Semarang dari Kampung ke Kampung
Semarang kini berkembang semakin modern dan tentunya semakin menarik banyak peminat untuk datang ke kota ini. Hal tersebut dikarenakan berbagai faktor. Selain perannya sebagai ibu kota dan pusat pemerintahan Jawa Tengah, Semarang juga didukung dengan wilayahnya yang strategis sebagai kota pelabuhan yang mengalirkan arus perdagangan.
Baca juga: Menyusuri Jejak Oei Tiong Ham, Sang Raja Gula
Perekonomian pun tumbuh seiring dengan arus perdagangan yang terus bertambah. Berbagai gedung bertingkat terus dibangun di setiap sudut Kota Lunpia ini, demi mendukung kegiatan perekonomian. Entah itu perkantoran, pertokoan, hotel maupun pusat-pusat perbelanjaan semakin menjamur pada dewasa ini.
Namun pernahkah anda perhatikan, di sela-sela gedung-gedung tersebut hampir selalu terdapat gapura atau gang kecil yang seakan terjepit di antara hutan beton?
*****
Beberapa waktu yang lalu, saya berkesempatan kembali untuk mengikuti walking tour yang diadakan oleh Bersukaria. Walking tour kali ini bertajuk Kampung Kota, diawali dari salah satu sudut di Jalan Pemuda yang dulunya bernama Bodjongweg. Kami tetap bersemangat mengikuti walking tour pagi itu, meski hanya terkumpul lima orang peserta. Termasuk di antaranya seorang WN Jepang yang telah lama menetap di Indonesia.
Masjid Sekayu. |
“Jadi, kali ini kita akan memasuki Kampung Sekayu. Kampung ini merupakan salah satu kampung tertua di Kota Semarang. Mungkin ada yang pernah denger?” Jelas Mas Dimas.
Soko guru yang menjadi ciri khas arsitektur Jawa. |
“Masjid At Taqwa atau sering disebut dengan Masjid Sekayu ini, konon dibangun tujuh tahun sebelum berdirinya Masjid Agung Demak,”
Siapa yang mempunyai kenangan dengan benda ini? |
Nama Sekayu sendiri dikarenakan sekitar masjid ini dulunya adalah lokasi penimbunan kayu yang juga dijadikan bahan baku pembangunan Masjid Agung Demak. Kayu tersebut didatangkan oleh seorang ulama asal Cirebon bernama Kyai Kamal yang juga pendiri Masjid Sekayu, dari hutan-hutan di sektitar Surakarta dan Ungaran melalui perjalanan darat. Dari Sekayu, kayu-kayu tersebut lantas dikirim ke Demak melalui Kali Semarang yang berada tak jauh dari masjid.
Salah satu rumah tradisional di Sekayu. |
Namun sejarah Sekayu tak berhenti sampai disitu saja. Sekayu tercatat pernah menjadi pusat pemerintahan (nDalem Kanjengan) dari Semarang yang pada masa itu masih berbentuk Kadipaten. Sebelum akhirnya pindah ke Kanjengan, depan alun-alun Masjid Besar Kauman. Pada masa itu pusat pemerintahan memang memungkinkan untuk berpindah-pindah, mengikuti tempat asal sang pemimpinnya.
Jendela di samping rumah. |
Baca juga: Romantisme Kota Lama dalam Hitam Putih
Saya cukup takjub melihat keberadaan rumah-rumah tradisional Jawa yang masih tegak berdiri di Sekayu ini. Rumah-rumah beratap limas atau joglo masih banyak ditemui disini, meski jumlahnya sudah kalah dengan rumah modern. Ciri khas lain yang dapat dilihat adalah bahan dasar kayu sebagai dindingnya. Juga lubang angin berbentuk cakra di atas pintu yang sangat khas.
Menurut Mas Dimas, pembangunan mall Paragon pada tahun 2008 sendiri turut andil dalam berkurangnya jumlah rumah khas Sekayu tersebut. Tercatat satu wilayah Rukun Tetangga (RT) yang meliputi 20an rumah lenyap, karena tergusur untuk pembangunan mall tersebut.
Rumah yang dulunya dihuni NH Dini. |
Matahari yang semakin terik tak sedikitpun menyurutkan langkah kami. Dari Kampung Sekayu, kami beralih menuju daerah Pekunden. Dimana terdapat sebuah kompleks rumah susun yang merupakan rusun pertama yang ada di Semarang. Dibangun sekitar tahun 1980an, rusun ini seakan menjawab kebutuhan hunian yang semakin mendesak seiring dengan pertumbuhan jumlah penduduk Kota Semarang.
Rumah susun Pekunden. |
*****
Berada di tengah-tengah kawasan Segitiga Emas yang merupakan pusat ekonomi dan bisnis Kota Semarang, membuat Kampung Sekayu dan beberapa kampung lainnya bernilai inventasi yang cukup tinggi. Bisa dilihat dari harga tanah disini bisa mencapai 30an juta per meternya. Hal ini pula yang mengancam keberadaan kampung-kampung tradisional tersebut.
Rumah dengan atap yang unik. |
Sangkar burung di pinggir gang. |
*****
Dari kawasan Pekunden, kami terus melanjutkan perjalanan. Melewati beberapa kampung lainnya, seperti Batan Miroto, lalu menyeberang Jalan MH Thamrin. Kemudian masuk daerah Seteran, hingga tembus ke Jalan Gajahmada.
Kali Semarang, yang sejak dulu memiliki peranan penting dalam perkembangan Kota Semarang. |
Baca juga: Sepucuk Cinta dari Sudut Gang Sosrokusuman
Kami diajak Mas Dimas berbelok masuk ke jalan kecil yang berada di tepi Kali Semarang, yang juga menjadi jalan masuk ke sebuah hotel dan mall mewah. Berjarak tak kurang dari 100 meter setelahnya, kami seakan memasuki dunia berbeda, dimana sebuah perkampungan dan segala hiruk pikuknya berada. Jalanan yang becek, ayam peliharaan yang berkeliaran kesana kemari, dan juga anak-anak kecil sibuk bermain di jalan yang juga menjadi halaman rumahnya.
Rumah jengki. |
Ketika berbelok dari sebuah gang sempit, saya sedikit terkejut melihat sebuah bangunan yang ada di depan mata saya. Sebuah Landhuis yang berada di Kampung Kelengan ini, seakan menembus lorong waktu, yang masih selamat dari perkembangan zaman. Menurut penjelasan Mas Dimas, rumah yang tak berpenghuni tersebut dulunya milik seorang tuan tanah bernama Tuan Klein.
Landhuis di Kelengan Besar. |
Kotak surat. |
*****
Membela keberadaan kampung-kampung tradisional seperti Sekayu, ibarat merenda romantisme masa lalu yang mengawang di ruang kosong, lalu dalam sekejap hilang tertiup angin. Sama halnya dengan tragisnya Jayenggaten yang hanya tinggal nama, atau Petempen yang hanya tersisa secuil. Toh kebanyakan orang akan tetap dibuat takjub melihat kegagahan Mall Paragon, betapa tingginya bangunan raksasa Hotel Gumaya, atau mewahnya MG Setos yang berada tak jauh dari situ.
Rumah yg terakhir artistik banget ya, itu design Belanda ato mana mas?
BalasHapusYang punya tuan tanah aaal inggris namanya tuan Klein
Hapusbersukaria itu komunitas walking tour di semarang mas? sepertinya rutin sekali ngadain acara macam ini kalau liat post-post'anya mas jo
BalasHapussayang sekali memang ketika sebuah tempat yang memiliki "cerita" harus tergusur dengan bangunan-bangunan baru seperti mall, hotel, dkk. semoga kompleks sekayu masih bisa bertahan dan tidak berkurang hanya demi memenuhi kepentingan pihak2 tertentu.
Iya mas yuk kapan2 ke semarang ikutan walking tour hehe
HapusBanyak tempat juga gitu sih mas gak hanya semarang
Hihihi aku gagal fokus liat telepon umum. Asli jd kaya wisata sejarah perkembangan indonesia yak
BalasHapusItu di dalam kampung loh telpon umumnya, da gak cuma satu :3
HapusBodjongweg mirip di Bandung (sunda), di Bandung masih banyak yg nama daerahnya bernama depan Bojong. Bojong Loa, Bojong Kaler, Bojong Koneng. Artinya pinggir sungai atau tempat yg di ujungnya ada air sungai/danau.
BalasHapusKalau bahasa jawa mah bojong artinya kampung ya? Nebak sendiri ini saya ��
Udah saya tandain Bersukaria nih. Kalo ke Semarang mau ikutan acaranya heheheh.
Oiya di bandung banyak yg namanya bojong ya. Kalo artinya kurang lebih sama sih mbak.
HapusHehe ayo ke semarang ikutan bersukaria
Wah, masih ada rumah-rumah Jawa di tengah Semarang.
BalasHapusWell, next nek ke Semarang kudu mrene. Tapi jelajah Kota Lama sik ya mas Ang, hehehe.
Masih mas, yg model klasik ada juga tp ga kefoto hehe
Hapusitu masih ada telepon umum sih,hee
BalasHapusUdah ga berfungsi tapi mbak. Dan uniknya itu di dalam kampung tsb ada bbrp telepon umum
HapusSaya memiliki kenangan dengan kota Semarang. Hampir lima tahun ngekost di daerah Singosari. Teman-teman disana selalu bilang sudah banyak yang berubah. Memang, meski jejak2nya masih tersimpan dalam ingatan.
BalasHapusMakasih telah berbagi cerita tentang Semarang. Pengen nostalgia disana.
Ayo ke semarang mbak, sekalian nostalgia hehe
HapusMas Jo ga pernah absen ikut walking tour eh (:
BalasHapusSepertinya mana-manapun sama, akan semakin dijajah oleh hutan beton.
Suka pas kutipan bagian ini:
"Ketika kekuatan modal berbicara, sejarah hanyalah titik kecil yang akan tergilas kepentingan yang mengatasnamakan investasi."
Semoga tulisan ini akan menjadi pengingingat sejarah mas.
Hehe tapi ya akan seperti itu mbak, jaman sudah berubah. Mau ga mau perkampunga tsb ya akan tergeser.
Hapuswah dulu pengiriman kayunya lewat sungai ya. sungai yang membentang di tepi jalan semarang-demak itu kah mas?
BalasHapusaku juga suka main ke semarang meskipun panas hahaha. :D
Betul mas, jalan itu sbenarnya juga asalnya sungai atau selat yg memisahkan pulau jawa dg gunung muria jepara dsb
HapusKampung ini mirip kampung2 di solo, belakang masjid agung solo, rumah2 jaman dulu dan juga dan khas tp sudah di kepung bangunan2 modern
BalasHapusAda juga di jogja daerah kota gede, kalau disana masih banyak bangunan aslinya
Tp khas bgt ini pake kayu ya
Heem mas gak cuma semaeqng sih, realitanya di banyak tempat masalahnya memang sama.
Hapusnasib bangunan-bangunan lama yang penuh akan sejarah mas...tidak hanya di semarang saja, Solo, Yogya semua sama saja.
BalasHapusHeem mas. Miris gak sih nantinya yg lahir dan besar disitu ga punya kampung halaman lagi :3
HapusWaktu aku free walking tour ke Kuala Lumpur tahun lalu. Aku pas ke Kota Lama itu takjub banget. Dan nyesel gak spend waktu lebih lama di sana. Hiks, kudu balik lagi ya ke Semarang.
BalasHapusOmnduut.com
Ah omndut mah keburu balik :3
HapusKeren kali city tournya. Mengenal lebih dekat sejarah kota yang kian modern menghilangkan nilai2 sejarah
BalasHapusIya mas, sekalian kembali menjadi pejalan kaki :D
HapusMas kalau ada acara seperti ini mbok aku dikabari toh :-(
BalasHapusBen iso dolan neng Semarang hahahahah
Pemberitahuannya di IG mas, sekarang malah hampir tiap minggi ada.
HapusSemoga bisa nyobain walking tournya juga pas nanti ke Semarang.
BalasHapusAyo bang cobain :D
HapusAkhirnya perkenalan sama bersukariawalk sudah berjalan sampai sini ya :))
BalasHapusSemarang siang itu sangat cerah ya? Foto pertamanya itu yaampun cantik banget, walaupun entah itu sebenarnya mau moto apa aku nggak paham wkwk.
Aku perhatikan kali semarang yang mas johanes foto ini, mirip kayak satu ddret deh sama parkiran motor kalau berkunjung ke Lawang Sewu. Bener? Soalnya waktu aku ke sana, parkir di pinggiran kali gitu sampai aku milih yang sebdlah kiri. Karena yang kanan udah mepet banget sama kalinya. Wkwk.
Btw, banyak kata kata di tulisan ini yang, hmm ngena 😂😂😂
Foto prtama itu perhatikan atap rumahnya. Jarang2 liat model begitu apalagi letaknya ditengah kota.
HapusBetul, itu kali semarang yg masih satu aliran. Hulunya kap diurutkan sampe sam poo kong :)
Ah ya i see
HapusSam po kong? itu di atas (bukit) ya? nggakmudeng deh area area semarang ini. Wkwk.
Terima kasih infonya btw :3
:3
HapusLuar biasa tulisannya!
BalasHapusdari kampung ke kampung punya cerita yang unik seperti ini.
Berapa lama nyusurin kampung ke kampungnya mas?
Ini walking tour selama 2 jam kok mbak. Jadi ita diajak blusukan kampung2 gitu yang ada ditengah kota hehe.
Hapusdulu pas muter kampung sekayu ada yang jual wedang tahu. berhenti dulu buat beli wedang :D
BalasHapusAku suka dengan atap model limas. tiap rumah bisa punya samapi 4 atap limas
Di kampung batan ada lagi rumah yg unik mas. Dr kayu dan ukurannya kecil :D
HapusTapi ga sempet aku foto hehe
Jo, kok isih penasaran ama isi dari rumah Landhuis e kae ya. Bisa masuk nggak sih? Dan rumahnya N.H. Dini, itu rumah masih dihuni beliau atau kosongan? Denger-denger kan N.H. Dini sudah tinggap di panti jompo. Trus kapan dirimu selo? Anterin ke sana donk. Hahahaha.
BalasHapusKayane sih iso mas. Jajal takon mas yogi kayae pernah sih.
HapusSetauku yg nempatin masih sodaranya NH Dini.
Kuylah. Masih pengen blusukan maneh. Masih ada rumah2 kayu yg keren
banyak sudut yang bsia diceritakan ya mas... dan tiap langkah pasti ada hikmah... tp pada akhirnya tradisional akan pudar mas yah lama"...
BalasHapusYa namanya juga jaman yg semakin modern mas angki. Perlahan mau tidak mau yg tradisional bakal tergusur.
Hapuskeliling kampung ini memang enak, selalu ada hal baru yang bisa kita jumpai.
BalasHapusIya koh, banyak yg bisa digali dari suatu tempat terutama kampung. Meski bukan tujuan wisata :)
HapusWaaha... telpon umumnya masih ada yah....
BalasHapusBlusukan nan kereenn Mas Yo. Begitu baca kampung Sekayu teringat ibu NH Dini dan karya2 beliau.
BalasHapusCiri khas perkampungan ini jadi inspirasi wisata tiada habisnya yaak
Heem mbak, sebenarnya kampung tersebut juga adalah identitas kota
Hapusmasih bersisa, kalau udah main di kampung, pasti erat kaitannya dengan wisata sejarah masa lalu.
BalasHapusSeperti yang terakhir tuh, Rumah ala-ala belanda/inggris kan ya mas?
Itu inggris mas, sekarang terkepung perumahan modern
HapusWow keren ... ditengah massive-nya pembangunan masih tersisa rumah2 tradisional dan landhuis ... aset penting yang harus segera dilestarikan, sayang sekali kalau sampai hilang tak berbekas ..
BalasHapusSepertinya beberapa tahun kedepan akan hilang juga jika dilihat dr kondisi saat ini
HapusWah itu rumah susun nya ngeri amat ya Mas.. Tapi asyik juga ya berkeliling dari satu kampung ke kampung lainnya..
BalasHapushehe iya mas, apalagi tersembunyi di balik gedung-gedung itu memang jaarang kita lihat
HapusSisa-sisa sejarah yang masih tercecer.
BalasHapusBerapa lamakah bisa bertahan dari gilasan jaman ini.
Semoga masih bisa tetap bertahan ya mas, biar kota nggak kehilangan identitasnya.
gak yakin sih mas, mengingat semakin kesini semakin terhimpit
HapusTertegun.
BalasHapusMakin kesini makin tinggi gedung" pencakar langit. Makin terhimpit rumah" yg ada di gang sempit. Untungnyaa masih tersisa kenangan sejarah masa lalu jd bsa diceritakan ke anak dan cucu nanti. Semogaaaaa bisa awet dan tidak tergantikan dengan gedung" lainnya yg gagah namun tampak tak berisi dibanding Kampung Sekayu ataupum Kelengan :") makasih sharingnyaaa mas. Lama ndak sowan kesini. .
heem mbak, nanti ga punya kampung lagi dong mereka, kalo mudik mau kemana :(
HapusBersukaria walking tour ini seperti laku lampah kalau di solo. Rasanya laju tumbuh bangunan2 tinggi seperti itu memang merata ke hampir semua wilayah. Solo pun sama, sukoharjo juga sudah mulai. Dan selalu ada plus minus dari sebuah pertumbuhan tempat
BalasHapusiya sih mbak, perkembangan jaman memang tidak dapat dihindari. tapi cerita semacam ini menurutku layak dipertahankan.
Hapusayo kapan-kapan iku t walking tour ini kalo ke semarang hehe
Patut untuk dipertahankan dan dikelola dengan baik tuh ...
BalasHapusEh mas jo kalo puasaan gini walking tournya masi jalan ga ?
BalasHapusNgomong² aku sedih juga sih rumah² yg di belakang paragon itu kena gusur, harusnya dijaga gt toh pusat belanja² sudah cukup di simpang lima aja
-_-
Masih mbak lid, tapi rutenya yg pendek2. Dan diadakan menjelang sore, biar sekalian ngabuburit hehe
HapusWahhhh perjalanan nya lengkap bangett, gak ada yang terlewat satupun, salut bangettt masih bisa ingatt ya mas... kerennn, terkadang ak biasanya merekamnya dengan vidio, tapi dengan foto saja mas bisa membayangkannya yaaa, keren... Inspirasi banget nih, apa sih tipsnya ?
BalasHapusGak ada tips khusus sih, selsin menyimak dengan baik apa yg disampaikan mas guide. Lalu sbg referensi tambahan, browsing2 lagi untuk melengkapi cerita :D
HapusTelpon umumnya sudah tidak berfungsi mas. Nah yg unik adalah di kampung tersebut juga ada beberapa telpon umum serupa dan beberapa wartel
BalasHapuswah mas masih ada rumah model jaman dulu ya mas .... taunya saya di semarang ya cuma lawang sewu ... insyallah musti nyoba lagi nih ke semaran
BalasHapusAyo bang, kabar-kabar kalo mampir ke semarang. Boar bisa mitup
Hapusaduh belum puas blusukan ke semarangnya
BalasHapuskan eksotik rumah2 tuanya
tapi aku pengen liat2 sisa2 geger pacinan
semoga bisa ke semarang lagi
Masih ada telepon umum yaq. Kontras banget gedung tinggi sama rumah jaman dulu.
BalasHapusYang rute ini aku belum pernah ikuyan. Pengen deh
BalasHapusWahhh pengen ikutan walking tour gini....gmna caranyaaa
BalasHapusBisa ikutin Instagramnya kak @bersukariawalk
HapusBaru denger tentang kampung sekayu di Semarang. Next klo ke Semarang aku pingin walking tour kmapung kampung kayak gini.
BalasHapusDuh, waktu ke semarang yang lalu malah sibuk kulineran dan jelajah kota tua. Dan baru tahu dari blog ini ada walking tour jelajajh kampung kampung tua juga. Asyikkkk.
BalasHapusSemarang bukan hanya tentang kota tua :D
HapusMakanya jelajah semacam ini memang untuk mengenalkan Semarang yang otentik