Tak Ada Pulang yang Benar-benar Jauh
Beberapa calon penumpang tampak kebingungan di depan chek in counter. Sementara yang lain terlihat kerepotan membawa barang bawaan mereka yang menggunung. Sedangkan saya yang baru saja tiba, memilih untuk langsung menghadap meja pemeriksaan tiket.
Hanya segelintir calon penumpang yang telah berada di ruang tunggu, selebihnya hanya bangku-bangku kosong tak berpenghuni. Sepertinya memang tak banyak jadwal keberangkatan kereta. Atau mungkin saja tak banyak orang yang melakukan perjalanan mudik pagi itu. Terlebih pada jam yang masih berdekatan dengan pelaksanaan sholat ied.
Stasiun Purwosari, pukul tujuh psgi. |
Bangku-bangku tak berpenghuni. |
Kereta api Sri Tanjung adalah kereta kelas ekonomi yang melayani rute Lempuyangan-Banyuwangi dan sebaliknya. Diambil dari nama tokoh dalam cerita rakyat Banyuwangi, total jarak yang ditempuh adalah sekitar 614 km selama lebih dari 13 jam perjalanan. Melewati hampir 30 stasiun pemberhentian di dua provinsi.
Peluit ditiup, semboyan 35 dibunyikan, kereta pun mulai bergerak perlahan. Saya sudah duduk manis di gerbong nomor 6. Sementara itu saya mendapati gerbong lengang, bangku di depan saya pun masih kosong melompong. Tapi jangan senang dulu. Karena dalam perjalanannya, kereta Sri Tanjung masih akan berhenti di banyak stasiun untuk menaikturunkan penumpang.
Perjalanan masih panjang. |
Di kejauhan, persawahan yang membentang luas tampak mulai menguning. Perbukitan yang hijau, sungai, hutan hingga pemukiman silih berganti sepanjang perjalanan. Sementara itu di sisi lainnya, deretan alat berat membuka lahan untuk proyek rel jalur ganda lintas selatan Jawa. Jika proyek ini selesai, diharapkan perjalanan kereta lintas selatan Jawa menjadi semakin lancar.
*****
Sri Tanjung memasuki pemberhentian berikutnya, yaitu Stasiun Sragen. Beberapa penumpang naik, bangku di depan saya pun akhirnya ditempati oleh sepasang suami istri.
Rel ganda. |
Dari pertanyaan basa-basi “Turun dimana?”, obrolan pun mengalir di antara kami. Atau lebih tepatnya, mereka yang lebih banyak bercerita. Sedangkan saya, lebih suka mendengarkan dan sesekali menimpali. Sekedar mengusir rasa bosan, karena perjalanan masih cukup panjang.
Rochim sang suami, sehari-hari bekerja sebagai guru honorer di sebuah SMP swasta di Sragen. Ia berasal dari daerah Genteng, Banyuwangi, telah lama mengakrabi kereta Sri Tanjung. Tepatnya sejak memutuskan untuk berkuliah di Yogyakarta. Sedangkan bagi istrinya, ini adalah pengalaman pertamanya naik kereta untuk mudik ke kampung halaman sang suami, setelah hampir lima tahun menikah.
Mengintip gunung. |
“Jauhnya itu lho, Mas,” Ria sang istri berkilah, ketika saya bertanya mengapa selama ini enggan untuk diajak mudik, terutama naik kereta.
Selain itu, di benak Ria kereta ekonomi adalah transportasi yang jauh dari kata nyaman. Panas, berbau, sesak hingga lorong, bordes bahkan atapnya. Tapi sebenarnya gambaran itu sudah tidak berlaku lagi di era sekarang.
Baca Juga: Ayo Naik Kereta Api
Dalam satu dekade terakhir, angkutan perkeretaapian mengalami kemajuan yang cukup pesat. Fasilitas dan layanan kereta api terus diperbaiki. Tak ada lagi penumpang yang berdesak-desakan di dalam gerbong, karena di setiap tiket sudah tertera nomor bangku masing-masing. Di setiap gerbong pun kini telah dilengkapi pendingin udara, agar penumpang tidak kegerahan selama dalam perjalanan.
Hal ini diamini oleh Rochim, yang selama belasan tahun selalu menggunakan kereta api setiap kali mudik. Harganya yang murah menjadi pertimbangan utamanya. Sekarang ia merasakan betul bagaimana kereta api menjelma sebagai transportasi yang manusiawi.
“Tapi ya ndak bisa ngambing lagi, Mas..” Kenang lelaki 31 tahun tersebut, seraya terkekeh pelan. Demi mudik, ia pernah menjadi penumpang gelap di kabin lokomotif. Tentu saja dengan menyogok beberapa lembar rupiah kepada petugas.
Bagi Rochim sendiri mudik bukanlah suatu pilihan, melainkan sebuah keharusan. Meski harus berjuang belasan jam dan jarak ratusan kilometer. Hidup di perantauan selama belasan tahun, tidak lantas membuatnya lupa akan kampung halaman. Justru sebaliknya, karena niat awal merantau adalah mencari penghidupan yang lebih baik. Maka pulang adalah salah satu caranya untuk bersyukur.
*****
Roda-roda baja terus berputar menyusuri rel. Sesekali berhenti kembali di beberapa stasiun, baik untuk menaikturunkan penumpang maupun bersilang dengan kereta lain yang berlawanan arah. Ya, beginilah nasib kereta api kelas ekonomi macam Sri Tanjung, yang harus mengalah dengan kereta-kereta yang kelasnya lebih tinggi.
Kereta Krakatau yang sedang menunggu silang. |
Tangisan, celoteh hingga tingkah lucu mereka terdengar di hampir seluruh penjuru gerbong. Para orangtua pun tak kalah sibuk. Menyeduh susu dengan air panas yang telah disiapkan dari rumah, memberikan mainan terbaik mereka, hingga berjalan sempoyongan di lorong gerbong sambil menggendong sang anak untuk menenangkannya.
*****
Lewat tengah hari, kereta merapat di Stasiun Surabaya Gubeng. Itu berarti separuh perjalanan telah terlewati. Disini Sri Tanjung herhenti cukup lama, sekitar 30 menit. Di antaranya karena melakukan perpindahan posisi lokomotif serta pengisian ulang air untuk kebutuhan toilet di masing-masing gerbong.
Baca Juga: Bandung Tahun Lalu
Saya dan beberapa penumpang lain memanfaatkannya untuk turun sejenak, sekedar meluruskan kaki yang mulai pegal. Ternyata cukup banyak penumpang yang naik maupun turun di salah satu stasiun tersibuk di Jawa ini.
Berhenti di Surabaya Gubeng. |
Saya memilih untuk memejamkan mata sejenak. Sementara aroma makanan menguap di penjuru gerbong. Para penumpang yang mulai kelaparan, membuka bekal makanan yang sengaja mereka bawa untuk disantap di perjalanan.
“Mari makan, Mas..” Sapa seorang ibu paruh baya yang duduk di sebelah saya.
Sejak diberlakukannya peraturan baru, tak ada lagi pedagang asongan yang bisa berkeliaran bebas di stasiun. Sedangkan bagi penumpang kereta kelas bawah, harga makanan di gerbong restorasi dirasa terlampau mahal. Mereka pun terpaksa memutar otak, mengandalkan bekal makanan yang sengaja dibeli di luar stasiun atau bahkan disiapkan dari rumah.
*****
Di luar jendela, malam semakin pekat ketika kereta memasuki wilayah Tapal Kuda. Tak ada lagi yang bisa dilihat selain gelap. Gerbong sunyi. Beberapa penumpang terlelap dalam tidurnya, sementara yang lain masih terpekur pada layar gawainya dengan wajah layu.
Saya salut melihat ketabahan mereka melakoni ritus tahunan bernama mudik atau pulang kampung ini. Setahun sekali, mereka akan menyesaki stasiun kereta hingga bandar udara. Membanjiri terminal bus hingga pelabuhan laut. Demi sebuah kepulangan.
Gelap di sudut Stasiun. |
Baca Juga: Merayakan September, Merayakan Hidup
Sementara itu, jalan pulang yang harus saya tempuh tak sesulit para pemudik itu. Karena saya memang belum pernah merasakan hidup di perantauan yang jauh dari rumah. Sedangkan pada hari raya tahun ini, saya malah berakhir seorang diri di dalam gerbong tua yang sedang melaju menuju ujung timur Pulau Jawa.
Pulang sesungguhnya bukan hanya tentang jarak semata, melainkan kembali pada diri kita masing-masing. Pulang adalah masalah hati. Karena sebenarnya, tak ada pulang yang benar-benar jauh.
Aku ngiri, daerahnya masih bisa menikmati naik kereta sambil lihat sawah gitu, sudah lama banget aku gak ngerasain, kangen daerah jatim
BalasHapusKereta sekarang enak kok mbak :D
HapusKita gak pulang benar-benar pulang kok..
BalasHapusKita hanya numpang transit di dunia ini..
T.T
HapusKe Banyuwangi? Wah kota kelahiranku. Jadi ingin naik kereta lagi, satu2nya transport darat paling nyaman di Jawa ☺
BalasHapusBus di jawa juga ga mau kalah bersaing kok mas, bus juga nyaman sekarang.
HapusPerjalanan dengan kereta api selalu memberi cerita dan kesan
BalasHapusBetul mas, terlebih kereta ekonomi
HapusKalo yg baca anak kossan pasti baper dan mewek ini mas.
BalasHapusSejauh apapun kita pergi, pulang emang segalanya ����
Kok ga ada yg nanya lebaran aku malah pergi ya :'D
Hapus"Dan lalu rasa itu tak mungkin lagi kini tersimpan di hati bawa aku pulang, rindu. Bersamamu" #nyanyi.
BalasHapusTulisanmu iki apik Jo *acungin jempol... kaki* :D
Soundtrack wajib kalo itu mah hahaha.
HapusBetul mas.. tak ada pulang yang benar2 jauh.. tergantung dari niat..
BalasHapusKarena pulang itu letaknya di hati :')
HapusPulang itu membawa cerita selama bertahun-tahun, dan hanya diceritakan sepanjang obrolan di rumah. Pun dengan balik, semua cerita itu hilang berganti dengan cerita lain.
BalasHapusPulang itu mengumpulkan remah2 kenangan ya mas
HapusDalam dan panjang. Cerita yang menyentuh dari sekedar kata "Pulang"
BalasHapusJadi kapan kak mae pulang
HapusIndaaaahhh banget artikel ini :)
BalasHapusKindly visit my blog: bukanbocahbiasa(dot)com
Makasih sudah mampir
Hapusahhh aku pun baru sekali naik kereta api kemarin, naik kereta api pagi Fajar Utama dari stasiun senen ke purwokerto dengan tujuan akhir jogjakarta, berada di kelas bisnis, serasa longgar, duduk di dekat jendela, banyak kursi kosong bahkan di kursi sebelah...menyenangkan rasanya
BalasHapusAh iya, kelas bisnis menurutku amat lega. Sayang kelas ini akan dihapus perlahan oleh KAI
Hapus"Pulang" kata yang selalu terngiang di telinga bagi seorang diperantauan.
BalasHapusSalam kenal ya,#BlogWalking
Nah malah saya ga pernah merantau :3
HapusNgalir banget bahasanya. Betah banget bacanya. Terbayang bagaimana rasanya jadi pemudik. Dan closing image-nya, aaahhh ... memunculkan rindu.
BalasHapusHehe makasih mbak
HapusWah, masnya orang Banyuwangi ya?
BalasHapusTahun lalu aku pernah naik Sri Tanjung dari Lempuyangan sampai ke Karangasem. Kereta ini memang terbaik. Puas rasanya, bayar 100 ribu bisa duduk hampir 16 jam di atas gerbong :D
Bukan mas. Saya semarang kok. Ini karena saya ga merayakan lebaran jadi main sendiri, dan merasakan bagaimana pengalaman mudik orang lain hehe
HapusTak ada pulang yang benar-benar jauh...Dalem banget!:)..Saya mudik pengennya naik kereta Mas, Tapi dari Jakarta ke Madiun itu sulitnya nyari tiketnya..hadeh..Akhirnya kalau pulkam selain lebaran baru menikmati kereta api yang kini nyaman sekali. Btw, trims ceritanya jadi ikut bayangin naik Sri Tanjung saya...:)
BalasHapusHehe makasih mbak.
HapusKalo mudik lebaran sih memang H-90 biasanya juga langsung ludes. Apalagi dari arah jakarta.
Sri Tanjung bikin kangen pulang. Bahkan dulu aku pernah bikin cerpen judulnya Titip Rindu pada Sri Tanjung.
BalasHapusWaaa jeng sri ninggal kenangan
Hapusseru memang jika mudik menggunakan Trasportasi Umum, utamanya kereta Api yang saat ini lebih baik pelayanannya namun butuh waktu tempuh yang lumayan lama. tapi bebas macet heee ...
BalasHapussalam kenal ...
Salam kenal kembali hehe.
HapusBetul kereta adalah transportasi anti macet. Kalo ada gangguan pun sekarang sudah jarang.
Tulisannya bagus mas, dalem juga :D kalau ane pulangnya bisanya pake pesawat atau bis hehe kereta ga ada yang ke Sumatera hehe, paling ke Jakarta dulu, tapi repot juga, harus naik pesawat lagi atau bus lagi, mending dari Jogja langsung naik pesawat atau bus, buspun nyampe 2 hari 2 malem, kalau macet bisa nyampoe 3 hari tuh, mending naik pesawat kalau ane :D
BalasHapusHai makasih sudah mampir.
HapusWaaah iya bus ke sumatra berhari2 di jalan ya. Jawa belum ada apa-apanya :D
Karena sumatera itu jauuh lebih luas drpd di jawa
sebab sebaik-baik tujuan perjalanan adalah pulang
BalasHapus:(
HapusBanyuwangi, kalisetail dimana aku keluar menghirup udara dunia. Ah rasa ingin mudik kalo baca cerita perjalanan mudik ini.
BalasHapusJadi rindu rumah dan segera memeluk ibu yang senantiasa menunggu
Hehehe.. sesekali pulang lah bang
HapusMomen favorit saat dikereta mas ya, memandang hamparan hijau yang luas nan menyejukkan. Apalagi kalau beruntung pas dapet senjaa, uuuh istimewa bangeeeet itu :D hehehe
BalasHapusEpilognya manis banget, memang benar pulang adalah masalah hati. tak ada yang benar-benar dekat. Pun tak ada yang jauh sekalipun. Jarak semu, melipat kenangan bersama rindu. Ah, pulang selalu jadi momen yang selalu kurindukan. Pulang ke kampung halaman.
Aku malah beberapa kali dpt sunrise hehe soalnya sering naik kereta pas malam.
HapusPulang itu sakral ya mbak
Wah Mas Jo bersama Sri Tanjung ke Banyuwangi nih. Kereta sekarang jauh lebih nyaman ya Mas. Enjoy ujung Timur Jawa ya Mas.
BalasHapusSaya sebenernya ingin menikmati perjalanan keretanya mbak prih, banyuwangi hanya transit hehe.
Hapusku alunkan rinduku selepas aku kembali pulang, tak akan ku lepaskan dekapku, karena ku tahu aku pasti merindukanmu seumur hidupku, selama-lamanya.....
BalasHapusaih tulisannya manis banget jo. iya, tak ada pulang yang benar2 jauh. tapi bagaimana jika ternyata kita tak punya hati yang bisa dituju?
Hatiku ga di rumah mbak sash :"
HapusJangankan naik kereta, bahkan nyeberang rel apalagi pas palang ditutup karena kereta lewat aja sampai sekarang masih merinding :')
BalasHapusBaca ini saya malah semakin penasaran, bagaimana "pulang" dalam hati dan pandangan mereka yang benar benar pulang
Berpulang?
HapusBenar benar pulang, berbeda dengan berpulang mas
HapusNyang ndi
HapusMas Jo semacam meresapi banget sebagai pelaku pemudik yaaa wkwk padahal ga ngrasain mudik-mudikan. Aku jadi ngebayangin pas Mas Jo ngobrol sama Mas Rochim dan mbak Ria haha yaaa bener, mesti lebih banyak le mendengarkan :))
BalasHapusIya, emang sengaja sih karena aku ga ngerayain lebaran, jadi aku semacam ingin merasakan pengalaman mudik mereka. :D
HapusMampir ke sini jd kangen sama kereta sri tanjung. Transportasi waktu ke banyuwangi, jalur2 yg ditempuhnya agak berbeda gitu
BalasHapusIni pertamakalinya aku lewat jalur surabaya ke arah timur. Rasanya beda aja, lewat yg belum pernah dilalui.
Hapus*menghela napas* romantis sekali tutur katanya, hehehe. Apalagi ini bercerita di atas kereta api, melewati stasiun-stasiun, bertemu orang-orang baru yang bikin cerita dan pengalaman jadi semarak :)
BalasHapusHehe makasih mas.memang sengaja menyempatkan diri untuk bertemu mereka :D
HapusYang khas dari kereta ekonomi itu ya itu. Ramainya. Seru. Banyak cerita. :)
BalasHapusBetul mas, kalo eksekutif paling tanya turun dimana abis itu udah.
Hapuskalo pas naik kereta gini mesti ingat lagunya padi mas " kulayangkan pandangku melalui kaca jendela, dari tempat kubersandar seiring lantun kereta " lupa aq judulnya apa.....
BalasHapusyang membuat transportasi ini lain daripada yang lain ya itu tadi mas...ada banyak cerita "buruh laju" yang menarik untuk kita dengarkan, sebuah cerita perjuangan hidup, cerita kerinduan untuk sekedar bisa "pulang" :(
Padi? Waah lupa e
HapusIya mas. Pasti ga mungkin kita gatau tujuan penumpang di sekitar tempat duduk kita. Sekedar basa basi awalnya, jadi sedikit mengenal mereka hehe
Daku rencananya mau ke Banyuwangi dan dikasih alternatif naik Sri Tanjung ini. Senang sih naik kereta, cuma mikir juga kalau 14 jam perjalanan, mesti menyiapkan jiwa raga :D
BalasHapusAku kalo suruh ngulangi naik sri tanjung aja pikir2 lagi mak wkwkwk.
Hapusmas Jo, asli mana e mas? kok mudik ke arah timur segala?
BalasHapusbener, emang melihat pemandangan luar saat kereta berjalan itu adalah salah satu hal sakral yang wajib dilakukan, apalagi kalau dapet viewnya pas pemandangan alam. beuh! sadap!
Ini bukan dalam rangka mudik mas wisnu, tapi merasakan ikut mudik hehehe
HapusSelain pemandangannya juga orang-orangnya. Pasti ada cerita.
kalau ke Bondowos mampir om ke gubukku ,.. nantik tak ajak ke tempat yang keren ....
BalasHapusSiap ndan.
HapusNaik kereta itu memang banyak ceritanya, ya.
BalasHapusSepakat.
Hapuslengang banget ya ... sensasi mudiknya ga berasa .. haha
BalasHapuskalau saya mudik hampir selalu dua kali dalam sekali lebaran ... ke kampung istri yang jauh dan ke kampung saya yang dekat :)
Wah ternyata sudah berkeluarga?
HapusParagraf endingnya bagus banget!
BalasHapusBtw,memang kereta api Indonesia udah mengalami kemajuan cukup pesat dibandingkan 10 tahun lalu. Dulu kalau naik KRL Jabodetabek ekonomi suka bareng ayam jago. T.T
Hehe makasih.
HapusDulu gerbong ekonomi itu memang ga manusiawi banget.
belum kesampean naek sri tanjung, tapi kok ya itu relasinya jauh banget.
BalasHapusML-BWI aja udah lama eh ini dilanjut mpe LPN
Tapi Krakatau lebih jauh lagi, itu hampir sepulau Jawa ya
asyik emang mas, apalagi klo mudik ke kampung halaman
Krakatau 900km lebih. Tapi sayangnya udah almarhum keretanya hehe.
HapusBetul, dr sri tanjung memang jauh dan lama. Soalnya jalurnya juga belum double track, jd masih banyak silang.
kalau pulang memang rasanya ngangenin banget apalagi buat anak rantau kayak saya
BalasHapusBahkan untuk stasiun kecil, kebersihannya oke ya. Bener2 PT KAI kita bekerja dengan baik. Dan semoga kian baik. Aku suka deretan kursi yang ada di sana. Instagrammable banget hahaha
BalasHapusomnduut.com
kursi peninggalan belanda itu om masih awet
Hapusudah bagus tuh untuk foto2
Hapuskereta api adalah transportasi favorit sayaaaa! :D sebenernya defisini pulang kalau buat saya kerasa kalau: punya kampung halaman & punya seseorang yang kita cintai buanget (halah). jauh pun terasa sepadan sama jarak tempuhnya.
BalasHapushehehe kereta semakin menjadi primadona nih, meski harganya semakin naik :3
HapusSudah lama nggak naik kereta. Ada suatu masa ketika kenangan bersama kereta melintas lalu hilang.
BalasHapuscoba berpergian naik kereta lagi mbak. apalagi sama anak-anak pasti pada seneng :D
HapusSekarang naik KA emang udah nyaman banget. Cuma makanannya rada mahal di kantong.
BalasHapusBeda dengan dulu, KA-nya kurang nyaman tapi harga makanannya murah.
hahaha iya, harga tiketnya pun sudah tidak bisa dibilang murah lagi
HapusKenikmatan naik kereta ya itu krn bnyk pemandangan yg cantik, apalagi kalau pas matahari terbit, anak-anakku aja ketagihan..
BalasHapusselain itu aku seneng ketemu dengan banyak orang dari berbagai daerah mbak hehe
Hapusfotomu yang lagi mengintip gunung itu bagus.. endingnya memang benar pulang itu tak ada yang benar-benar jauh.. kadang waktu traveling aku pun enggan pulang :D
BalasHapusMakasih koh
HapusSritandjung memang selalu memberi pesangon berupa kalimat panjang yang terasa gatal bila tak tertuliskan nggih mas hehehe. Sedikit banyak di blog saya juga bercerita tentang Sritandjung, yang juga diawali dari Stasiun Purwosari dan gerbong - gerbong kosong hehehe
BalasHapusOh iya betul. Aku udh baca mas hehe.
HapusKalo aku sendiri sih, kereta pada umumny. Bukan hanya sritanjung.
aku juga punya cerita tentang Sri Tanjung :)
BalasHapusMungkin waktu itu kita ada di satu gerbong ya, mas. Mungkin saja.
Heh?? Iyakah mbak? Aku pas hari H
HapusMaster of tulisan romantis ya dirimu mas wkkkk, saia pengen menjulukinya demikian
BalasHapusNgambing itu maksudnya nyogok biar bisa mebeng tanpa tiket resmikah?
Iya klo makanan di restorasi jujur kyk makanan yg oven ovenan mas, cm ya memang praktis sih ga seribet dulu pas byk pedagang masuk
Romantis apanya sih wkwkwk
HapusIya ngambing itu tanpa bayar tiket resmi.
Skg serba teratur tp yaitu makanan aja mahal. Blm lg tiketnya ga ekonomi lg wkwkwk
Udah lama banget nih gk coba naik kereta api lagi. :(
BalasHapusDi sumsel ada kereta Uda, kejauhan kalo ke Jawa hehe
HapusAku abis naik Sri Tanjung mas, didalam kereta sampai 14 jam, salut sekarang kereta ekonomi fasilitasnya bagus.
BalasHapusWah bawa anak2 ga repot mbak? Pdhl lumayan lho itu bikin boring.
HapusDulu waktu kecil pas di stasiun sragen, di kereta hadap2an sama tentara. Gak tau kenapa sha ngerasa takjub dan keren banget gitu bahkan masih inget sampe sekarang rasa takjubnya :D
BalasHapusMantap, aku suka banget dengan tulisan ini. Gayanya, bahasanya, pembuka dan penutupnya.
BalasHapusNgomong-ngomong, tulisan ini mengingatkanku pada masa-masa mudik waktu kecil dulu. Ehmm tapi gak bisa aku bilang mudik sih, soalnya aku justru melawan arus, menuju ibukota. Jadi yang ada kereta selalu lengang, bukannya desak-desakkan. Begitupun sebaliknya, waktu mudik.
Dan setuju banget dengan penutup tulisanmu: Karena sebenarnya, tak ada pulang yang benar-benar jauh.
Apa daya bila rumah kakek-nenek dari ibu tepat berada di depan gerbang SMA, dan nenek-kakek dari ayah, tepat di depan gerbang belakang SMA :D
BalasHapusIngin mudik................
Tapi untuk masalah naik kereta, wah jadi rindu merasai goncangan dan suara antara roda yang beradu dengan rel.
Jadi inget Banyuwangi dan Sri Tanjungnya.
BalasHapusPulang adalah masalah hati. Karena sebenarnya, tak ada pulang yang benar-benar jauh...
BalasHapusMari pulang ☺
Travel ke Banyuwangi selalu mengasyikkan, banyak sekali spot cantik. Ah jadi pengen pulang :(
BalasHapus