Meneropong Porong

Dataran lumpur yang mengering dan sebuah patok bertuliskan angka 25, entah apa maknanya.
Porong adalah sebuah Kecamatan yang terletak di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Awalnya, kehidupan warga disana berlangsung baik-baik saja. Tentram dan damai. Namun sampai pada suatu saat, tepatnya tanggal 29 Mei 2006 mimpi buruk itu akhirnya menghampiri tanpa diminta dan mengubah segala kehidupan mereka.

Semburan lumpur panas yang muncul dari dalam tanah, mengagetkan warga disalah satu desa di Kecamatan Porong. Awalnya memang tidak seberapa besar. Namun bukannya segera berhenti, semburan lumpur tersebut justru semakin membesar dari hari ke hari. Dan akhirnya menenggelamkan perkampungan, lahan pertanian dan kawasan perindustrian hanya dalam waktu beberapa bulan. Semakin meluas hingga tiga kecamatan lainnya.

Peristiwa tersebut tentu saja langsung menggemparkan masyarakat Indonesia bahkan dunia. Saya masih ingat betul, waktu itu saya masih SMP. Dan fenomena semburan panas yang terjadi di Sidoarjo itu pun turut menjadi bahan diskusi di kelas saya. Mulai dari pelajaran Geografi, Fisika, sampai pelajaran Ekonomi yang kebetulan guru yang mengajar memang senang membahas isu-isu terkini bersama murid-muridnya.

Penyebab utama munculnya semburan lumpur panas diyakini akibat dari kesalahan prosedur dalam aktivitas pengeboran yang dilakukan oleh Lapindo Brantas Inc, sebagai operator yang mengelola blok Brantas. Oleh karena itu, hingga saat ini peristiwa tersebut kita kenal sebagai Tragedi Lumpur Lapindo.
Lumpur yang mengering sejauh mata memandang.
Kini, hampir sepuluh tahun berlalu. Belum ada tanda-tanda bahwa semburan lumpur akan berhenti, meski intensitasnya sudah jauh berkurang. Namun dampak yang ditimbulkan masih terasa hingga saat ini. Bahkan penyelesaian tentang ganti rugi lahan warga yang terendam lumpur masih belum sepenuhnya tuntas.

***

Matahari sudah meninggi ketika sepeda motor yang kami tumpangi memasuki kawasan Porong. Dalam rangka kepulangan saya ke Semarang via Surabaya, saya mengusulkan kepada Nita untuk mampir sejenak di area terdampak Lumpur Lapindo. Karena memang letaknya berada di sisi Jalan Raya Porong, jalur utama yang menghubungkan Malang-Surabaya. Dan hanya dipisahkan jalur rel kereta api lintas timur Surabaya-Malang dan Surabaya-Banyuwangi.

Di salah satu ujung tanggul penahan lumpur, kami berbelok masuk ke jalan tanah berbatu. Dan hanya beberapa meter setelah melintasi rel, sepeda motor kami langsung diberhentikan oleh seorang pemuda berkulit hitam terbakar matahari.
Tiang SUTET yang sudah tak berfungsi.
"Dua orang sepuluh ribu.." Kata pemuda itu dengan nada yang dingin.

Mesti agak sedikit membuat saya terkaget, tapi uang sepuluh ribu rupiah berpindah juga dari dompet ke tangan pemuda tadi. Kami seperti 'ditodong' karena memang tidak disertai bukti pembayaran seperti karcis atau semacamnya. Ya, lokasi semburan ini memang sudah lama menjadi objek wisata dadakan.

Saya baru tahu bahwa sepeda motor bisa naik sampai ke atas tanggul. Tanpa pikir panjang, Nita terus melajukan motor sampai ke atas tanggul yang kini sudah setinggi 4 meter tersebut.

Dan sesampainya diatas tanggul, lidah saya tercekat. Di depan mata saya, terhampar luas dataran lumpur yang kini telah mengering sejauh mata memandang. Dataran berwarna abu-abu itu tampak kosong, panas dan saya seperti bukan berada di bumi. Meski sudah sering kali melihatnya lewat media televisi, koran maupun internet, saya tetap saja kaget ketika melihatnya dengan mata kepala saya sendiri.

"Kalo pusat semburannya masih jauh di ujung sana.." Jelas Nita sambil menunjuk kepulan asap putih di kejauhan. Maklum dia sudah pernah kesini sebelumnya.

Tanpa persetujuan dari saya, Nita terus melajukan sepeda motor mengelilingi kolam penampungan lumpur tersebut. Tentu saja kami masih berada di atas tanggul yang juga berfungsi sebagai jalan. Tak apalah, saya juga ingin melihat lebih dekat lagi.
Gelondongan pipa-pipa.
Sampai di salah satu sisi tanggul, sepeda motor kami diberhentikan lagi oleh sekelompok orang. Sementara pusat semburan lumpur masih jauh.

"Mau ke pusat semburan, Mbak Mas?"

Sepertinya kami akan 'ditodong' lagi ini, batin saya. Mungkin sebaiknya kami harus berbalik arah saja.

"Iya pak." Jawab Nita. Saya melongo.

"Jadi berdua sepuluh ribu.."

Benar dugaan saya.

Saya bergeming. Lebih baik balik arah saja. Apalagi matahari yang sudah tepat berada di atas ubun-ubun terasa begitu menyengat. Ditambah lagi, sepertinya didepan kami sudah tidak ada tempat untuk berteduh.

Mau tak mau uang sepuluh ribu kami masuk ke kantong orang tadi (lagi).Tak apalah, itung-itung beramal. Lagipula sepertinya orang-orang itu juga korban dari semburan lumpur. Yang tadinya sedikit tidak rela, akhirnya saya pun mengikhlaskannya. Semoga bermanfaat.
Alat berat yang terlihat sudah lama mangkrak.
Kami akhirnya terhenti di sebuah kompleks bangunan, sepertinya digunakan oleh pekerja dari Badan Penanggulangan Lumur Sidoarjo (BPLS). Lembaga yang dibentuk pemerintah pusat untuk menangani dampak dari semburan lumpur. Tapi kini bangunan tersebut sudah sepi dari aktifitas. Di sekitarnya terdapat beberapa batangan pipa-pipa yang dibiarkan teronggok begitu saja. Juga alat-alat berat yang digunakan untuk mengalirkan lumpur.

Kami berteduh disitu dan memilih untuk tidak melanjutkan menuju pusat semburan.

Asap putih yang mengepul yang menandakan bahwa itu pusat semburan masih saja terlihat jauh. Padahal rasa-rasanya kami sudah cukup jauh dari tanggul di sisi jalan raya Porong tadi. Saya lalu menyadari betapa luasnya daerah yang terendam dan akhirnya tenggelam oleh lumpur.
Saya pun mencoba berjalan kaki diatas lumpur yang kini telah mengering sempurna itu. Karena kebetulan saat itu (November 2015) musim hujan belum tiba.
Saya mencoba berjalan di atas lumpur.
"Seperti bukan sedang di bumi.." saya menggumam pelan.

Seperti sedang berada ditengah gurun saja. Bahkan di beberapa tempat, lumpur kering itu terlihat retakan-retakan yang cukup dalam. Saya pun lebih berhati-hati ketika melangkahkan kaki. Takut terperosok.

Setelah cukup lama berteduh, kami kembali ke tanggul di sisi jalan raya Porong tadi. Kami juga menyempatkan diri berhenti di salah satu sisi tanggul yang tadi kami lewati. Yang menarik adalah, disitu terdapat puluhan patung manusia setengah badan. Dan lebih anehnya lagi dengan kedua tangan terpotong, entah ada maksud tertentu atau memang dibuat seperti itu. Selidik punya selidik ternyata tadinya patung tersebut setinggi kurang lebih dua meter. Namun genangan lumpur yang meninggi ketika musim hujan, membuatnya semakin lama semakin tenggelam.

Saya turun dari motor dan berjalan mendekati barisan patung-patung tersebut, yang nampaknya terbuat dari adonan lumpur itu sendiri. Disini saya harus lebih memperhatikan langkah saya, sebab di beberapa bagian terlihat lumpur masih basah.
Patung-patung dengan tangan terpotong, seperti menyiratkan sesuatu.
Di dekat patung-patung tadi juga terdapat ogoh-ogoh berkacamata dengan baju berwarna kuning. Tidak perlu saya jelaskan pun semua orang tau ogoh-ogoh tersebut penggambaran dari siapa. Ya, dialah Abu Rizal Bakrie. Pemilik Lapindo Brantas inc. Orang yang dianggap paling bertanggungjawab atas semua bencana ini.

Sementara itu Nita terlihat sedang mengobrol dengan seseorang bapak yang mengais sedikit rejeki, dengan menjual DVD dokumenter tentang terjadinya semburan Lumpur Lapindo serta dampaknya kepada pengunjung. Sepertinya beliau juga korban semburan lumpur.
Ogoh-ogoh berbaju kuning.
Tugu peringatan tragedi Lumpur Lapindo, yang disbuat secara swadaya oleh masyarakat.
"Alhamduliah, mbak. Di bawah pemerintahan Pak Jokowi ini proses ganti rugi bisa berjalan lagi. Kan ada kejelasan. Kalo punya saya Alhamdulilah sudah selesai bulan lalu dari sisa 20% yang belum di bayar. Sementara beberapa tetangga saya masih dalam proses validasi." Ujar si Bapak, setelah saya mendekat dan ikut dalam obrolan mereka.

Mau tak mau, saya juga ikut senang mendengarnya. Setelah sekian lama tanpa kejelasan mengenai proses ganti rugi lahan, kini akhirnya ada titik temu. Meski sebenarnya bukan tanggungjawab pemerintah yang mengganti rugi. Karena tragedi Semburan Lumpur Lapindo ini bukan termasuk bencana alam, melainkan akibat kelalaian manusia itu sendiri dalam mengeksplorasi kekayaan alam. Dalam hal ini Lapindo Brantas ketika melalukan pengeboran.

Namun berapa pun jumlah uang untuk mengganti lahan mereka yang kini terendam lumpur, tetap tidak akan bisa mengganti kenangan akan kampung halaman mereka dulu.Tempat mereka dilahirkan dan dibesarkan.
Hanya bendera ini yang menunjukan saya masih berada di bumi pertiwi, bukan planet lain.

Komentar

  1. Laporan yang menarik Mas. Saya besar di Sidoarjo, dan punya banyak teman sekolah yang rumah dan kampungnya ikut jadi korban lumpur.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dampaknya memang luas sekali ya, Mas. Bukan cuma materil td jg sosialnya

      Hapus
  2. Ngeri juga pemalakan retribusi nggak resmi di sana. Total yang kemarin dikeluarkan cuma 10ribu atau lebih, mas? Miris tapi penasaran juga pingin foto ala ala di barisan patung lumpur di Lapindo hehehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. 10 per org mas, jadi pertama sebelum naik ketangul trus nanti kalo mau ke pusat semburan bayar lg, cobain Mas. Tp harus pas kemarau hehehe

      Hapus
  3. Porong sampai kini masih tak jelas bagaimana penyelesaiannya. Memang sebuah musibah, tapi tetap ada faktor lain yang membuat ini terjadi. Semoga para warga yang terpaksa mengungsi dapat hidup lebih layak dan mendapatkan haknya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mas apdet tulisan lagi dong. Plisss
      Heheheheh. Suka sama tulisanmu mas :-D :-D

      Hapus
    2. Iya mas ini masih ngedraft :3
      Gatau kelarnya kapan wkwkwk

      Hapus
    3. Iya mas ini masih ngedraft :3
      Gatau kelarnya kapan wkwkwk

      Hapus
  4. Porong menyisakan banyak cerita, entah sekarang apa sudah berhenti atau masih bermunculan sumbernya mas?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sampe skrg masih kok, meskipun sudah ga sebesar dulu

      Hapus
  5. tanahnya retak-retak gitu ya, dampaknya begitu besar

    BalasHapus
  6. Aku belum pernah ke sini. Biasanya cuma lewat doang. Gak sanggup liat dampak lumpurnya

    BalasHapus
  7. Kok ngeri yang sama patung-patung yang tangan terpotong itu... Btw jadi kangen sama porong, nggak pernah ada kabarnya lagi

    BalasHapus
  8. tempatnya kayaknya serem banget ya mas

    BalasHapus
  9. 10 tahun dan proses ganti rugi baru bisa diselesaikan :(

    BalasHapus
  10. Kadang saya kepikiran lama" Sidoarjo bisa tenggelam dan gak ada lagi di Peta Indonesia, ngeri banget..

    BalasHapus
  11. aku jadi ingat, kalau pernah mampir ke blog ini beberapa bulan yanglalu

    BalasHapus
  12. Ya begitulah manusia. Nyari untung tanpa memikirkan kerugian yang dapat ditimbulkan dari aktifitas tersebut. Giliran disuruh ganti rugi, malah lambat.

    BalasHapus
  13. Hmmm... Sedih kalau liat bagaimana porong dari tahun 2006 sampai sekarang :' ulah atas rakusnya manusia :'

    BalasHapus
  14. Kalau dilihat dari kondisinya sangat memprihatinkan ya mas, tapi bisa dicoba juga untuk tujuan tempat wisata selanjutnya.

    BalasHapus
  15. itu semua seriusan di sidoarjo kak? maklum belum pernah kesana

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lho emg ga pernah tau tragedi lumpur lapindo??

      Hapus
    2. tau tapi gk nyangka sampai sekarang masih berlarut-larut

      Hapus
  16. Ingat Porong selalu bikin sedih. Apalagi lihat foto2nya dari dekat begini. Moga2 di tempat lain ga ada lagi tragedi spt ini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, semoga kejadian serupa tidak ada lagi

      Hapus
  17. lapindo cuma sekedar lewat pas naik bus dulu..
    miris sih sampai sekarang belum selesai2 juga..
    pungutan masuk 5 ribu ya..hmm seperti preman yg meminta-minta ya :|

    BalasHapus
  18. Semoga segera berakhir. Kasian dampaknya sudah lama dirasakan oleh warga sekitar.

    BalasHapus
  19. Jangan-jangan lahan luas itu nanti diklaim oleh pembuat masalah bahwa itu lahan mereka semua. Padahal porsi terbesar pembayaran ganti rugi by pemerintah.
    Prihatin terhadap para korban.

    BalasHapus
  20. Berjalan diatas lumpyr gitu, kamu ngak takut amblesss ??? kok ngeri sech

    BalasHapus
  21. Saya udah lama di Surabaya dan kelewat tempat ini, tapi baca detail di sini, jadi miris banget :"(
    Seperti bukan di tanah Indonesia :"(

    BalasHapus
  22. Ditulis dengan indah sekali, Mas. Saya terenyuh membacanya :')

    BalasHapus
  23. Setiap naik kereta mau ke Banyuwangi. Pasti melintasi porong. kasihan nasib masyarakat yg kena musibah di sini.
    Dulu sempet ada temen yg penelitian terkait psikologi korban ditabrakan dengan kunjungan wisata lapindo di sana. menarik

    BalasHapus
  24. Patung-patung dengan tangan terpotong itu tampak monumental banget, apalagi dengan sosok ogoh-ogoh kuning. Tapi walau bagaimanapun semoga korban kini sudah mendapat penghidupan baru, dan tidak melulu mengandalkan pemasukan dari hasil memalak pengunjung :/

    BalasHapus
  25. Miris ya, sudah 10 tahun tapi belu berhenti juga semburannya. Saya sempat lewat saja tapi belum sampai turun langsung ke lumpurnya

    BalasHapus
  26. luas sekali ya semburannya, trus itu patung-patung buat apa ya, apa sengaja dibuat..

    BalasHapus
  27. Aku berdoa bahwa warga yang mengungsi dan kehilangan tempat hidupnya bisa dapat tempat yang lebih baik :(

    BalasHapus
  28. apa kabar porong? :( setiap menaiki kereta, kerap melewati lokasi ini. nasib mereka kasian jugaa.

    BalasHapus
  29. Cakep mas tulisannya. Seru juga untuk hunting foto disana

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasih udh mau mampir :))
      Cobain atuh hehe

      Hapus
  30. Yang bikin patung2 itu kreatif banget, waktu aku kesana setelah kejadian itu kacau banget

    BalasHapus
    Balasan
    1. kreatif sekaligus menunjukkan keprtihatina Om Cum :))

      Hapus
  31. Duh, saya kalo dengar kata Lapindo rasanya pengen nangis....saya orang asli sana dan saya gak mau menengok kesana karena tak sanggup menahan air mata, sedih liatnya :(

    BalasHapus
  32. santai mas selama masih hirup napas oksigen gratis tanpa tabung hehe masih sehat di bumi Indonesia mas mantap dah renungan jalan ke porong ini.. serem juga yah akibat berlebihan merusak keseksian alam raya...

    BalasHapus
  33. aku lahir besar di Sidoarjo kak, rasanya aku gak tega buat datang kesana.Aku hanya lewat ketika naik kreta ke Banyuwangi atau malang saja. itupun rasanya pengen nangis...kasihan :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. oh kak mia asli sidoarjo toh? iya, mau ngambil fotopun rasanya gak tega :?(

      Hapus
  34. Duh, maapkan para peminta-minta itu, ya, mas, daku orang Porong jadi merasa bersalah.

    BalasHapus
  35. DVDnya mpe skrg belum ketonton hehe.. ga kuat ntr mewek ngeliatnya.. liat gituan aja ngeri apalagi liat proses dr awal... :'( btw tulisannya cakep. terus berkarya mas (y)

    BalasHapus
  36. miris juga mas, menjual DVD yang berisikan memory tentang malapetaka bagi mereka, demi sesuap nasi.

    BalasHapus

Posting Komentar

Baca Juga

Menyusuri Jejak Oei Tiong Ham, Raja Gula dari Semarang

Bersekutu dengan KM Kelimutu

Jelajah Kampung Kauman Semarang