Kisah di Balik Tembok-tembok Tinggi Lasem

sepeda-onthel
Pintu berwarna hijau kusam itu belum sepenuhnya terbuka, ketika suara gonggongan anjing yang berasal dari beranda rumah menyambut kedatangan kami. Menyadari kehadiran orang asing di wilayah kekuasaannya. Padahal, kaki saya pun belum sepenuhnya turun dari pijakan kaki sepeda motor.

Cahaya temaram dari lampu bohlam yang digantungkan di atas pintu, seakan tak berdaya menyinari jalanan Karangturi gang IV yang sepi ketika malam menjelang. Lagipula, hampir sepanjang sore tadi langit Lasem sedang berbaik hati, menurunkan berkah bagi bumi dan segala isinya berupa guyuran hujan yang cukup deras. Membuat sebagian besar penduduk Lasem lebih memilih berdiam diri di dalam rumah.
Namun, gonggongan Roto (nama yang diberikan pada si anjing tersebut) tak berlangsung lama. Ketika saya, Mas Pop, diikuti oleh Mbak Lina dan Mas Donny melangkahkan kaki di beranda rumah, seketika itu juga Roto berhenti menggongong. Lalu memilih untuk mendekam di atas kursi rotan yang sudah bolong di salah satu sudut beranda.
"Hai Roto, tumben kok langsung diem?" Sapa Mas Pop ramah, sambil mengusap pelan kepala Roto.

Mungkin Roto tahu, kehadiran kami di wilayah kekuasaannya memang tak ada niatan buruk sama sekali. Atau mungkin saja Roto sedang kedinginan, membuatnya tak bernafsu lagi mengeluarkan gonggongan kepada kami, tamu di rumah tuannya.
Sementara itu, saya belum melihat keberadaan penghuni rumah tersebut sedari tadi. Hanya Mbak Menuk yang terlihat sedang sibuk memindahkan ember bekas cat untuk menadah air bocoran atap yang menetes disana-sini. Seekor kucing mungil yang terus menerus mengeong, terlihat sibuk mengganggu langkah Mbak Menuk kemanapun kaki Mbak Menuk melangkah. Mungkin si kucing sedang kelaparan, pikir saya.

"Opa sudah tidur, Mbak?" Tanya Mas Pop pada Mbak Menuk, yang sebenarnya lebih pantas kami panggil dengan sebutan Mbah itu.

Saya melangkah ragu, ketika memasuki bagian utama dari rumah tersebut. Terlihat altar yang digunakan untuk sembahyang, terletak persis menghadap pintu utama. Bukan apa-apa, meskipun Opa sendiri sudah mengijinkan kami untuk masuk, saya masih saja sungkan untuk masuk ke rumah orang yang belum saya kenal. Apalagi tujuan kami hanya melihat-melihat, takut menganggu, pikir saya.
Lantai kayu yang berderit menemani langkah kami, ketika menginjakkan kaki di ruangan utama rumah ini. Seketika itu juga aroma lembab dari kayu-kayu yang juga merupakan material utama bangunan rumah, menyeruak di indera penciuman saya. Terlebih lagi, Lasem memang sedang sering diguyur hujan akhir-akhir ini. Membuat hawa di dalam rumah menjadi semakin lembab.

Barang-barang bekas yang tak terpakai, terlihat menumpuk dibiarkan berdebu memenuhi di sudut-sudut ruangan. Kesan pertama orang yang melihatnya mungkin saja mengira tak ada yang sempat membersihkannya. Mengingat rumah ini hanya dihuni oleh tiga orang yang sudah renta.

Namun bagi para penghuninya termasuk Opa, barang-barang bekas tadi merupakan salah satu upayanya untuk mengingat sesuatu ataupun seseorang. Seiring dengan ingatan Opa yang semakin memudar di usia senjanya. Maka dari itu, Opa akan marah dan melarang jika ada orang yang berusaha membersihkannya.

***

Setelah kedatangan orang-orang Tionghoa yang berlabuh di Lasem berabad-abad yang lalu, terjadilah alkulturasi budaya antara masyarakat pribumi khususnya orang Jawa dengan etnis Tionghoa. Hal ini dipengaruhi oleh komunikasi yang baik dari masyarakat lokal dengan masyarakat Tionghoa itu sendiri. Perkawinan antar etnis pun sudah lumrah terjadi kala itu, sehingga muncul generasi yang disebut Orang Peranakan.

Sejak itu pula perekonomian di Lasem berkembang pesat. Melalui ilmu orang-orang Tionghoa yang memang dikenal hingga kini sebagai pedangang yang ulet dan terampil. Salah satu komoditas utama yang paling menguntungkan kala itu adalah Batik Lasem. Sebuah mahakarya yang muncul juga karena alkulturasi budaya antar etnis yang harmonis di Lasem.
Sukses berdagang dan memiliki kekayaan yang cukup, membuat mereka mulai memikirkan untuk membangun sebuah hunian megah. Tak peduli jika harus mengeluarkan dana yang tidak sedikit demi sebuah rumah megah dan mewah, agar mampu mengangkat martabat keluarga di antara penduduk desa lainnya. Ini juga merupakan penanda awal kemunculan pemukiman Tionghoa di Desa Karangturi dan Desa Babagan.

Dua bumbungan atap yang melengkung di masing-masing ujungnya, menjadi salah satu ciri khas dari kompleks pemukiman tersebut. Tembok tinggi dan kokoh yang mengelilinginya, seolah menegaskan bahwa di dalamnya bermukim sebuah keluarga terpandang. Sekaligus menjadi pelindung dari ancaman komplotan pencuri yang mengincar rumah-rumah mewah.

Lantai beranda rumah terbuat dari tegel terakota yang tebal berwarna merah bata. Konon, bahan ini didatangkan langsung dari negeri Tiongkok. Namun di beberapa rumah lain, ada pula yang sudah diganti dengan tegel bercorak warna-warni, untuk menegaskan kesan mewah dari rumah tersebut. Sementara itu, lantai di ruangan utama kebanyakan masih dipertahankan keaslianya. Berupa lantai kayu yang tidak langsung menempel di tanah, melainkan diberi jarak 15-30 centimeter dari permukaan tanah.
Perlahan tapi pasti, rumah-rumah megah itu mulai ditinggal satu per satu oleh para penghuninya. Generasi muda yang telah beranjak dewasa memilih hidup di perantauan demi mencari penghidupan yang lebih baik. Kota-kota besar seperti Surabaya, Semarang ataupun Jakarta menjadi tujuan utamanya, karena lebih menjanjikan untuk masa depan mereka.

Kini, rumah-rumah tua tersebut hanya menyisakan orang-orang yang memilih menua dalam kesepian di dalamnya. Menyisakan sunyi yang semakin terasa di beranda dan halaman rumah, yang biasanya dipenuhi oleh perbincangan yang hangat. Dan sesekali, diselingi oleh canda tawa bersama para anggota keluarga lainnya. Tergantikan oleh suara tetesan air hujan yang menimpa atap rumah ketika musim penghujan tiba.

***

Hari semakin beranjak malam, ketika kami berempat keasyikan mengbrol di beranda rumah ditemani oleh rintik hujan yang masih tersisa. Mas Pop menunjukkan pada kami koleksi majalah-majalah kuno yang sedikit berdebu milik Opa. Artikel-artikel di dalam majalah tesebut masih menggunakan ejaan lama, yang membuat saya harus membutuhkan waktu sedikit lebih lama untuk membacanya.

Majalah-majalah tersebut dikumpulkan oleh Opa semasa muda dulu, ketika bekerja sebagai sopir truk selama belasan tahun. Menempuh ganasnya jalur pantura Semarang-Surabaya maupun sebaliknya. Sepulang dari bekerja, Opa sering kali membawa majalah-majalah dan disimpannya hingga kini.

Sementara itu, Mbak Menuk sedari tadi sibuk di belakang. Padahal, ada begitu banyak hal yang ingin saya, Mbak Lina serta Mas Donny tanyakan kepadanya. Namun kami urungkan sejenak niat kami tersebut, karena takut mengganggu kegiatan beliau.
"Kayaknya mau sembahyang.." Ujar Mas Pop, ketika mengintip Mbak Menuk sedang menyiapkan Altar, dan sebuah meja besar di belakang rumah.

Mbak Menuk sejatinya bukanlah warga Lasem asli, melainkan berasal dari salah satu daerah di Kabupaten Tuban. Beliau ditugaskan untuk merawat Opa dan Oma sejak puluhan tahum lalu. Sejak itu pula Mbak Menuk tidak pernah kembali ke rumahnya di Tuban, entah apa alasannya. Pun ketika kami menanyakannya, beliau hanya menjawab sekedarnya.

Hanya sedikit yang bisa saya ketahui dari Mba Menuk, lewat perbincangan di belakang rumah keesokan harinya. Beliau dulunya memang memiliki keluarga pada umumnya. Namun karena suatu hal, suami dan anaknya meninggal dunia, sehingga kini Mbak Menuk hidup sendirian. Maka dari tiu, Mbak Menuk menerima tawaran untuk merawat Opa dan Oma, demi menyambung hidup.
Berada di rumah Opa selama beberapa saat, membuat saya mengerti betapa kesepiannya Lasem. Sunyi begitu terasa disini, hanya suara rintik hujan yang terdengar. Hanya sesekali suara kendaraan bermotor yang melintas di Jalan Karangturi gang IV. Itupun tak terlalu menggangu, karena sudah tereduksi oleh tembok-tembok bercat putih nan tinggi, yang memisahkan halaman rumah dan jalanan.

Pun sepertinya Opa, Oma maupun Mbak Menuk tak telalu suka dengan hiburan macam siaran televisi ataupun radio. Karena benda-benda elektronik tersebut saya lihat hanya teronggok tak terpakai. Dibiarkan berdebu di salah satu sudut ruangan rumah. Bagi beberapa orang, benda-benda tersebut dianggap sedikit bisa mengurangi kesunyian dan kebosanan.

Rumah-rumah tua lainnya di Lasem pun tak jauh berbeda nasibnya. Beberapa malah lebih buruk, dibiarkan kosong tak berpenghuni begitu saja. Dan pada akhirnya berganti kepemilikan, atau tinggal menunggu waktu bangunan tersebut roboh. Sementara itu, hanya segelintir rumah yang beruntung. Oleh para generasi penerus keluarganya, dirawat dan bila perlu direnovasi.
Lasem, pada akhirnya tetap menjadi kota sepi yang tak dikenal orang. Sebuah kota kecamatan di salah satu ujung pantai utara Jawa Tengah, yang terjebak dalam memori-memori kejayaan masa lalu. Di tengah truk-truk besar yang berjalan merayap perlahan, ataupun klakson bis-bis yang menyalak kesetanan ketika melintas di jalur pantura.

Komentar

  1. Ya Tuhan, tulisan ini bikin terenyuh. Buat Mbak Menuk, Tuhan menyiapkan rencana terbaik baginya dengan mempertemukan Opa dan Oma dengannya.
    Lihat kondisi rumah itu bikin miris, sungguh. Saya rindu kehadiran negara dalam kegiatan pelestarian--misalnya saja negara atau pemerintah (entah pusat atau daerah) memberi tunjangan pada pemilik bangunan bersejarah sebagai bantuan untuk melestarikan. Tapi negara kita juga tidak kaya, ada banyak prioritas pembangunan lain yang harus diselesaikan...
    Begitu banyak sejarah di bangunan ini sampai-sampai gambar-gambar dalam bulatan itu bisa jadi cerita tersendiri, ya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. sepakat, mas. kita memang tidak bisa menuntut banyak dari pemerintah, setidaknya masih banyak hal lain yg perlu perhatian. jadi tinggal kita sebagai generasi muda bergerak untuk tidak mengabaikannya, setidaknya dengan mengunjungi atau bahkan menuliskannya :)

      Hapus
    2. kalian berdua ini cocok, sama2 bisa menuliskan sejarah dan kekunoan dengan manis.
      aku pun punya cita2 main ke Lasem, semenatara ini mengumpulkan bahan saja dulu dari berbagai bacaan buku2 dan blog, biar meresap ke hati..

      Hapus
  2. (se)harus(nya) ada generasi muda yang mau untuk memajukan daerahnya sendiri termasuk Lasem ini. Kembalilah ke daerah, bangun daerahmu. Merantau boleh tapi sisihkan sedikit hatimu untuk daerahmu.

    Dan dibalik tembok Lasem selalu punya cerita menarik untuk diulik. Jadi semakin tertantang untuk memetakan Lasem, hehehe.

    BalasHapus
    Balasan
    1. beberapa ada yang sudah sadar mas bay, seperti kehadiran para penerus keluarga pembatik lasem. mereka memilih untuk kembali ke lasem untuk melanjutkan warisan batik keluarganya. sekaligus juga merawat rumah-rumah tersebut.

      Hapus
  3. Tulisanmu yang ini kok terasa trenyuh gimana gitu ya bacanya. Sepertinya kamu lebih bagus menulis tentang heritage mas dibanding nulis alam :-D

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe sepertinya memang begitu mas, ketertarikan thd heritage semakin besar. padahal dulu belajar sejarah di sekolah aja ngantukan :D
      tapi gak melulu soal heritage sih, alam juga masih tertarik kok, tapi mungkin lebih ke personal hubungan alam dengan manusianya mas :D

      Hapus
    2. Setuju ma mas nasirullah, aku juga e bacae mbil begidik..antara trenyuh, agak menyayat nyayat apa gimana gitu, susah takjelasin pake kata2

      Hapus
  4. Mirip2 rumah dikampungku dulu sebelum gempa

    BalasHapus
  5. Tulisanmu iki. Pie yo, aku seperti masuk dan ikut menikmati perjalanan di dalamnya. Lasem yang kesepian. Ini daerah sudah dijadikan tempat wisata belum to mas? Yg produksi batik lasem itu apa ya juga sekitar sini?

    BalasHapus
    Balasan
    1. batik lasem sedang dikembangkan lagi mbak, anak mudanya mulai sadar dan melanjutkan tradisi membatik keluarganya. gimana ya, tempat wisata aslinya sih bukan, tapi worth it kok di kunjungi, bisa belajar juga sih hehehe

      Hapus
  6. bagus mas jo tulisanmu

    BalasHapus
  7. Inspiratif dan humanis sekali tulisan ini. Suka.

    BalasHapus
  8. Wah, rumah2 tu dibangun tahun berapa yah?

    Hampir sama dengan rumah2 tua di kota lama banyumas. Banyak yg tak terurus :(

    Nice posting mas...

    BalasHapus
  9. Mas johanes akhirnya misteri rumah opa terbit sudah
    Aku bacanya asli sambil ngebayangin langsung kayak berada di rumah opanya hihi, merinding...mungkin karena hari hujan dan bangunan tua, opa oma ini tionghoa sedang mbah..eh mbak menuk tuban asli berarti ya mas..
    Oya pas tau nama anjingnya roto, saya jadi keinget salah satu merek obat tetes mata deh hahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. jangan ngebayangin yg serem-serem mbak nit :D
      anggap saja rumah sendiri :)

      Hapus
  10. Mantap tulisannya, bagai membuka lembar halaman novel :)
    Saya belum pernah sih menelisik di balik tembok-tembok tinggi Lasem itu, hanya sering lewat jalan panturanya saja kalau mau ke Pati :)

    BalasHapus
  11. Waaa nyaman dan adem banget keliatannya rumahnya. sayang udah mulai tergerus moderenisasi. Asli lasem mas? bikin tulisan 'one day tour lasem dong' hehe

    Salam kenal, silahkan mampir http://dwijayantiw.wordpress.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. ahaha sayangnya bukan mbak. saya dari semarang. sudah lama penasaran dengan lasem ini.
      salam kenal balik :D

      Hapus
  12. pusaka Lasem yang berangsur ditinggalkan. menarik sekali Mas Anggoro.
    Jadi pengen ke sini langsung memehartikan ketakberdayaannya. Sebagai bangunan fisik yang penuh saksi, tentu banyak khazanah di dalamnya. Tugas kita mengangkat kembali, agar tak terlupa, juga menyuarakan, tentang Lasem yang memiliki histori. Semoga Lasem tak cepat runtuh, fisik dan sejarahnya ya. Ajak aku ke sini mas. atau sampean tak ajak ke Kota gede, haha

    BalasHapus
    Balasan
    1. kalo ke lasem sepertinya juga harus ngajak mas halim kih :D
      sepakat mas, namun di lasem ini bukan hanya bangunan fisik yg menjadi sejarah, namun juga peninggalan budaya seperti batik, atau resep suatu makanan yang jg beberapa yg sudah hilang.

      Hapus
  13. Tulisan ini membuat keinginan saya ke Lasem makin menguat.

    Betapa tabahnya mereka hidup dalan kesunyian...

    BalasHapus
    Balasan
    1. ayo ke lasem mbak, ajak Re juga pasti seru :D

      Hapus
  14. Selalu nikmat membaca setiap kata tulisannu mas . 😁😊
    Bisa membayangkan betapa sunyinya lasem ketika malam. . Menyisakan kenangan dan hening yg kadang mencekam 😁

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih :D
      heningnya gak mencekam kok, adaa perasaan hangat yang memngalir setiap masuk ke rumah-rumah tersebut :)

      Hapus
  15. rumahnya gasepi kok.. pasti banyak kenangan banget di seetiap detailnya.
    Tulisannya bagus eeee

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih sudah mampir :D
      betul, tergantung setiap orang yg memaknai sepi baginya :)

      Hapus
  16. tulisannya mas... bikin ngiri kapan bisa menulis semengalir gitu :(
    btw saya juga baru tau kalo ada kota bernama LASEM

    travellingaddict.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. belajarlah pada air yang mengalir anak muda :p

      Hapus
  17. lasem ini yg di semarang kan? ya..ampun jauh dari bayangan saya, sepengetahuan saya tmpt itu perkampungan tiong hoa..dmn hidupnya mewah

    BalasHapus
    Balasan
    1. anu Rembang mbak, dari semarang sekitar 3 jam hehehe

      Hapus
  18. What a beautiful wordsss
    Postingan mu lezat sekali mas

    Walaupun belum terlalu tua, tapi bangunan ini kesan antiknya kerasa banget ya...

    BalasHapus
  19. Aku suka sedih lihat rumah tua besar yg dibiarkan kosong, kenangan dirumah itu pasti banyak dan bikin yg tua merasa kesepian, sering denger tentang Lasem tapi belum pernah kesana. Semoga suatu saat bisa berkunjung ke kota bersejarah itu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe keadaanya mungkin mirip dg para orang tua yg sudah ditinggalkan anak2nya yg telah dewasa :)

      Hapus
  20. Wah eman-eman yah rumah-rumah tua kaya gitu. Harusnya dilindungi sama pemerintah biar gak dirubah bentuknya kalo renovasi. Emang perhatian kita sama benda sejarah sangat menyedihkan.

    BalasHapus
  21. aku udah sangat penasaran dengan Lasem coba agak diperhatikan pasti jauh lebih keren dari Melaka

    BalasHapus
    Balasan
    1. naaah, kalo lebih diperhatikan bukan gak mungkin akan menyaingi melaka mbak winny

      Hapus
  22. Bangunan2 di lasem ini mesti di lestarikan, mesti adacampur tangan pemerintah biar ngak akhir nya hilangbegitu saja

    BalasHapus
    Balasan
    1. yaaaah masih banyak yg perlu diperhatikan om. mending dananya untuk yg lain yg lbh membutuhkan :)

      Hapus
  23. Lasem itu harta karun Jawa Tengah! Semoga selalu lestari. Bucket list jg ni Lasem sejak dulu.

    BalasHapus
  24. Sepertinya saya pernah ke tempat ini, apa dalam mimpi ya?

    BalasHapus
  25. Sayang banget, itu rumah jaman belanda nggak terawat :(
    Ada sepedah ontel :D papaku seneng banget sama sepedah ontel.

    BalasHapus
    Balasan
    1. karena merawat itu susah dan mahal hehehe :D

      Hapus
  26. Pernah ke Lasem sekali, hunting batik Lasem. Masih banyak rumah-rumah kuno, unik. Tapi nggak terawat ya.

    BalasHapus
  27. wah, tulisan mu mas luar biasa. sedih liatnya.

    BalasHapus
  28. aku merinding kalo liat kondisi rumah tua yang kaya gitu, kaya nyium bau2 mistis

    BalasHapus
  29. kalo liat rumah tua agak gimana gituh perasaanku hehe

    BalasHapus
  30. salam kenal
    membaca tulisanmu tentang rumah yang dulu tampak megah namun kini mulai di tinggalkan karena penerusnya memilih untuk merantau sering nemuin juga di daerah lain
    memang benar kita tidak bisa terlalu berharap pada pemetintah, kalau para generasi ada kemampuan dan keinginan tentu akan sangat membantu melestarikan yang pernah ada dan berjaya di masa lalu

    hehe selamat sore

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sepakat mbak, misalnya dengan menuliskannya sebelum dirubuhkan suatu saat nant mungkin.

      Salam kenal juga. Selamat sore^^

      Hapus
  31. Beberapa temen blogger sempat jelajah Lasem beberapa tahun lalu. Dan sejak itu ini tempat sudah aku tandai haha. Huaa mau banget dah jalan-jalan ke sana. Cantik ya kotanya :)

    omnduut.com

    BalasHapus
    Balasan
    1. betul om, sempet bikin e-book juga hehehe

      Hapus
  32. kalau gak diceritain gini kayanya aku juga kurang tau apa itu lasem, padahal dulu berjaya ya namun kini tinggal cerita, sayang sekali bangunannya jadi gak keurus

    BalasHapus
    Balasan
    1. merawat itu memang butuh perjuangan ekstra dan gak murah

      Hapus
  33. Ini kayaknya bisa dikembangin jadi novel Mas, bagus deskripsinya dan menyentuh. Aku jadi pengen ke Lasem, sebagai orang Jateng, aku belum pernah ke sana :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. wahaha makasih atas apresiasinya :D
      ayo mbak segera agendakan ke Lasem

      Hapus
  34. kirain lasem itu daerah semarang, ternyata setelah googling di rembang ^^

    tulisannya level dewa ini mas. nasib "lasem" hampir sama dengan desaku sepertinya, pemuda-pemudi nya banyak yg hijrah ke kota-kota besar buat mencari nafkah disana *termasuk saya-__-

    BalasHapus
  35. Kali ini aku membaca ulang tulisan ruang sore pelan pelan. Aku kayak jalan ke Lasem, terus merasakan sepi yang beda, terus kayak nggak bisa komentar apa apa ketika di daerah ini. Aku penasaran ketika besok suatu saat sampai sana, aku akan berkomentar apa. Ah aku terlalu berlebihan kayaknya ��.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jangan terlalu berekspektasi sih mbak rin, biarkan semua inderamu merasakannya, lasem yang damai :)

      Hapus
    2. Ya, lasem yang damai :)

      Hapus
  36. Foto yang terakhir itu gambar cerita tentang apa ya mas?

    Aku seharian ini baca tentang lasem, ketemu hal unik. Semoga bisa ke sana kapan waktu.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Untuk ceritanya saya jg blm mengerti mas, tp pasti ada maksud tertentu menempatkan lukisan itu

      Hapus
  37. Waktu baca paragraf awal ditulisan ini seperti baca sejarah dan novel seolah terbawa sama cerita masa lalu.

    Rumah-rumah kuno di Lasem ini banyak sejarahnya ya mas, sayang kalo gak ditinggali atau ga dirawat dibiarkan rusak dimakan usia.


    Aku membayangkan suasana tenang dan nyaman pasti banyak di dapat disana.

    BalasHapus
  38. Lasem benar-benar naik daun, ya.
    Masukin bucket list, ah.

    BalasHapus
  39. Ya ampuun, itu rumah opa vintage banget.. Btw, itu anak cucunya si opa pada kemana?

    BalasHapus
    Balasan
    1. opa tidak menikah kak, jadi mungkin yang tersisa cucu dari sodara-sodaranya yg lain. tp entah kemana

      Hapus

Posting Komentar

Baca Juga

Menyusuri Jejak Oei Tiong Ham, Raja Gula dari Semarang

Bersekutu dengan KM Kelimutu

Jelajah Kampung Kauman Semarang