Lasem di Penghujung Tahun
Kami bersyukur, Lasem sedang
diberkahi langit yang cerah pagi itu. Sebuah pagi di penghujung Desember yang
selalu berkawan dengan langit kelabu, genangan di sisi jalan, atau ujung celanamu
yang basah. Beberapa saat sebelumnya, saya dan Ary tiba di Lasem, setelah
menempuh lebih dari tiga jam perjalanan darat dari Semarang. Bergerak ke arah
timur, menyusuri jalur pantura Kudus, Pati hingga Rembang yang cukup lengang.
Meski begitu, truk-truk besar yang berjalan merayap, serta bus-bus yang melaju
kesetanan masih saja menjadi kawan perjalanan yang paling setia.
Semua bermula pada sebuah pagi di
taman yang sejuk. Aryanto, seorang kawan yang saya kenal melalui tulisan-tulisan
di blognya, sedang transit sebentar di Semarang sebelum melanjutkan perjalanannya.
Kami menyempatkan untuk bertemu meski sebentar. Berbincang tentang banyak hal,
berbagi pengalaman dan cerita, sambil berjalan kaki berkeliling di sekitar
kawasan Kota Lama.
Lasem yang sedang diberkahi langit cerah. |
Dari perbincangan itu, kami juga
berencana melakukan petualangan bersama. Singkat cerita, Lasem adalah tempat
yang kami sepakati. Ary sungguh penasaran dengan kota kecil di pantura Jawa
Tengah itu, setelah membaca tulisan saya tempo hari. Dia yang belakangan ini
menjejali kepalanya dengan kisah-kisah masa lalu yang penuh sejarah, tentu saja
antusias sekali mengunjungi Lasem yang masih menyimpan memori-memori kejayaan
pada masanya.
“Lasem dan Rembang beberapa kali
disebut dalam karya Pram,” Katanya.
Baca Juga: Lasem dalam Lini Masa
Sedangkan bagi saya sendiri, ini
adalah kesempatan kedua menyambangi kota yang sering disebut-sebut sebagai
Tiongkok Kecil tersebut. Ingin rasanya melunasi daftar panjang tempat-tempat
yang belum sempat saya datangi. Namun karena kali ini tidak sendirian,
sepertinya saya harus sedikit meredam ego untuk menjadi orang yang telah menamatkan
Lasem di setiap jengkalnya.
Saya teringat seorang kawan yang pernah berkata,
bahwa menikmati Lasem itu harus secara perlahan. Memandang takjub rumah-rumah
tua yang berusia ratusan tahun, duduk melamun di terasnya, atau berbincang
sambil menyesap kopi lelet pada malam-malam yang ditemani gerimis.
Karangturi Gang 4 |
Gerbang kenangan. |
Kami bertemu Mas Pop di Museum
Nyah Lasem yang berada di Karangturi Gang V. Tampaknya pria dengan rambut
gondrong yang selalu dibiarkan tergerai itu sedang sibuk menemani rombongan
tamu lain. Maka dari itu kami dipersilakan beristirahat sejenak di guest house, untuk kemudian menyusul Mas
Pop.
“Nanti malam kita nginep di
sini?” Saya hanya mengangguk pelan.
Saya bisa melihat raut wajah Ary yang
seketika berubah. Sebelumnya saya sudah memberitahunya, bahwa tempat kami akan
menginap akan sedikit berbeda. Bagaimana tidak, jendela kaca berdebu, pintu
yang berderit ketika dibuka, hingga kipas angin rusak yang berputar menimbulkan
suara aneh, tentu saja sudah cocok menjadi latar bagi sebuah film horor. Namun
berkaca pada pengalaman saya setahun sebelumnya, saya bisa sedikit meyakinkan
Ary bahwa semua akan baik-baik saja.
Setelah menuntaskan makan siang,
kami mulai berkeliling tanpa ditemani Mas Pop yang masih sibuk. Kami
mengawalinya dari Desa Karangturi, salah satu pemukiman Tionghoa atau pecinan
yang masih bertahan di Lasem. Tembok-tembok tebal nan tinggi menjadi ciri khas.
Di baliknya, rumah-rumah tua yang konon telah berusia ratusan tahun bersemayam
dalam keheningan. Ada yang masih setia menjadi tempat bernaung bagi para
penghuninya. Sebagian lainnya dibiarkan kosong begitu saja. Menanti nasib baik
berpihak atau malah sebaliknya, roboh dimakan waktu.
Namun ada pula yang masih bisa
diselamatkan dengan cukup baik. Rumah Merah adalah salah satu contoh bagaimana
semangat pelestarian mulai digalakkan oleh masyarakat Lasem. Sesuai dengan
namanya, tembok berwarna merah menyala terlihat mencolok sekali di Karangturi
Gang IV
Sepeda masih diandalkan untuk pergi ke rumah majikan. |
Masih di gang yang sama, kami
berdua menyelinap masuk ke sebuah rumah bagai sekawanan pencuri. Tentu saja tak
ada adegan memanjat pagar ataupun mencongkel paksa pintu rumah seperti yang ada
di film-film penjahat itu. Jika bertamu ke rumah orang biasanya diawali dengan
mengetuk pintu atau memencet bel, yang harus kami lakukan sedikit unik. Sebuah
tali yang ditambatkan pada pintu gerbang harus ditarik. Lonceng kecil
berdenting dan seseorang akan membukakan pintu.
Oleh seorang perempuan paruh
baya, kami berdua diarahkan langsung menuju beranda belakang. Menemui pemilik
rumah yang dipenuhi berbagai tumpukan kardus dan kemasan kerupuk mentah di
sudut-sudutnya itu. Di balik etalase kaca berukuran sedang, beliau terlihat
sibuk sekali dengan kalkulator dan sebuah buku lusuh entah berisi catatan apa.
“Kalau mau lihat-lihat, masuk
saja sana gapapa..” Katanya tiba-tiba, sambil menunjuk sebuah pintu.
Gerak-gerik kami tentu dengan
mudah terbaca oleh ibu pemilik rumah, sekalipun kami sudah berdalih ingin
membeli kerupuk. Namun kabar baiknya, kami dipersilakan masuk untuk
melihat-lihat bagaimana rupa tempat tinggalnya.
Kami sempat mengintip sebentar
apa yang ada di balik pintu tersebut. Pekarangan yang cukup luas, bahkan
terlampau luas untuk ukuran sebuah pekarangan rumah. Pot-pot tanaman hias
berbagai ukuran tampak berjajar rapi. Saya pikir, mungkin merawat tanaman-tanaman
itu adalah salah satu cara sang juragan kerupuk untuk mengusir rasa sepi dan
bosan. Dari perbincangan dengan salah satu pekerjanya, kami ketahui bahwa
beliau tinggal di rumah sebesar itu seorang diri.
“Bapak sudah lama meninggal.
Sedangkan ketiga anaknya merantau ke luar kota,”
Beranda rumah yang sunyi |
Siang terus beranjak, ketika
langit Desember begitu cepat berubah dan rintik hujan mulai turun ke bumi, kami
menemui Opa Gwan dan Mbak Minuk di rumahnya, tak jauh dari kediamaan juragan
kerupuk. Seperti biasa, Opa Gwan memang selalu senang kedatangan tamu, meski
orang asing seperti kami sekalipun. Dengan senyum sumringahnya, kami berdua
dipersilakan duduk di kursi rotan tua yang mengelilingi meja kayu di beranda
rumah. Pun dengan Mbak Minuk yang tampak berusaha keras mengingat-ingat,
setelah saya berkata pernah singgah di sini sebelumnya.
Namun kami tak betah duduk
berlama-lama tanpa melakukan apapun. Perbincangan pun tercipta di sela-sela
gonggongan dua ekor anjing yang tak berhenti untuk beberapa saat. Sekadar saling
menanyakan kabar, dari daerah mana kami berasal, cuaca Desember yang dingin,
atau apapun yang bisa dibicarakan. Kemudian Opa dengan penuh semangat menemani
Ary berkeliling untuk melihat-lihat isi rumah, saat saya lebih memilih untuk
duduk melamun di tangga teras, hingga sedikit usil mengusik Roto dan kawannya
yang tampak ingin melanjutkan tidur siangnya.
Melamun di beranda. |
Setahun berselang sejak
kedatangan saya ke rumah Opa Gwan, tak ada perubahan berarti di rumah yang
begitu tua ini. Semua masih tampak sama, perabotan lawas berdebu, meja altar
yang menghadap pintu utama, hingga lantai kayu yang berderit ketika harus
menahan beban tubuh saya. Satu yang berbeda adalah tidak ada lagi Oma Lim yang
terbaring lemah di salah satu kamar. Ya, Oma Lim, saudara sepupu Opa Gwan yang
tinggal bersamanya selama puluhan tahun, telah berpulang beberapa waktu yang
lalu. Menyisakan Opa Gwan dan Mbak Minuk yang masih setia tinggal di rumah ini.
Sebelum hujan benar-benar
menderas, kami masih sempat melanjutkan penjelajahan hari itu. Berkeliling Desa
Karangturi sambil memotret pintu-pintu khas Pecinan Lasem beragam warna yang
terkadang terkunci rapat. Lalu mengintip sejenak magisnya Klenteng Cu An Kiong
mekipun hanya dari luar pagar, hingga menikmati sepi di Tambatan Perahu Dasun
ditemani semilir sejuk angin pesisir.
*****
Esok harinya, pagi-pagi sekali
saat matahari kembali menampakkan diri, kami melanjutkan penjelajahan lebih
awal. Mas Pop mengajak kami menyusuri jalan raya Jatirogo yang mulai ramai oleh aktivitas warga Lasem di Minggu pagi.
Ibu-ibu bercaping penjual sayur, pria bercelana pendek dengan telinga tersumpal
earphone, hingga anak-anak yang
tampak riang sekali bersepeda kesana-kemari.
Duduk tenang-tenang sambil minum teh. |
Tak kuasa melawan waktu. |
Kami mengawalinya dengan
bersantap pagi di sebuah warung pecel langganan Mas Pop, tak jauh dari Desa
Karangturi. Sebagai bonusnya, kami diperbolehkan melihat-lihat bagaimana bentuk
rumah Oma Widia, pemilik rumah sekaligus warung pecel tersebut. Kondisinya sedikit
memprihatinkan, di mana dinding kayunya, mulai keropos di sana-sini, tak
sedikit pula lantai tegelnya yang pecah, hingga tiang peyangga atapnya yang
seakan sudah tak mampu lagi menopang beban.
Sedangkan Ary sendiri sudah larut
dalam perbincangan akrab yang tampak menyenangkan sekali dengan Oma Widia. Bahkan,
beliau juga sempat meminta untuk berfoto bersama, sebelum kami dihadiahi dengan
gorengan satu wadah penuh yang terpaksa kami tolak dengan sopan. Sepertinya,
Ary sudah menemukan ‘rumah’nya di Lasem.
Baca Juga: Kisah di Balik Tembok-tembok Tinggi Lasem
Selain bangunan-bangunannya,
sejarah panjang Lasem juga terekam dalam kain batik. Karenanya, mengunjungi
rumah pembuatan batik tentu tak boleh kami lewatkan begitu saja, meski tak ada
niatan untuk membeli selembar kain yang juga menjadi salah satu bukti
alkulturasi budaya Tionghoa dan Jawa tersebut. Kembali ke Karangturi, Mas Pop
mengajak kami singgah di Rumah Batik Nyah Kiok. Dari halaman depan, memang tak
nampak aktivitas ataupun peralatan yang digunakan untuk membatik. Karena biasanya,
seluruh kegiatan membatik dilakukan di bagian belakang yang dapat dijangkau
melalui lorong sempit di samping rumah.
Menggores lilin, menorehkan takdir. |
Puluhan tahun mungkin bukan waktu
yang sebentar bagi rumah batik Nyah Kiok yang tetap mempertahankan motif Gunung
Ringgit Pring-nya. Para pembatiknya pun seluruhnya perempuan yang sudah tidak
muda lagi. Namun tangan-tangan keriputnya,
masih telaten menggenggam canting hingga menggoreskan lilin pada lembar kain. Tak
ada tenaga laki-laki di sini, tenaga yang sebenarnya sangat dibutuhkan dalam
proses nglorot dan nyelup. Semua dikerjakan mbah-mbah yang tangguh tadi, maka dari
itu proses pembuatan selembar kain batik membutuhkan waktu berbulan-bulan.
Kisah pengabdian lainnya datang
dari seorang Oma Windi, yang selama puluhan tahun begitu setia merawat rumah tua
milik majikannya, meski sudah lama meninggal. Tersembunyi di tengah-tengah
pemukiman Desa Soditan, rumah yang kemudian diserahkan kepemilikannya kepada
sebuah yayasan itu difungsikan sebagai tempat ibadah yang dikenal dengan nama
Vihara Karunia Dharma. Dulunya memang banyak umat Budha yang datang untuk
meditasi, sebelum ditinggalkan dan hanya menyisakan Oma Windi dan keluarganya.
Sayangnya, kami tak sempat
mendengarkan kisah pengabdian luar biasa tersebut. Menjelang tengah hari,
sebelum kami benar-benar sempat menyambangi The Abandoned Vihara, tiba-tiba
saja kabar mengejutkan datang. Oma Windi dikabarkan meninggal dunia karena
terjatuh di kamar mandi, tutur Mas Pop. Mas Pop lalu berkisah, bahwa sebelum
memulai Lasem Heritage Trail-nya, Oma Windi yang menjadi kawan bicaranya ketika
duduk melamun sambil memandangi eksotisnya rumah tua berusia ratusan tahun,
hingga menyusun remah-remah kisah masa lalu Lasem untuk diceritakan pada
orang-orang.
Yang selalu akan dikenang. |
Penjelajahan hari terakhir di
Lasem kami lanjutkan dengan mengunjungi Pabrik Tegel Lie Thiam Kwie hingga
Pasar Sumbergirang. Juga sebuah rumah tua yang tak jauh dari pasar, bertemu
seorang Opa dan cucunya yang tampak menggemaskan sekali. Dari rumah itu rupanya
Ary bisa menggali lebih dalam bagaimana secuil kisah hidup Opa tersebut melalui
perbincangan yang intim. Mulai dari anak-anaknya yang tumbuh dewasa dan
menemukan jalan hidup masing-masing, hingga sekelumit fakta bahwa Opa pernah
menjadi salah satu pengurus di Klenteng Cu An Kiong, sebelum memeluk agama
Kristen.
*****
Lasem hari ini adalah kota tua
yang renta dan sunyi, namun bukan sunyi yang menyeramkan seperti layaknya kota
mati. Lasem sehari-harinya masih berdetak seperti daerah-daerah pesisir pantai
lainnya di Jawa. Hiruk pikuk pasar masih meramaikan salah satu sudutnya,
klakson kendaraan sesekali menyalak galak karena memang jalur Pantura melintas
di sini, di mana kendaraan-kendaraan besar ramai lalu lalang. Kedai-kedai makan
baru juga mulai dibuka, memanfaatkan ruang di rumah-rumah tua menawan yang sebelumnya
hanya tertutup rapat. Demi menyambut orang-orang yang dalam beberapa tahun ke
belakang banyak berdatangan ke Lasem ataupun hanya sekadar singgah sebentar.
Ruang-ruang rahasia |
Opa Gwan dan leluhur. |
Melalui penuturan-penuturan yang
saya dengar langsung dari opa-opa dan oma-oma di Lasem maupun lewat perantara
seperti Mas Pop. Ketika memandangi rumah-rumah tua menawannya, hingga menapaki
setiap jengkal lantai tegelnya. Dari bingkai-bingkai foto usang pada
dinding-dindin kayunya yang mulai melapuk, hingga perabotan-perabotan lawas
berdebu yang teronggok di sudut ruangan. Saya seakan bisa memahami ikatan macam
apa yang membuat mereka begitu tabah menua di antara kesunyian, di dalam
rumah-rumah lawasnya. Namun seketika itu pula, saya tak bisa menerjemahkannya,
bahkan bagi saya sendiri.
Entahlah, mungkin ada benarnya apa
yang pernah dikatakan oleh seorang kawan jauh, bahwa saya adalah pria masa
lalu, yang memandang segala sesuatu di dunia ini berjalan dengn tempo pelan dan
serba hitam putih. Serta musik-musik lawas yang menyayat hati sebagai
pengiringnya.
Malam harinya, kami sedikit
bersenang-senang dengan menyantap gulai kambing yang lezat sekali di Pamotan,
sekitar sepuluh kilometer di selatan Lasem, meski harus sedikit bersusah payah
menembus gelap dan gerimis yang tak kunjung mereda sepanjang sore hingga malam
menjelang. Lalu dilanjutkan dengan menyesap kopi lelet dan wedang ronde untuk
sekadar menghangatkan badan, sambil berbincang ke sana kemari di Roemah Oei. Sebelum
akhirnya saya dan Ary menyerah terlebih dulu karena tak kuasa menahan kantuk,
sementara Mas Pop masih bertahan untuk mengikuti sebuah acara yang digelar di
Roemah Oei menjelang tengah malam.
Mendengarkan cerita, menyesap kisah. |
Malam itu adalah malam
penghabisan di tahun 2017 yang panjang namun terasa singkat tersebut. Sepertinya,
kami akan melewatkannya hanya dengan tidur di guest house Nyah Lasem dalam keheningan, tanpa hingar bingar
kembang api maupun semarak terompet. Lagipula, kami juga harus menyiapkan
tenaga untuk esok hari, karena kami harus meniti jalan panjang kembali ke
Semarang, sedangkan Ary sendiri masih harus berjuang lebih lama lagi kembali ke
Ibukota dengan kereta ekonomi.
Sebelum benar-benar terlelap,
dalam diam saya merapalkan sedikit doa dan harapan di antara rumitnya
kemungkinan-kemungkinan di tahun yang akan datang. Tentang secuplik mimpi yang
belum terlaksana, tentang sederet pertanyaan yang tak kunjung terjawab, juga
tentang rencana-rencana yang tak sesuai dengan harapan. Malam terus bergulir,
namun lampu kamar masih berpendar terang. Mungkin, begitu pula tahun-tahun yang
akan datang.
Melampaui masa. |
Persawahan hijau di selatan Lasem. |
Aaaakuuuu jd pengen ngrasain suasana laseeemmn, duh ya.. Ikut penasaran ikatan macam apa yang membuat sebagian orang Lasem begitu tabah menua di antara kesunyian..
BalasHapusMau ngerasain tidur di rumah tua? 🙊
HapusAku malah mikirnya bagaimana sih sebetulnya perasaan warga Lasem sendiri ketika dikunjungi oleh orang-orang dengan dalih wisata? Apakah mereka seneng atau justru merasa terusik karena rumah-rumah mereka dimasuk-masuki? Yang aku khawatirkan adalah mereka sebetulnya terganggu karena merasa privasi-privasi mereka diterobos.
BalasHapusTapi di satu sisi aku juga berpikiran kalau mereka yang sudah renta ini hidup sendiri, akan bahagia bisa bercerita kepada orang-orang yang datang. Apalagi ketika cucu-cucu mereka merantau ke tempat lain. Bukankah ketika tua nanti yang dibutuhkan adalah keberadaan orang agar tidak merasa sendirian?
Mungkin ini baru akan terjawab kalau aku tanya sendiri ke orang-orang di Lasem. Entah kapan tapi. Semoga -diundang- ada kesempatan.
Silakan ke Lasem sendiri biar paham bagaimana rasanya. Kalau selama saya ke sana, mereka sangat terbuka dengan kami.
HapusBetul, harus ngerasain sendiri kesana kalo pengen tahu bagaimana respon mereka terhadap orang-orang asing yang bertamu ke rumahnya :D
HapusWew.. Lasem.. Penasaran pengen mrana..
BalasHapusMantan kota pelabuhan besar masa lalu...
Gek ndang mas..
HapusAngle pengambilan foto sama tone-nya sik atas-atas itu kok magnet sekalii :') mendukung banget sama cerita yang dituliskan.
BalasHapusMas kamu kok sudha pinter modus beli kerupuk tapi akhirnya ketahuan. Meloncengkan pintu hatinya biar dibukain kapan?
Kalau ke Lasem wajib menginap kayanya ya? rugi kalau cuma jalan kaki terus pulang :)) wajib berinteraksi, menjalin ikatan batin dengan segenap suasana di sana.
Hadeeeeeeeh...
Hapusitu foto kursi tua nyaman banget rasanya. sambil minum teh dan ngobrol ngalor ngidul tahun barunya bisa lewat situ kalau aku, enak banget
BalasHapusSyahduuuu
Hapusapakah cuma aku saja yang belum ke lasem yaa. padahal jaraknya juga tidak terlalu jauh dari semarang.
BalasHapusSudah lama pengen ke lasem, tapi ga berangkat-berangkat.
aku selalu suka baca tentang kisah-kisah di lasem dan berharap bisa ke sana suatu saat nanti.
Cepet kesana mas, cuma 3 jam lho dr semarang :D
HapusAku malah pengen kopi leletnya. Kayaknya kalau nanti stok kopi abis, aku mau beli di Lasem hahahhahah
BalasHapusIyoo, aku biasane ra doyan kopi, sekali nyoba kopo lelet ternyata enak wkwkwk
HapusAku jadi mendapat kesan seolah lasem pelan2 akan benar2 jadi kota mati lantaran ada cerita berita kematian itu. Caramu bertutur sukses menggambarkan lasem itu lawas dan acuh dgn hiruk pikuk modernitas.
BalasHapusSue ra nulis, tetep ae tulisanmu keren. Haha
Baru saja kemaren ada satu rumah yang dirubuhkan 😥
HapusWah, aku wong Pati malah rung tau eksplorasi Lasem
BalasHapusWalah cedak lho :D
Hapuskalo ke lasem recomended gak kalo solo traveling tanpa guide?
BalasHapusBisa sih mas
HapusBelum pernah ke Lasem, tapi setelah baca tulisamu ini jadi mikir : "Apa Lasem bener se-sepi inikah?". Barusan juga sempet googling karena masih penasaran tentang Lasem. Dan di Wikipedia padahal tertulis, bahwa Lasem itu jadi kota terbesar kedua di Rembang. Kontras sekali sepertinya kalau kota terbesar kedua di sebuah kabupaten bakal se-sepi ini. Ini berarti hanya "sebagian" Lasem saja mas, kawasan yang sepi seperti di tulisanmu itu?
BalasHapusApa yang membedakan kopi lelet dengan kopi-kopi pada umumnya? Maaf, baru tau kopi lelet juga setelah baca tulisan ini. He.
Kalo malem sih sebenernya ga sepi-sepi amat. Masih ada kedai makan yg buka, konter ponsel yang nyetel musik ajeb-ajeb. Juga penjual gorengan :D
HapusYa seperti kota kecamatan pada umumnya sih.
Anu kopi lelet itu bedanya bukan pada biji kopinya. Tapi bubuk kopinya jauh lebih halus daripada kopi pada umumnya. Jadi ampasnya bisa dileletkan untuk ngelukis rokok, kalo kebiasaan orang sana.
Maka dari itu namanya jadi kopi lelet :D
aku pun sudah marking Lasem sebagai wilayah yang harus dikunjungi karena heritage nya. Informasinya lengkap sekali! ohya. kalau mau menggunakan jasa Mas Pop apa harus janjian jauh-jauh hari sebelumnya ?
BalasHapusLasem, sudah lama masuk dalam daftar tempat yang ingin kukunjungi. Membaca ini semakin kuat keinginan untuk datang ke sana. Berbincang dengan para sesepuh tentang masa lalu yang telah dilewati atau apa yang mereka rasakan tentang hari ini. Singgah disana dua tiga hari sepertinya akan menyenangkan.
BalasHapusDadi kangen lontong tuyuhan iki, tapi nek eling panase pas awan, mending golek maemE pas sore...ahahaha
BalasHapusMas Joe,
BalasHapusPerjalanan kita ke Lasem udah lebih dari setahun lalu, tapi dirimu masih bisa menulis jelas ekpresi dan mimik mukaku waktu pertama kali sampai di Nyah Lasem. Tulisan ini membangkitkan lagi kepingan nostalgia :)))
Masa sih, gak bakalan nyasar? Sejarah di Lasem ini berupa potongan2 cerita yg ada di setiap rumah disana yah.. udah ada semacam museum apa galeri sejarah ga sih?
BalasHapusMelongo liat jam dindingnya haha, mirip yang dulu pernah kami punya. Menemani keluarga kami puluhan tahun sebelum kemudian benar-benar termakan usia. Lasem ini selalu bikin aku mupeng. Pintu-pintunya kece banget. Keren buat foto haha. Selain emang aku penyuka bangunan tua dan pengen tahu sejarahnya juga.
BalasHapusbangunan-bangunan tua selalu menciptakan rasa penasaran dan imajinasi kehidupan jaman dulu..
BalasHapus-Traveler Paruh Waktu
Baru banget dengar tentang Lasem ini, aku penasaran banget sama rumah batiknya, pengen banget kesana dan bercengkrama sm warga sekitar
BalasHapusPengalaman yang luar biasa,,, apalagi dituang dalam sebuah tulisan yang begitu tertata dengan rapih
BalasHapusSalam kunjungan dan follow :)
BalasHapusDari dulu pengen bgt deh ke lasem moga dapat kewujud
BalasHapusSetiap mudik ke Pati selalu lewat Lasem, tapi jarang banget mampir lama. Sekadar lewat saja. Tahu, sih, kalau ada sejarah terpatri di sana. Tapi ya waktunya itu sering gak pas. Memang kudu diagendakan khusus, sih, ya. Hahaha.
BalasHapusSemoga sejarah dan jejak Lasem bertahan abadi.
Artikelnya keren, sukses terus ..
BalasHapusLittle tiongkok itu
BalasHapusBeberapa tahun lalu saya membaca blog seorang kawan yang berkunjung ke Lasem.
BalasHapusKini, saya baca lagi tulisan tentang Lasem.
Rasanya aneh menggelitik. Rasanya, jarum waktu berhenti berdetik.
Rasanya seperti kembali diajak jalan-jalan menyusuri jalan yang sama dengan beberapa tahun lalu. Tapi jelas berbeda. Beda blog, beda penulisan, beda orang.
Tapi Lasem tetap sama, ya seperti itu. Magis sekali.
Halo, terimakasih sudah mampir :D
HapusWaaah mungkin suatu saat nanti, kamu diberi kesempatan mengunjungi Lasem.
Itu sungguh, gerbangnya sangat aestetic :D
BalasHapusLasem ternyata punya pesona yang berbeda dan khas. Menawan!
BalasHapusSalam kenal dari kami Travel Blogger Ibadah Mimpi
Wahhh udah gak update lagi ya kak?
HapusKurasa setiap orang yang berkesempatan ikut membaca artikel ini bakalan tertarik datang ke Tiongkok Kecil Lasem ..., kisah beberapa warga yang dinarasikan disini kayak script film.
BalasHapusKayanya Lasem sekarang jadi sesepi itu karena keterbatasan akses juga ya. Sejak beberapa waktu lalu sepertinya udah ga ada lagi jalur kereta yang direct ke sana, jadinya orang mikir ulang kalau harus ke sana. Padahal potensi kota tua dengan segudang warisan sejarah dan budayanya besar banget. Semoga suatu hari bisa kesampaian main ke Lasem juga. Liat-liat fotonya jadi mikir, kalau malam suasananya bakalan spooky gitu ga ya? hhehe.
BalasHapusKalau akses sepertinya tidak mas. Letaknya juga dilalui jalur pantura yang tak pernah sepi. Tapi entah mengapa aku jg merasakan hal yg berbeda ketika menyusuri jalur pantura jateng menuju jawa timur. Ramai, tapi sepi. Sepi tapi ramai :D
HapusSaya dua kali menginap di Lasem, dan dua-duanya tidur di rumah tua. Ya memang awalnya ada rasa takut. Tapi nyatanya bisa melalui malam dengan tenang :D
Oiya sekarang beberapa penginapan juga sudah buka. Kebanyakan memang memanfaatkan rumah tua. Diperbaiki, dicat lagi, lalu menciptakan suasana yang sebetulnya cukup nyaman.
Terimakasih mas Ikhwan udah mampir di blog yg udah hampir karatan ini :D