Berkah di Bawah Naungan Pohon Bambu
Menjelang pukul 6 pagi, kami sudah tiba di Temanggung. Tinggal beberapa kilometer lagi untuk menuju Ngadiprono. Setelah berbelok di lampu merah terakhir, saya mematikan pendingin udara dan membuka jendela, membiarkan udara segar masuk. Kawan saya yang duduk di sebelah, yang sejak tadi membantu bernavigasi, dan juga menyusun daftar lagu, hanya mengangguk tanda setuju. Lalu ia menghirupnya dalam-dalam. Katanya, udara sebersih ini langka sekali di kota besar yang sesak.
Sisa-sisa kabut pagi juga masih terlihat, mengambang tipis seperti kapas terbang di sela-sela dedaunan, di sawah, kebun atau ladang-ladang di kanan kiri jalan masuk desa. Di kejauhan sana, juga tampak puncak gunung yang sedikit mengintip malu-malu di balik gerumbulan awan. Sedangkan matahari sudah bangun lebih awal, menyapa penduduk bumi di bulan September yang hangat. Saya selalu merindukan pemandangan seperti itu, ketika berkunjung ke Pasar Papringan Ngadiprono. Ini sudah terhitung yang ketiga kalinya.
Pagi sudah dimulai lebih awal di Ngadiprono, meskipun itu hari minggu. Para pemuda dan bapak-bapak berjaga di pintu-pintu masuk desa, bersiap mengatur arus kendaraan yang mulai berdatangan. Juga mengarahkan ke tempat-tempat parkir dadakan, seperti pekarangan rumah warga, halaman masjid hingga lapangan desa. Sementara sebagian besar kaum perempuannya sudah lebih dulu disibukkan dengan hal lain. Sejak subuh atau bahkan malam harinya, mereka mulai menyiapkan berbagai jenis dagangan yang akan dijajakan kepada para pengunjung pasar.
Setelah menghentikan kendaraan di pekarangan warga, kami berjalan melewati rumah-rumah bertembok bata yang mengepulkan asap berbau sangit dari dapurnya. Kami berjalan dengan menyimpan sedikit kebingungan di benak, bagaimana nanti cara kendaraan kami keluar dari jalan sempit itu. Lalu kami teringat pada bapak penarik karcis retribusi kendaraan di pintu masuk desa tadi. Ia dengan ramah mengingatkan, akan ada bapak-bapak lain atau juga para pemuda desa yang selalu siap membantu mengarahkan kendaraan tanpa meminta tambahan imbalan.
Sudah bertahun silam sejak awal keberadaan Pasar Papringan, telah memberi berkah dan dampak positif dari segi ekonomi bagi masyarakat setempat. Namun bukan juga yang semacam eksploitatif, karena bagaimanapun mereka yang terlibat di sini dalam kesehariannya masih mengandalkan pertanian sebagai pencaharian utama. Maka dari itu penyelenggaraannya dibuat terbatas agar tidak berdampak buruk bagi lingkungan desa. Pasar digelar hanya dua kali setiap selapan dalam kalender Jawa atau 35 hari, yaitu pada hari Minggu Wage dan Pon, buka dari jam 6 pagi hingga jam 12 siang. Selepas hari pasaran mereka akan kembali sibuk di sawah dan ladang masing-masing.
Komoditi setempat yang ditanam seperti jagung, singkong hingga umbi-umbian lain, merupakan bahan dasar dari berbagai kuliner khas pedesaan yang ditawarkan di Pasar Papringan. Bahan-bahan tersebut kemudian diolah tanpa pengawet, pewarna atau pemanis buatan. Selain itu, alat makan dan kemasan yang dipakai juga bebas dari penggunaan plastik. Bahan-bahan seperti bambu, daun pisang, anyaman rotan hingga batok kelapa menjadi penggantinya. Ini tentu sesuai dengan prinsip hidup berkelanjutan dan ramah lingkungan yang memanfaatkan sumber daya lokal.
Saya dan kawan saya datang dengan perut lapar, karena harus berkendara pagi-pagi buta demi mengejar setidaknya jam 6 pagi untuk sampai di Ngadiprono. Di waktu-waktu tertentu, seperti ketika bertepatan dengan hari libur panjang, semakin banyak lagi pengunjung yang memadati Pasar Papringan. Antrean kendaraan akan sedikit mengular, bahkan ada yang sengaja datang sebelum jam buka pasar. Maka dari itu sangat disarankan untuk datang sebelum pukul 7 pagi, ketika belum terlalu padat pengunjung dan makanan-makanan yang dijajakan masih cukup lengkap. Terkadang pasar akan ditutup lebih awal jika sudah terlampau ramai.
Saya setuju bahwa siapapun yang ingin datang harus mengosongkan perut dulu. Bagaimana tidak, berbagai macam kuliner dan jajanan sungguh menggugah selera siapapun yang melihatnya. Seseorang mungkin akan langsung kalap, dan pulang dengan perut begah kekenyangan. Seorang ibu berpakaian seperti hendak senam minggu pagi, tampak melahap satu dua makanan dengan wajah bahagia. Juga sedikit bernostalgia bagaimana makanan-makanan itu lekat dalam kenangan masa kecilnya dulu. Ia datang bersama kawan-kawannya, yang sama-sama mulai muncul uban di kepala, sedang bersenang-senang menikmati masa pensiun mereka.
Saya memulai dengan seteguk wedang jeruk. Udara masih terasa dingin, sedangkan matahari mengintip dari sela-sela pohon bambu, membentuk seperti lampu-lampu sorot yang menimpa tanah. Saya bingung menentukan pilihan. Soto ayam kampung, lesah ayam, nasi jagung, nasi merah, nasi kuning, bubur kampung, lontong mangut, sangat cocok untuk sarapan pagi. Sedangkan jajanan tradisional juga tak kalah menggoda. Lento, tiwul, jenang, gemblong, srowol, ndas borok, bajingan, kue putu dan masih banyak lainnya. Jajanan dihargai mulai dari 1 pring, sedangkan makanan berat dipatok mulai dari 4 pring. Pring adalah mata uang yang berlaku di sini, setiap pengunjung pasar wajib menukarkan uang tunainya ke dalam bentuk kepingan bambu senilai 2 ribu rupiah tiap kepingnya.
Pengunjung dari berbagai kalangan dan usia berdatangan seiring waktu. Mereka datang tak hanya dari sekitaran penjuru Temanggung saja. Seperti kami, banyak di antaranya yang secara khusus menyempatkan datang dari luar kota. Sesekali ditemui juga satu dua wisatawan asing yang sengaja singgah saat sedang menjelajah Borobudur atau Magelang yang tidak begitu jauh dari Temanggung. Bahkan pada kunjungan edisi sebelumnya, saya sempat mengenali seorang pakar kuliner kenamaan sedang menyicip makanan, sambil berbincang tentang ini itu dengan pedagang pasar.
Selain aktivitas ekonomi, keberadaan Pasar Papringan juga mempertemukan masyarakat perkotaan dengan masyarakat desa, memungkinkan terjadinya pertukaran ide dan informasi tentang sosial dan budaya. Hal tersebut bisa mendorong tumbuhnya kembali semangat pelestarian terhadap nilai dan kearifan lokal yang selama ini telah banyak ditinggalkan. Tak hanya soal makanan, namun juga mengenai pertanian, kerajinan dan kesenian. Maka tak heran sering pula dijumpai pelajar atau mahasiswa dari berbagai disiplin ilmu yang datang, makan dan juga sambil belajar.
Semua berawal dari inisiasi komunitas lokal beserta warga desa yang berkolaborasi untuk melestarikan kearifan lokal. Papringan atau rumpun bambu, kerap ditemui di sekitar belakang pemukiman pedesaan, menjadi batas antara rumah-rumah dengan sawah, sungai atau hutan. Namun selama ini dirasa kumuh karena sering menjadi tempat pembuangan sampah, atau sarang nyamuk yang menjadi sumber penularan penyakit, atau bahkan dianggap angker. Padahal tanaman bambu sendiri menyimpan sejuta potensi yang sangat bermanfaat di segala lini kehidupan manusia. Mulai dari material konstruksi, peralatan pertanian, perabotan rumah dan banyak lainnya.
Lahan bambu yang semula terbengkalai itu kemudian disulap menjadi pasar semi permanen yang asri dan bersih dengan memberdayakan masyarakat setempat. Mereka telah dilibatkan sejak perencanaan, pembangunan, pengelolaan hingga pelaksanaan di setiap gelaran Pasar Papringan. Hampir sebagian besar warga Dusun Ngadiprono ambil bagian di sini, juga tetangga dusun yang ditugaskan sebagai juru parkir, keamanan hingga pembuat kerajinan. Selain makanan dan minuman seperti kopi, wedang pring, jamu hingga dawet, berbagai kerajinan tangan yang terbuat dari bambu juga dijajakan di pasar bersama hasil tani seperti sayur mayur, cabai dan lainnya.
Daun dan pohon bambu yang saling sengkarut, malang melintang, seakan membentuk kanopi alami yang menghalangi panas matahari. Di antara lapak-lapak pedagang yang terbuat dari bambu pula, batu-batu ditata rapi untuk kenyamanan pengunjung, supaya tidak berlumpur ketika musim hujan, atau berdebu saat kering. Di sudut-sudut pasar juga disediakan fasilitas lain yang masih memanfaatkan batang-batang bambu, di antaranya perpustakaan, area merokok, dan bilik menyusui. Juga taman bermain anak-anak yang dilengkapi dengan alat-alat permainan tradisional. Sedangkan toilet memanfaatkan kamar mandi di dalam rumah warga yang rata-rata membelakangi lahan bambu tersebut. Pada kesempatan tertentu akan dimainkan kesenian tradisional seperti tari-tarian yang diiringi oleh alunan gamelan.
Pasar Papringan juga membawa semangat revitalisasi desa. Desa selama ini selalu dianggap tertinggal dari masyarakat perkotaan, padahal segala sesuatu yang ada di kota sebagian besar juga berasal dari pedesaan yang memiliki sumber daya lokal melimpah. Ditambah pula banyaknya generasi muda dari desa yang telah menempuh pendidikan tinggi, lebih memilih untuk menetap dan mencari penghidupan di kota-kota besar. Hal itu membuat desa kehilangan potensi sumber daya manusianya, untuk mengangkat kemandirian desa dalam mengelola sumber daya lokal. Dengan adanya Pasar Papringan, anak-anak muda diharapkan bisa tertarik dan mau kembali untuk menuangkan ide dan dan menerapkan disiplin ilmunya demi kemajuan desa.
Keberhasilan Pasar Papringan menciptakan ruang yang memberi dampak positif bagi lingkungan dan ekonomi masyarakat desa, sempat menginspirasi dan ditiru oleh daerah-daerah lain untuk membuat hal serupa bertahun silam. Bahkan mendapat dukungan langsung dari lembaga pemerintah yang mengurus bidang pariwisata, karena dianggap bisa menciptakan destinasi alternatif yang menarik wisatawan. Sekilas tak ada yang salah, karena hal baik memang seharusnya ditularkan. Namun saat ini hanya segelintir yang bisa bertahan, karena hanya mengejar kepopuleran di media sosial semata. Tak ada nilai-nilai dan semangat pelestarian kearifan lokal yang dibawa.
Melihat berbagai makanan yang disuguhkan sebanyak itu di Pasar Papringan, membuat perut sudah terasa kenyang sendiri. Saya hanya sanggup mencicip 2 jenis makanan dan satu jajanan. Sementara kawan saya masih sanggup menandaskan lagi 1 porsi nasi merah. Kami masih belum ingin beranjak, lalu duduk-duduk saja di salah satu sudut pasar menikmati suasana teduh, mendengarkan alunan gamelan, melihat wajah-wajah bahagia pengunjung. Para orang dewasa juga sibuk bernostalgia dengan permainan tradisional egrang. Beberapa masih menunjukkan kemahirannya, sementara lainnya sudah menyerah dalam tiga kali percobaan.
Komentar
Posting Komentar