[GUEST POST] Mari Berkawan, Bandung!

Setelah beberapa tahun tinggal di Bandung, saya mulai menyukai setiap hal dari kota kembang ini. Mulai dari udaranya yang rasa-rasanya semakin panas saja, lalu lintasnya yang padat, ataupun hujan turun di sore hari yang menyisakan genangan di sisi jalan. Kota yang semula asing di benak saya, perlahan menjadi sosok bersahabat ketika pikiran terus merindu rumah.

September tahun ke empat, ketika musim hujan kembali datang terlambat. Tiba-tiba seorang kawan dari luar kota mengabarkan bahwa ingin sekali berkunjung ke Bandung. Lalu meminta saya untuk menemaninya jalan-jalan, sekedar menikmati ramahnya Paris van Java ketika hari libur. Saya pun hanya mengiyakan, tanpa memberitahunya bahwa betapa juga sesaknya Bandung kala akhir pekan ataupun hari libur lainnya.
Minggu kedua di bulan September yang berangin, kawan saya akhirnya benar-benar datang memenuhi janjinya. Kami bertemu di tengah hiruk pikuknya Stasiun Bandung ketika hari beranjak siang. Langit nampaknya sedang berbaik hati pada saya. Meski sedikit mendung, namun tak ada tanda-tanda bahwa hujan akan turun dalam waktu dekat. Jadi setidaknya episode siang ini tak akan berakhir dengan berbasah-basahan.

Langkah kaki kami arahkan menuju Pasar Baru karena memang jaraknya hanya selemparan batu dari stasiun. Tempat tersebut bukanlah hal asing bagi saya, karena memang cukup sering berkunjung. Entah itu untuk membeli sesuatu ataupun hanya sekedar berkeliling melihat-lihat, sembari mengusir jenuh menghabiskan hari libur. Dari situ pula saya menjadi seorang pengamat dan pembelajar, lalu sedikit bisa mengerti kosa kata yang diucapkan dalam bahasa sunda.

Selain Pasar Baru, saya juga telah berkawan cukup baik dengan beberapa sudut Bandung. Seperti misalnya Balai Kota dengan tamannya yang asri, sekedar mengusir jenuh sambil membaca atau menikmati sekitar. Atau Braga yang seakan seperti lorong waktu, dengan bangunan-bangunan klasiknya, lukisan jalanan ataupun trotoar yang nyaman untuk berjalan kaki.
Kami melangkah pelan, seperti sedang menghitung langkah. Melewati tempat-tempat tersebut sekaligus mengenalkan Bandung kepada kawan saya itu. Meski harus diselingi dengan obrolan yang sedikit kaku. Maklum, kami memang sudah cukup lama tidak bersua.

Menjadi seorang perantauan ternyata tidak seburuk yang saya duga sebelumnya. Meski harus menerima kenyataan bahwa jauh dari rumah itu memang tidak pernah mudah. Namun saya mencoba berdamai, lalu mencoba mengenal Bandung sebagai seorang kawan yang datang secara tidak terduga. Karena bagaimana pun, disinilah saya akan menghabiskan beberapa tahun dari umur saya yang sudah dewasa ini.

Tanpa terasa, langkah kaki telah mengayun sampai ke sekitaran Alun-Alun kota Bandung. Terus saja kami berjalan, menuju kawasan Asia Afrika.  Yap, Museum Konferensi Asia Afrika, sudah didepan mata. Dan kebetulan masih buka, sehingga kami pun tertarik untuk masuk. Tak perlu merogoh kocek, cukup mengisi nama, pesan kesan, serta tanda tangan saja dibuku daftar pengunjung.

Seperti yang telah diketahui, Bandung adalah kota pertama diadakanya Konferensi Asia Afrika pada tanggal 19 April 1955. Konferensi yang dihadiri oleh 29 negara ini bertujuan untuk menciptakan perdamaian serta ketentraman hidup bangsa-bangsa di kawasan Asia Afrika. Hasil dari konferensi itu sendiri tertuang dalam Dasasila Bandung. Dasasila Bandung berisi tentang, pernyataan mengenai dukungan bagi kedamaian dan kerjasama dunia, juga memasukan prinsip-prinsip dalam piagam PBB dan prinsip-prinsip Jawaharlal Nehru.

Museum ini didirikan pada 24 April 1980. Selain sebagai memorabilia KAA, museum ini sangat erat kaitanya dengan Gedung Merdeka. Gedung tersebut memiliki dua bangunan utama. Yang pertama, Gedung Merdeka sebagai tempat sidang utama dan yang kedua, yang berada disamping Gedung Merdeka adalah Museum KAA, tempat kami berada sekarang.
Didalam museum, kita dapat menikmati sejumlah koleksi berupa benda-benda tiga dimensi serta foto-foto dokumenter peristiwa Pertemuan Tugu, Konferensi Kolombo, Konferensi Bogor dan Konferensi Asia Afrika tahun 1955. Tak hanya itu, kita pun dapat melihat foto-foto mengenai peristiwa yang melatar belakangi lahirnya KAA, dampak dari KAA bagi dunia internasional serta Gedung Merdeka masa ke masa.

Profil dari negara-negara peserta yang berpartisipasi dalam KAA juga dimuat dalam multimedia. Terdapat Diorama pembukaan KAA 1955 yang menggambarkan situasi pembukaan konferensi itu sendiri. Selain itu dilengkapi pula sebuah perpustakaan yang memiliki sejumlah buku mengenai sejarah, sosial, politik dan budaya, yang berasal dari sumbangan dan pembelian.
Saya cukup antusias menikmati peninggalan peristiwa bersejarah yang dulu saya pelajari di bangku sekolah tersebut. Namun tanpa terasa sudah beberapa waktu terlewati. Meski belum puas, kami harus meninggalkan Museum, karena sudah waktunya Museum ditutup.

Langit Bandung yang mulai meredup, seakan menandakan bahwa saya juga harus mengakhiri perjalanan pada hari ini. Sama halnya dengan kawan saya, yang tanpa terasa sudah seharian ini menghabiskan waktu bersama. Kini, waktunya dia juga harus segera pulang, supaya tidak kemalaman dan takut kehabisan bis untuk menuju kotanya.
Angkot berwarna biru membawa saya pulang, menembus lalu lintas Bandung yang lumayan padat ketika malam segera menjelang. Diiringi dengan obrolan dua penumpang lain di samping saya dalam bahasa sunda. Saya hanya bisa tersenyum simpul ketika mendengar apa yang dibicarakan oleh sepasang remaja tersebut. Rupanya, mereka sedang kasmaran.

Bandung, mari berkawan!

Komentar

  1. Waaaa Bandung. Jadi inget, Aku rung nulis jln pas ng bandung

    BalasHapus
  2. Bandung mempunyai cerita tersendiri, terlebih kala akhir tahun 2014 *eh buahahhahaha

    BalasHapus
  3. belum pernah masuk ke Museum KAA, padahal pengen banget ke situ deh..
    may be next time deh
    dan masih mimpi berjalan kaki menyusuri Braga yang cantik

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga segera kesampaian mbak hehe..
      Sekalian ngopi2 kan banyak tuh cafe di braga

      Hapus
  4. bandung kalau ditelusuri banyak sebenarnya ya, salah satunya yg paling bersejarah dan gampang kita datangi adalah tempat KAA, keren ya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yap bener mas. Selain gedung sate
      Tapi kalo gedung sate ga bisa masuk

      Hapus
  5. Masih penasaran sama kota yang ada yang bilang, selain Jogja, Bandung susah ditinggalkan. Kayak ada romantis-romantisnya gitu. Apalagi lagi pas baca novel pidi baiq.

    Mbaknya ini hebat, melawan rindu kampung halaman dengan menganggap Bandung adalah rumah. Semoga dimanapun itu, ruang di bumi ini adalah rumah, sebelum menemukan yang benar benar rumah. Halah wkwk ^^

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bandung susah ditinggalkan, berlaku juga dg yg nulis ini hehe.
      Silahkan kalo mau berkenalan

      Hapus
  6. Brooo, kamu tinggal di Bandung juga? Samaaa. Aku juga perantauan asal Jogja yang udah 8 tahun di sini haha. Salam kenal yak.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahahaha sayangnya bukan mas Nug, ini temen saya yg lama merantau di Bandung

      Hapus
    2. Oh iya ding baru ngeh, "guest post" hahaha

      Hapus
  7. Ah, Bandung selalu ku rindukan

    BalasHapus
  8. Mas Jo so suit bgt :)))di usia yg lebih dr seperempat abad :( aq blm pernah sekalipun mengunjungi mbandung...pengen ke kawah putih, museum KAA dan pegunungan apa itu namanya aq lupa...hehhe...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Heh nanti honeymoon ke bandung boleh dicoba mas :))

      Hapus
    2. oke mas, temenin ya

      lhoh eh :D.......

      Hapus
  9. Sekalipun kadang terasa sumpeg, tp Bandung selalu membuatku ingin kembali lagi dan lagi menikmati sorenya.

    Ini kenapa deh kak rin jd guest post aja, bikin blog sendiri lah biar cihuiii

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ahahaha nanti katanya kalo udh kekumpul banyak

      Hapus
  10. Ah kalau baca tentang Bandung selalu kangen kota dan neng geulis nya.. Kota Bandung wajib dikunjungin banget dah

    BalasHapus
  11. Kirain ini tulisanmu mau ngulas sejarah disekitaran bandung mas, terus baru inget di postingan IG kemaren, "oiya iki kan guest post" *dijudulnya juga udah ditulis padahal, dasar XD haha

    museumnya gratis? oke, masukin ke list kalau bisa main kesana. lumayan kan ngirit pengeluaran wkwk

    BalasHapus
    Balasan
    1. hahaha iya ini bukan aku yang nulis. yap, gratis, memang sih kalo pengen ngirit ya berkunjung ke museum-museum aja hehe

      Hapus
  12. Mas aku tobat ke bandung, seringnya kejebak macet huhu
    Emang salah sih, aku dstengnya pas werkend..entah klo hari biasa

    Sku suka yang bsgian bandung bsnyak bangunan londonya mas, apa itu yg disebut kawasan braga?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mbak braga berdekatan juga dg asia afrika yg banyak bangunan2 klasik

      Hapus
  13. Terima kasih mbak Rina sudah berbagi Bandung yg ngangeni di rumah maya Mas Jo. Jl Asia Afrika, Braga ah mBandung banget...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasi kembali mbak, sudah disampaikan ke penulisnya :D

      Hapus
  14. Pernaaah ke bandung tp itupun buat diklat wkwkw dan berakhir hanya muter" kotanyaaa ajaa. . Juli nanti insya Allah aku mampir ke bandung mas. . Semogaa tidak berakhir wacana. Aamiin. . 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ke jogjanya juga berkahir wacana kemaren, masa Bandung juga 😮

      Hapus
  15. Mengabaikan macetnya di akhir pekan, secara Bandung adalah pilihan utama saya untuk piknik bila sedang bosan di Serpong :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Yah ternyata mamg banyak yg jatuh cinta dg kota ini :D

      Hapus
  16. bandung, selalu punya alasan untuk datang ke kota ini :D

    BalasHapus
  17. Pokok kalau main ke Bandung jangan bertepatan dengan libur Nasional, pasti Macet ...
    jadi ambil cuti buat main ke Bandung .... Gak ada Bosennya pokok ...

    BalasHapus
  18. Entah mengapa kalo ke Bandung aku jadi keinget ke kawah putih 😂😂.
    Jalanan terfavorit itu jalan asia afrika, braga moment di hati dapet banget haha

    BalasHapus
  19. wah jadi perantau di bandung ... witing tresno jalaran sokokulino ... lama bisa bener2 jatuh cinta sama bandung :)

    BalasHapus
  20. Wah, Bandung. Sono ka Bandung..

    Kalau gak salah terakhir ke Bandung 2014 atau 2015. Ahh, lupa. Yang jelas pengen kesana lagi. Pengen leyeh-leyeh di alun-alun, karena waktu itu aku gagal ke alun-alun, dan teman-temanku sudah. Semuanya sih, gara-gara aku kelamaan di rumah bibi, pas ketemuan, eh udah mau pulang ja..hehe

    Kalau lewat ke Museum Konferensi Asia Afrika pernah, tapi waktu itu belum coba mampir. Sepertinya next time aku mampir kesini nih. Catet dulu, biar bisa dikunjungi :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ah iya, alun2 itu semacam tempat favorit di bandung

      Hapus
  21. nggak pernah bosan kalo pergi ke bandung, di museum KAA itu toiletnya vintage lho, lucu soalnya tegelnya hitam putih kayak catur

    BalasHapus
    Balasan
    1. Waa masa? Harus balik lagi nih kayaknya :D

      Hapus

Posting Komentar

Baca Juga

Menyusuri Jejak Oei Tiong Ham, Raja Gula dari Semarang

Bersekutu dengan KM Kelimutu

Jelajah Kampung Kauman Semarang