? Kaya situ punya hari libur panjang aja, lha wong punya hari libur cuma weekend doang. Lagian naik Tangkuban Perahu mah gampang, gak perlu bawa perlengkapan yang ribet, naik pake mobil juga udah bisa sampe puncak, dan gak perlu capek-capek :)

Jum'at sore kami berkumpul di rumah Pak Yanto untuk membicarakan lagi persiapan dan perlengkapan apa saja yang diperlukan, seperti tenda, matras dan sleeping bag yang harus kami sewa. Iya, itu udah Jum'at sore sementara kami belum dapat sewaan perlengkapan. Besok pagi baru diusahakan sama Pipit dan Pak Yanto katanya. Yasudahlah saya sih selow aja, lagian saya udah modal kompor lapangan plus gasnya *pamer kompor baru.

Hari Sabtu pun tiba, hujan deras sepanjang hari berhasil menggagalkan keberangkatan kami yang sedianya akan berangkat jam 12 siang. Gak mungkin juga kami nekat menembus hujan, ribet aja sih naik motor pake jas ujan sambil gendong carrier. Hujan baru reda sekitar pukul 3 sore. Kami berkumpul di rumah Pipit untuk packing perlengkapan sambil menunggu 4 orang teman Pipit. Iya, kami dapat tambahan personil yang pada menit-menit terakhir memutuskan untuk bergabung bersama kami. Mereka adalah Tofa, Sidi, Ely dan Murni. Jadi total kami berdelapan dengan 6 cowok dan 2 cewek.

Setelah packing selesai lalu ngobrol, ngerokok, ngemil gorengan, ngerokok lagi, trus ngemil lagi kami 8 orang dengan 4 motor segera bergegas memulai perjalanan. Sekitar jam 5 sore kami meluncur menuju Wonosobo dengan rute Sumowono-Temanggung-Ngadirejo-Jumprit-Tambi-Kejajar Dieng, dengan estimasi waktu sekitar 4 jam perjalanan kami sudah akan tiba di Basecamp pendakian Gunung Prau di Desa Patak Banteng. Kami sempatkan berhenti sejenak di Sumowono untuk menunaikan ibadah Sholat Maghrib bagi yang menjalankannya. Perjalanan kami lanjutkan, menembus malam dingin sehabis hujan. Agak ngeri juga sebenarnya karena rak ada satupun dari kami pernah lewat jalur ini ketika malam hari. Sekitar jam 8 malam kami sampai di daerah Ngadirejo. Niatnya sih berhenti sebentar untuk mengisi BBM, makan malam dan belanja kebutuhan logistik pendakian. Namun ternyata takdir berkata lain, motor Pak Yanto sedikit bermasalah, dan hampir 2 jam kemudian kami baru bisa melanjutkan perjalanan. Melewati perkebunan teh Tambi dengan penuh perjuangan karena selain jalan yang rusak, motor Pak Yanto sering kali tidak kuat menanjak dan membuat saya dan Pipit bergantian turun lalu jalan kaki. Itung-itung pemanasan kata Pipit. Sigh~

Akhirnya kami tiba juga di basecamp Patak Banteng sekitar jam setengah 12 malam. Setelah ke toilet untuk berganti kostum, kami langsung memulai pendakian. Disini saya sudah merasa tidak nyaman dengan kaki saya, ternyata bonceng sambil gendong carrier itu gak enak pemirsa :( pegel tauk apalagi berjam-jam. Saya sempat mengambil HP untuk mengirim SMS kepada seseorang, pamit untuk melakukan pendakian dan mengucapkan selamat tanggal sebelas. Mumpung hari ini masih tersisa setengah jam lagi, tapi saya urungkan, lalu mematikan HP dan memasukkannya ke kantong jaket. Setelah melewati perkampungan penduduk, jalur mulai menanjak diantara perkebunan warga dengan jalur berupa batu-batu yang tersusun rapi. Tiba di Pos 1 Sikut Dewo kami sedikit mengantri untuk melakukan registrasi dengan biaya Rp.10.000 per orang. Iya, harus ngantri saking banyaknya yang melakukan pendakian malam ini. Sebenarnya gak perlu kaget sih, katanya Gunung Prau ini menjadi salah satu favorit pendaki karena selain menawarkan pemandangan yang sangat indah, Gunung Prau juga mudah diakses. Jadi hampir setiap weekend gunung ini ramai sekali yang ingin mendaki, bahkan denger-denger weekend kemarin ada sekitar 2000 orang yang naik. Kalo weekend ini? Tauk gak ngitung sih.

Night treking :)
Dari Pos 1 ini, dibelakang kami terhampar pemandangan malam yang indah, kelap-kelip lampu perkampungan penduduk desa. Dalam batin saya bertanya, apa yang sebenarnya dicari kami, manusia diatas sana? Mengapa ingin menjejakkan kaki di tempat yang setinggi mungkin? Yang katanya ingin mendekatkan diri kepada alam? Yang katanya ingin lebih mensyukuri nikmatNya? Atau hanya sebagai ajang pembuktian diri? Bahwa kami lebih tinggi dari manusia lainnya? Atau sekedar demi ajang pamer foto di sosial media? Sekembalinya nanti dari gunung.

Setelah Pos 1 kami dihadapkan dengan trek tanah basah yang cukup licin, mengingat sehabis diguyur hujan siang tadi. Sesekali kami terhenti di sebuah tanjakan yang mengharuskan kami ditarik secara begantian dari atas karena sangat curam dan licin. Kini kami mulai memasuki hutan, setelah sebelumnya perkebunan warga di kanan kiri kami. Saya berjalan terseok-seok, dengan napas yang memburu dan kaki yang semakin lama semakin tidak bisa diajak berkompromi. Posisi saya di belakang bersama Pak Yanto dan Sulis. Sementara yang lain entah gimana urutannya, saya gak liat karena gelap dan berbarengan dengan pendaki lain.
"Korek mana korek, Pak?" Tanya Sulis.
"Nih.."
Iya mereka berdua memang paling banter ngerokoknya. Entah sudah berapa batang yang mereka habiskan sejak dari bawah tadi.
Kami harus pintar-pintar mencari pijakan yang tepat di kegelapan, salah-salah kami bisa menginjak akar pohon yang licin lalu terpeleset. Selepas Pos 2 saya giliran jalan di depan masih bersama Sulis dan Pak Yanto. Dan benar saja, kaki saya kram pemirsa :( dua-duanya pula. Rasanya pengen nyerah aja tapi sunrise sudah melambai-lambai menantikan kehadiranku *halah. Diurut bentar, akhirnya saya bisa berjalan kembali. Daripada kelamaan berhenti membuat badan kedinginan. Dan treknya nanjak terus men tanpa ampun. Sesekali berhenti untuk mengambil napas yang semakin lama semakin pendek, lalu minum, ngerokok bahkan kalo sempet tidur dijalur.

Malam itu langit sangat cerah, sehingga banyak bintang-bintang yang terlihat. Bulan pun tak mau kalah, bersinar terang terlihat begitu dekat dari atas sini seperti bisa saya gapai dengan tangan. Suasana seperti ini cocok nih bikin puisi, pikir saya. Terus gak jadi karena sadar saya gak pernah bisa bikin puisi :D Tapi buat kamu-kamu yang pengen serigala-serigalaan mungkin juga bisa. Bisa nyemplung jurang.
Tiba-tiba dari playlist MP3 entah milik siapa mengalun lagu ini:

Tak terasa gelap pun jatuh
Di ujung malam menuju pagi yang dingin
Hanya ada sedikit bintang malam ini
Mungkin karna kau sedang cantik-cantiknya

Eh tapi malam ini bintangnya banyak, berarti mungkin kau sedang jelek-jeleknya :p

Setelah melalui tanjakan yang curam dan cukup panjang, akhirnya kami bertemu dengan tanah datar yang cukup luas, juga banyak tenda-tenda yang sudah berdiri pertanda kami sudah sampai atas. Kenapa saya tidak bilang puncak? Iya karena Gunung Prau itu sendiri adalah gunung kecil yang tidak memiliki titik triangulasi. Sedangkan tiik tertinggi 2565 mdpl berada di sebuah bukit dibelakang area perkemahan sana dengan pepohonan pinus. Kami bergegas mencari lahan kosong untuk mendirikan tenda, mengingat area utama sudah penuh dengan tenda-tenda pendaki lain. Kami melipir ke sebuah kecil dimana sudah ada 2 tenda yang berdiri disitu, dan sepertinya masih muat 2 tenda lagi untuk kami. Tanpa pikir panjang kami langsung mendirikan tenda.

2 menit..

5 menit..

10 menit..

15 menit.. dan tenda pun berdiri.

Seketika itu juga kabut turun dengan cepatnya. -_- Matik! Positif nih gak bakal dapat sunrise! Bodo amat dah! Saya langsung masuk tenda dan memakai sleeping bag karena kedinginan. Pipit, Sulis dan Pak Yanto juga ikut-ikutan. Sementara para cewek mempersiapkan hidangan untuk kami. Indomie rebus yang notabene makanan sejuta umat kalo lagi di gunung menjadi menu utama kami malam ini. Eh udah pagi ding. Walopun cuma Indomie rebus tapi kalo disantap beramai-ramai alias keroyokan karena semangkuk untuk masing-masing 4 orang tak lupa juga segelas kopi hangat rasanya udah nikmat banget dah. Apalagi ini di gunung gitu lhoh :D
Mau donk disuapin uwuwuwuw :3
Tak lama kemudian sayup-sayup terdengar suara adzan subuh di kejauhan, entah jam berapa waktu itu. Yang pasti kami jalan lelet banget, naik jam setengah 12 malam dan sampai atas hampir jam setengah 4. Berarti perjalanan kami sampai atas memakan waktu hampir 4 jam. Banyak berhentinya sih, karena saya juga ding :D. Sementara yang lainnya lebih memilih masuk tenda selepas makan, Sulis dan Pipit memilih untuk ngobrol di luar tenda. Semacem pengen ngobrol sama kabut. Begitu pula saya, yang langsung meringkuk di dalam tenda sambil MP3an karena kedinginan. Sempat mencoba memejamkan mata tapi tak bisa tidur, berbeda dengan Pak Yanto yang langsung terlelap, ngorok pula -_-.

Seperti hadirmu di kala gempa
Jujur dan tanpa bersandiwara
Teduhnya seperti hujan di mimpi
Berdua, kita berlari

Sulis lagi bercumbu dengan kabut :D
Tak ada tanda-tanda kabut segera hilang juga, malah sekarang disertai gerimis dan angin. Akhirnya Sulis dan Pipit masuk tenda ketika gerimis semakin menderas. Namun giliran saya yang keluar.
"Mau kemana, Jo?"
"Pipis mas"
Iya entah kenapa saya menjadi beser sekali, padahal di sepanjang perjalanan naik tadi tidak sama sekali. Mungkin karena faktor dingin kali ya?
Saya melipir ke sebelah tenda, tempatnya memang sedikit agak terbuka namun nampaknya aman dari pendaki lain karena tertutup kabut tebal. Kapan lagi coba bisa pipis di alam bebas? Serasa bercumbu dengan kabut hihihi..

Jam di hape saya menunjukan pukul 6.30 ketika terdengar suara teriakan dari luar, yang kemudian disambut teriakan lainnya. Apaan sih katanya gak boleh teriak-teriak di gunung? Kami berempat kompak langsung keluar tenda, dan apa yang terjadi pemirsa? Kabut tebal yang sedari tadi menyelimuti seketika seolah-olah terangkat begitu saja oleh angin lalu tergantikan pemandangan yang kita tunggu-tunggu. Ya walaupun tanpa sunrise tentunya. Di depan kami Gunung Sindoro berdiri dengan megahnya, lalu Gunung Sumbing yang malu-malu terlihat seperti bersembunyi di baliknya. Di kejauhan samar-samar muncul berderet-deret Gunung-gunung di Jawa Tengah seperti Ungaran, Merbabu, Merapi. Dataran tinggi Dieng pun nampak jelas di bawah sana. Sungguh pemandangan yang sangat indah. Dipotret dengan kamera apapun sepertinya akan tetap bagus hasilnya. Sementara saya terdiam, menyaksikannya dengan mata sambil mengucap syukur lalu merekamnya di otak.

Pose untuk cover album :p
Keknya ada yang kurang :p
Disini kami puas-puaskan untuk berfoto, karena sepanjang perjalanan naik hampir tak sempat foto-foto, karena selain gelap kami harus konsen mencari pijakan agar tidak terpeleset. Saya juga sempat menuliskan pesan di kertas kecil, pesan selamat tanggal sebelas untuk seseorang meskipun sudah terlambat karena hari itu sudah memasuki tanggal duabelas. Sebelas yang entah keberapa, yang pasti belum banyak. Saya lalu memotretnya dengan background pemandangan. Namun sampai cerita ini ditulis, saya tidak tahu harus diapakan foto itu.

Pak Yanto dan Sulis in action

Jalurnya ngeri men :(
Setelah puas berfoto, kami langsung menyiapkan menu sarapan yang tak lain dan tak bukan adalah Indomie rebus -_-. Selesai menyantapnya, kami langsung berkemas membereskan tenda dan perlengkapan lainnya untuk kemudian turun gunung. Jalan turun pun juga gak gampang pemirsa, licin banget :( saya sempat terpeleset beberapa kali. Rombongan kami akhirnya terpisah menjadi 2, dengan Pipit, Ely, Tofa dan Sidi udah jalan duluan. Sementara saya, Pak Yanto, Sulis dan Murni jalan belakangan. Jalan kami semakin sulit ketika hujan turun dan trek yang kami lalui menjadi jalur air. Terpaksa kami lanjutkan perjalanan ditengah hujan. Sesampainya di basecamp, kami tak berlama-lama istirahat dan membersihkan badan yang penuh lumpur. Sekitar pukul 2 siang kami langsung meluncur pulang dengan badan yang menggigil kedinginan dan masih ditemani kabut.

Ketika akan memasuki Perkebunan Teh Tambi saya menelan ludah, ternyata perjuangan kami belum berakhir pemirsa :(
Kamu, iya kamu -__-

Komentar

  1. Sama banget!! Aku sama temen-temenku juga entah kenapa random banget buat naik gunung dan kita memutuskan ke prau. Tapi beruntungnya pas kita naik, bisa liat sunrise :))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahhh sunrise hanya bonus yg penting perjalanannya :)) tok aku sudah pernah liat golden sunrise sikunir :p

      Hapus
  2. menginspirasi untuk nanjak ke Gunung Prau, kebetulan belum pernah kesana :D

    BalasHapus

Posting Komentar

Baca Juga

Menyusuri Jejak Oei Tiong Ham, Raja Gula dari Semarang

Bersekutu dengan KM Kelimutu

Jelajah Kampung Kauman Semarang