Serayu Merayu
Saya terbangun ketika sadar kereta yang saya tumpangi sedang berhenti di stasiun Cikarang. Sambil mengucek mata dan mengumpulkan nyawa, saya melirik jam di gawai. Bahkan belum genap satu jam kereta berangkat tapi saya sudah tertidur pulas. Ini tentu akibat dari semalam yang tiada bertemu nyenyak selama di kereta Brantas menuju Jakarta. Tiketnya memang saya dapatkan cukup dadakan, dan yang tersisa hanya nomor-nomor tempat duduk yang kurang ideal. Ditambah pula setibanya di Pasar Senen pagi-pagi buta, berjam-jam setelahnya hanya saya habiskan dengan luntang-lantung tak jelas untuk menunggu kereta berikutnya.
Sedangkan tiket kereta api Serayu seharga 67 ribu rupiah, sudah saya tebus terlebih dahulu. Pagi itu kereta akan membawa saya dari Jakarta menuju Purwokerto. Saya sengaja melakukan perjalanan menggunakan kereta api kelas ekonomi secara estafet. Ide ini tercetus begitu saja ketika saya merasa sedang butuh pelarian dari rutinitas pekerjaan. Mungkin ini terdengar agak kurang waras untuk sebagian orang, namun percayalah hal-hal seperti ini terkadang memang perlu dilakukan.
Kereta kembali melaju, suasana di dalam kereta ekonomi 6 cukup riuh oleh berbagai celoteh keceriaan anak-anak. Hari Senin depan tahun ajaran baru akan dimulai, banyak anak-anak yang kembali dari liburan sekolah mereka menggunakan transportasi kereta api. Di depan saya duduk sepasang bapak dan anak perempuannya, kami sebelumnya sempat terlibat sedikit kesalahpahaman mengenai nomor tempat duduk. Dengan sedikit penjelasan, akhirnya si bapak bisa mengerti tanpa perdebatan yang panjang. Mereka nantinya akan turun di Tasikmalaya. Si bapak rupanya sedang mengantar pulang anak perempuannya kembali usai liburan sekolah yang dihabiskannya di Jakarta, kota di mana sang bapak mengadu nasib.
Sesekali petugas akan berkeliling dengan perannya masing-masing. Kondektur diikuti oleh petugas keamanan, petugas kebersihan yang selalu memastikan setiap sudut kereta tetap terjaga, hingga prama dan prami menawarkan makanan ataupun minuman dari kereta restorasi kepada para penumpang. Di lorong-lorong kereta, mereka berjalan sempoyongan seperti orang mabuk. Kanan-kiri-maju-mundur, kereta bergoyang mengikuti permukaan rel yang tak rata, bahkan terkadang mengentak tiba-tiba ketika roda-roda besi melindas wesel percabangan atau sambungan rel. Bagi para penumpang yang hanya duduk diam, laju kereta juga seakan meninabobokan manusia-manusia dewasa yang jam tidurnya berantakan. Tak terkecuali saya. Selepas melewati stasiun Cikampek, saya kembali terlelap ke alam mimpi.
Stasiun Purwakarta menjadi pemberhentian berikutnya. Di sini kereta api Serayu berhenti normal untuk naik turun penumpang selama beberapa menit. Sejumlah orang memanfaatkannya sejenak turun dari kereta untuk meluruskan kaki, sebagian lainnya sibuk menyesap asupan nikotin. Sementara saya yang terbangun lagi dari tidur, bersiap untuk sesuatu yang dinanti-nanti. Setelah ini pertunjukan utama yang sesungguhnya akan segera dimulai.
Dalam perjalanannya menuju Purwokerto, Serayu akan melintasi jalur pegunungan di tanah Pasundan. Mulai dari Purwakarta, Bandung Raya, Garut hingga Banjar di ujung timur Jawa Barat. Dari Stasiun Purwakarta yang berada +84 meter di atas permukaan laut, kereta akan banyak meliuk-liuk melewati jalur rel menanjak dan berkelok-kelok. Lokomotif menderu, terus mendaki, membelah dan mengitari punggungan bukit demi bukit lainnya, hingga menuju titik tertinggi di lintas ini yaitu Stasiun Nagreg di ketinggian +848 mdpl. Selain itu kereta seakan membawa kita terbang di awang-awang ketika melewati beberapa jembatan bentang panjang, dengan lembah-lembah dan jurang yang cukup dalam di bawahnya. Dua di antaranya adalah Jembatan Cisomang yang membentang di atas lembah sedalam 100 meter, dan Jembatan Cikubang dengan panjang kurang lebih 300 meter.
Pemandangan memanjakan mata di lintas inilah yang membawa saya menjajal kereta Serayu Pagi, khususnya dari arah Jakarta meskipun harus bersusah payah dahulu. Dari balik jendelanya yang sedikit buram, saya dapat menyaksikan bagaimana rupa lansekap tanah Priangan. Sawah-sawah mulai menguning, tanah ladang yang mengering hingga rumah-rumah pedesaan Jawa Barat nan asri. Anak yang duduk di depan sayapun akhirnya ikut jepret sana-sini meminjam gawai si bapak, ketika melihat saya sibuk memotret pemandangan. Di kejauhan sana, di bawah langit yang sedang biru, terkadang menggambarkan pula betapa jahatnya tangan manusia merusak alam. Bukit-bukit hijau mulai bopeng, dan tebing-tebing dikepras demi kepentingan sesaat.
Sungguh mengagumkan sekali bagaimana bentang alam yang cukup ekstrim ini bisa dilalui oleh kereta api. Tak terbayangkan dahulu betapa beratnya pembangunan jalur rel kereta api sepanjang lintas Cikampek, Purwakarta hingga Padalarang ini. Menembus medan perbukitan yang juga rawan longsor karena tanahnya cukup labil. Lintas ini sebetulnya hadir belakangan, Jakarta Bandung sudah lebih dahulu terhubung dengan kereta api pada 1884 melewati Bogor, Sukabumi dan Cianjur. Demi memangkas waktu perjalanan, akhirnya Staatsspoorwegen (SS) membangun jalur rel via Cikampek Purwakarta yang rampung pada tahun 1906.
Kereta Serayu mulai melambatkan lajunya setelah melintasi terowongan Sasaksaat, salah satu terowongan kereta api terpanjang. Tak lama setelahnya berhenti di Stasiun Sasaksaat untuk bersilang dengan kereta api dari arah berlawanan. Di zaman yang segala sesuatunya dituntut serba cepat, momen menunggu bersilang seperti ini mungkin cukup menyebalkan. Namun kita tidak bisa menuntut banyak ketika naik kereta api kelas ekonomi macam Serayu ini, ditambah juga rute yang dilaluinya sebagian masih berupa single track. Justru ketika kereta berhenti di stasiun-stasiun kecil seperti inilah kita bisa merasakan kembali romantisme kereta api, yang lebih dari seabad telah hadir menghubungkan berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
Lewat tengah hari kereta merapat di Bandung, lebih tepatnya Stasiun Kiaracondong. Di sini terjadi pergantian penumpang, di mana cukup banyak penumpang yang turun maupun naik. Saya mengingat kembali bagaimana dulu mengakrabi Bandung lewat stasiun ini. Meski cuma beberapa kali kunjungan singkat dalam satu atau dua hari, menjelajahi sudut-sudut kotanya hanya dengan angkot yang trayeknya membingungkan itu, membuat saya jatuh hati dengan Kota Kembang ini. Masih lekat dalam ingatan pula bagaimana dulu saya hampir terserempet angkot di sudut Pasar Baru, atau tersasar jauh hingga Cicaheum sana karena salah naik angkot.
Seorang kawan pernah berkata, perjalanan kereta api selalu menyenangkannya. Ia menikmati sekali waktu diam tanpa melakukan apapun di bangku kereta. Pikiran akan mengembara kemana-mana, sedangkan raganya hanya duduk di dalam sebuah kereta tua. Ingatan-ingatan macam itu tadi juga akan terkadang muncul saling bertumpuk di kepala. Hal-hal kecil yang terlihat sepele, keresahan juga ketakutan, dan beberapa lainnya yang barangkali penting akan diingat kembali dalam beberapa waktu ke depan. Atau berandai-andai mengenai sebuah rencana besar, yang nantinya akan mengubah dunia, meskipun sadar pikiran itu akan segera lenyap setelah turun dari kereta.
Kereta terus melanjutkan perjalanan ke arah timur. Ketika melewati persawahan di daerah Rancaekek, terlihat barisan perbukitan yang mengepung di segala penjuru, menegaskan bahwa Bandung memang berada di cekungan besar yang dulunya merupakan danau purba. Selepas Cicalengka, jalur kereta kembali menanjak menuju Nagreg, terus naik turun perbukitan hingga Cibatu. Lalu di Stasiun Cipeundeuy segala jenis kereta akan diwajibkan berhenti. Selain untuk naik turun penumpang, pengecekan rangkaian juga dilakukan di stasiun ini demi mengutamakan keselamatan perjalanan kereta.
Selama perjalanan, stasiun-stasiun kecil di jalur selatan Jawa Barat ini cukup menarik perhatian saya. Nama-nama yang asing namun unik ketika dilafalkan. Seperti Maswati, Lebak Jero, atau Warungbandrek. Hampir jam 4 sore ketika Serayu berhenti di Stasiun Cirahayu. Stasiun kecil yang hanya digunakan untuk persilangan kereta ini sepertinya berada di daerah yang cukup terpencil. Tak nampak pemukiman atau jalan raya di dekat sini, hanya di kelilingi ladang dan kebun warga. Di peron stasiun, sambil menunggu kereta dari arah berlawanan melintas, petugas PPKA dan kondektur sedang asyik berbincang dengan warga sekitar yang baru pulang dari ladang.
Ketika tiba di Stasiun Tasikmalaya tepat waktu, banyak penumpang yang turun, termasuk bapak anak yang duduk di depan saya. Meskipun melelahkan, tampak raut wajah anaknya yang gembira setelah menghabiskan waktu libur bersama sang bapak. Saya sempat mencuri dengar bahwa si bapak tidak bisa pulang sampai akhir tahun nanti dan akan diganti lain waktu. Terasa menyedihkan memang, ketika seorang kepala keluarga harus mengadu nasib di tempat yang jauh dan meninggalkan anak istrinya. Saya rasa ini juga tentang ketimpangan yang semakin nyata setiap harinya, di mana kesempatan kerja di daerah macam Tasikmalaya jelas tak sebanyak di metropolitan Jakarta. Beberapa hal harus direlakan demi penghidupan yang lebih baik.
Serayu sangat menjadi penolong untuk kasus seperti ini. Tarifnya cukup murah karena menjadi salah satu kereta yang memperoleh subsidi atau PSO (Public Service Obligation) dari pemerintah. Sayangnya saat ini kereta api yang mendapatkan bantuan subsidi sudah jauh berkurang dari waktu ke waktu. Saya tak habis pikir ketika melihat kebijakan pemerintah yang lebih berpihak pada pemberian insentif untuk kepemilikan kendaraan pribadi berbasis listrik, daripada transportasi publik yang lebih bermanfaat bagi khalayak. Tentu kita semua paham hal itu dilakukan bukan karena alasan lingkungan, melainkan demi kepentingan bisnis segelintir pihak.
Oke, saya rasa cukup sampai di sini mengkritik pemerintah meracaunya.
Melihat kebersamaan bapak anak tadi, saya jadi teringat bagaimana dahulu bapak saya juga yang pertama kali mengenalkan transportasi kereta api. Saya masih ingat betul ketika diajak naik kereta ke Jakarta untuk menghadiri acara keluarga. Pada saat itu saya harus bolos sekolah beberapa hari. Dalam perjalanan malam hari di kereta ekonomi, bapak merelakan kursinya sehingga saya bisa tidur dengan nyaman. Sedangkan beliau lebih memilih tidur di lorong kereta. Atau di lain waktu ketika kami kehabisan tiket tempat duduk, tubuh saya yang kecil harus pasrah diselipkan di antara penumpang lain yang mendapat tempat duduk.
Selepas Tasikmalaya, Ciamis lalu Banjar, suasana di dalam kereta berangsur lengang. Kebanyakan penumpang Serayu dari arah Jakarta turun di daerah-daerah tersebut, jarang sekali dijumpai yang naik hingga pemberhentian akhirnya. Di kereta ekonomi 6 menyisakan beberapa saja yang masih bertahan. Dengan wajah kelelahan, sebagian melanjutkan tidur mereka, sementara lainnya hanya diam terpekur dengan gawainya masing-masing. Atau melamun saja memandangi langit yang mulai meredup di balik jendela kereta.
Sejatinya Jakarta-Purwokerto maupun sebaliknya bisa ditempuh lebih cepat lewat jalur utara dengan banyak ragam pilihan kereta, mulai dari yang termurah hingga kelas tertinggi. Bisa jadi ada beberapa jenis penumpang Serayu yang turun di Purwokerto, yang harus tabah selama lebih dari 9 jam perjalanan duduk di kereta ekonomi. Pertama adalah orang yang awam sama sekali perihal kereta, tak paham bahwa Serayu yang ditumpanginya harus memutar via Bandung, Tasik hingga Kroya. Penumpang jenis ini mungkin akan kapok setibanya di tujuan akhir. Yang kedua ialah yang berkantong cekak, dan kehabisan tiket kereta termurah menuju Purwokerto lewat jalur utara. Sementara segelintir lainnya mungkin orang-orang kurang kerjaan macam saya.
Tempo hari ramai di media sosial perihal kritik tentang kereta ekonomi tipe 106 tempat duduk seperti yang digunakan Serayu ini. Kursi tegak berhadapan dengan ruang kaki terbatas dikatakan sudah tak manusiawi lagi, karena dirasa kurang nyaman untuk perjalanan jauh di zaman sekarang. Keluhan tersebut diamini pula oleh banyak warganet lainnya yang juga pengguna jasa layanan kereta api. PT KAI tentu tak tinggal diam, secara bertahap mulai melakukan pembaruan pada sarana-sarananya. Namun kabar baik itu tentu juga mengakibatkan penyesuaian harga tiket, dan bisa jadi nantinya cukup memberatkan bagi perantau macam bapak yang duduk di depan saya tadi, atau penglaju lainnya yang harus bolak balik menggunakan layanan kereta api.
Senja di belakang laju kereta yang mengarah ke timur telah selesai ketika memasuki Jawa Tengah, menyusuri Sidareja, Maos hingga Kroya yang juga dilakukan pergantian posisi lokomotif, untuk kemudian melanjutkan perjalanan menuju Purwokerto yang sudah tak jauh lagi. Langit sudah benar-benar gelap ketika saya melangkahkan kaki di lantai Stasiun Purwokerto yang mengkilap. Esoknya pagi-pagi sekali, saya tak sempat mandi saat melompat ke dalam gerbong kereta sekali lagi untuk kembali ke kota saya.
Dari perjalanan ini saya mungkin tak akan mendapat apa-apa. Karena memang saya tak sedang mencari sesuatu. Badan pegal-pegal karena terlalu lama duduk mungkin iya. Harusnya saya ingat umur sendiri untuk lebih rutin lagi berolahraga agar tubuh selalu bugar. Berbagai pertanyaan lalu muncul di benak. Kenapa orang harus berpergian? Kenapa manusia tidak bisa diam di satu tempat? Kenapa juga bapak dan anak perempuannya tadi tak bisa selalu berkumpul dalam satu rumah?
Komentar
Posting Komentar