Menikmati Sepi di Pantai Batu Putih Karimun Jawa

Semesta bicara tanpa suara
Semesta ia kadang buta aksara
Sepi itu indah, percayalah
Membisu itu anugerah.
Banda Neira - Hujan di Mimpi
Berkunjung ke Karimun Jawa memang tak bisa lepas dari wisata baharinya. Pesona bawah laut di perairan Karimun Jawa sudah tidak diragukan lagi keindahannya. Namun bagi saya dan Mas Icang, hal itu sebisa mungkin dihindari.
Ayunan yang miring. Seakan enggan tergantung.
Lagi-lagi karena alasan dana yang terbatas, membuat kami mencoret salah satu wisata andalan di Karimun Jawa tersebut. Terlebih lagi di antara penumpang KM Kelimutu, sepertinya hanya kami berdua yang tidak menggunakan agen perjalanan. Sehingga sangat sulit mencari tambahan personil yang bersedia patungan menyewa kapal untuk island hopping. Mau menunggu wisatawan lain yang naik KMP Siginjai juga rasa-rasanya tidak mungkin, karena kapal baru akan merapat nanti siangnya.

Maka dari itu, kami sudah menyusun daftar panjang mengenai pantai-pantai mana saja yang akan kami singgahi. Dan juga pantai mana yang sekiranya memungkinkan untuk mendirikan tenda.
Pantainya jempolan.
Setelah "terjebak" dalam perbincangan hangat di teras rumah, akhirnya Pak Hasa membawa kami menyusuri jalan setapak tak jauh dari rumah beliau. Masih menggunakan sepeda motor, sebelum akhirnya berhenti dan memakirkannya dibawah pepohonan yang rindang. Bersama satu sepeda motor lainnya entah milik siapa, yang pasti bukan penduduk lokal. Kami menduganya sebagai milik salah seorang wisatawan yang kebetulan juga berkunjung ke pantai "belakang rumah" ini.

Sementara itu dibalik rerimbunan pohon dibawah tebing, samar-samar terlihat pasir dan tentu saja air laut.
Tanpa sengaja sepasang turis tertangkap kamera.
"Oh itu pantainya ya pak..?!" Seru saya.

Ya, saya tak mengira sama sekali begitu dekatnya pantai itu dengan rumah Pak Hasa. Malah sebelumnya saya menduga pantai jauh dari rumah. Karena sepanjang perjalanan menuju Desa Kemujan, di kanan jalan yang terlihat hanya gunung dan perbukitan yang menjulang cukup tinggi.
Sebenarnya, Pantai Batu Putih tak ada dalam daftar yang telah kami susun. Namun, karena kecerobohan yang kami lakukan sendiri yaitu lupa untuk memasukkan gas butane kalengan ke dalam ransel, membawa kami ke dalam perbincangan panjang. Sebelum akhirnya menginjakkan kaki di pantai yang saya juluki " pantai belakang rumah" ini.

Seusai Pak Hasa pamit undur diri karena ada suatu urusan, hanya ada kami berdua di pantai nan sepi itu. Pun dua orang turis asing yang belakangan kami ketahui adalah pemilik dari sepeda motor yang terparkir rapi sebelum kami datang tadi, sudah tak terlihat lagi rimbanya. Setelah blusukan menyusuri pinggiran pantai, bahkan hingga ke dermaga yang terletak di salah satu sisi ujung pantai. Ketika sekedar iseng mengkuti jejak mereka, kami malah tak bisa menemukan jalan. Entah lewat mana bule tadi bisa sampai dermaga.
Perahu nelayan sedang melintas.
Gradasi warna laut yang begitu memukau mata, seakan menggoda saya untuk menceburkan diri ke dalamnya. Namun saya masih cukup sadar diri, tak bisa berenang sebenarnya juga menjadi alasan saya untuk tidak ikut island hopping. Sekedar berjalan sambil menceburkan kaki hingga betis di pinggiran pantai yang begitu tenang itu, sudah cukup bagi saya.

Sambil menikmati sepi, kami memilih menyiapkan hidangan untuk makan siang kami. Tak lupa terlebih dahulu mengumpulkan kayu bakar yang cukup mudah ditemui di sekitar pantai. Semudah menemukan sampah yang sayangnya juga banyak berserakan, padahal jarang ada pengunjung yang datang ke pantai ini. Mungkin lebih dikarenakan oleh arus laut yang membawa sampah-sampah tersebut sehingga mengotori sekitar pantai Batu Putih.
Sesekali terdengar suara mesin perahu nelayan yang sedang melintas di kejauhan. Selain itu, hanya sedikit bunyi-bunyian yang hinggap di indera pendengaran kami. Benar-benar sunyi, sekalipun hari masih siang. Nampaknya, selain untuk menyegarkan mata dengan gradasi laut yang memukau, di pantai ini kami bisa sekalian menyegarkan telinga. Jauh dari hiruk pikuk perkotaan. Suara mesin yang menderu terburu-buru. Ataupun klakson kendaraan yang menyalak-nyalak.
Hammock berwarna cerah.
Tanah lapang yang bisa menampung 3-4 tenda.
Kami sangat antusias begitu diberi tahu Pak Hasa, bahwa pantai Batu Putih ini meghadap ke timur. Itu artinya, kami tak perlu bersusah-susah untuk sekedar menikmati sunrise keesokan harinya. Maka dari itu, sebuah tenda berkapasitas 2 orang sudah berdiri tegak di salah satu sisi pantai yang cukup lapang untuk mendirikan tenda. Menurut penuturan beliau juga, memang tanah lapang tersebut biasa digunakan untuk berkemah oleh para mahasiswa-mahasiswa KKN yang juga sering singgah di rumah Pak Hasa.

Tak lupa, sebuah hammock berwarna cerah yang sengaja dibawa oleh Mas Icang, sudah terpasang rapi di salah satu dahan pohon ketapang yang banyak tumbuh di sekitar pantai. Sekedar untuk duduk-duduk menikmati semilir angin, sambil sesekali mengarahkan lensa ke salah satu sudut pantai, diikuti dengan menekan tombol shutter kamera pinjaman dari salah seorang teman.
Air hampir menyentuh ayunan, keesokan harinya selepas hujan reda.
Sebuah ayunan sederhana terbuat dari tali lambang dan sebatang kayu yang hampir lapuk, tak luput dari perhatian kami. Menggantung sendu di salah satu dahan pohon yang menjorok ke laut. Memaksa kami untuk sekedar menaikinya, meski harus merelakan celana pendek yang saya kenakan sedikit basah oleh air laut. Idealnya, sehabis berayun langsung menceburkan diri ke air lalu berenang kesana-kemari seakan tak ada batas. Namun, jangan harap kami melakukan itu.
Mari memasak.
Nestingnya gosong :(
Menjelang sore, kami kedatangan dua orang "tamu". Dua orang wisatawan yang sepertinya sepasang suami istri. Benar saja, setelah bertegur sapa, saya jadi tahu mereka berdua sudah tiba lebih awal daripada kami. Yaitu via KMC Bahari Express yang berangkat dari Pelabuhan Kendal hari Jum'atnya. Sang perempuan terkejut begitu mengetahui harga tiket berangkat KMC Bahari Express hampir sama dengan harga tiket pulang pergi KM Kelimutu yang kami tumpangi.

"Oooh lama juga 6 jam ya. Kita cuma gak sampai 4 jam ya Pak?" Seloroh sang perempuan meminta dukungan dari sang suami.

"Kalo kita malah udah dapat makan 3 kali dari kapalnya lho Bu. Dan yang pasti kapalnya lebih gede, jadi aman kalo lagi ombak besar..." Sahut Mas Icang tak mau kalah.

Selanjutnya giliran saya yang dibuat terkejut, mereka ternyata mengenal dengan guru bahasa Inggris saya semasa SMA dulu. Karena kebetulan mereka berdua bekerja di salah satu instansi pendidikan di Kabupaten Kendal.
Duduk sejenak, menikmati keheningan.
Usut punya usut, tujuan mereka memilih berlibur ke Karimun jawa tak jauh berbeda dengan kami. Sama halnya dengan wisatawan-wisatawan lain yang naik KM Kelimutu bersama kami, yang mayoritas justru penduduk Jawa Tengah. Namun sama sekali buta dan penasaran seperti apa Karimun Jawa itu, meski masih termasuk dalam propinsi Jawa Tengah.

Karena hari sudah semakin sore, mereka berdua pun pamit untuk kembali ke penginapan. Sebelumnya, mereka meminta saya untuk memotretnya dengan ponsel. Berkalung kamera besar pasti pintar memotret, katanya.

"Buat bukti kalo sudah sah bulan madu ke Karimun Jawa" Ujar sang perempuan. Sementara saya hanya bisa tersenyum.

"Masnya pacarnya mana? Kok gak diajak? Biar bisa foto berdua kayak kita.." Giliran saya melengos. Huft.
Mengiringi sore yang terus beranjak.
Beberapa penduduk lokal turut hadir meramaikan pantai yang semakin sunyi itu. Di antaranya ada yang memancing ikan di sela-sela bebatuan dan karang, sementara lainnya langsung berlari dan menceburkan diri ke air.

Tak lama kemudian, disusul oleh Pak Hasa. Dengan menaiki sampan yang entah dari mana datangnya. Tahu-tahu sudah mendekat ke arah pantai. Rupanya, beliau pulang dari pergi memancing dengan mendayung sampan miliknya seorang diri. Bahkan, hingga ke pulau kecil di seberang. Dan sengaja menyisihkan sedikit ikan tangkapannya untuk kami berdua.

"Di bakar ya buat nanti malam.." Entah harus bagaimana lagi kami harus berterima kasih atas kebaikan beliau.
Hasil tangkapan hari ini.
Semoga kesehatan selalu diberikan kepada beliau.
Langit semakin pekat, Adzan Maghrib sudah berkumandang beberapa saat yang lalu. Suara serangga-serangga malam terus bersahutan di tengah rerimbunan pohon, mengisi kebisuan di antara saya dan Mas Icang yang tengah sibuk menjaga nyala api agar ikan yang di bakar cepat matang.

Malam itu kami tetap bersikukuh akan tidur di dalam tenda. Serta menolak tawaran dari Pak Hasa untuk menginap saja di rumahnya. Lagipula, malam itu berpotensi akan turun hujan, tambahnya.
Sebagai makan malam kami.
Sepertinya kami akan melalui malam itu dengan tenang. Sebelum serbuan nyamuk-nyamuk beringas yang terus berdengung di sekitar telinga, membuat kami tak bisa duduk dengan tenang. Kibasan, tepukan dan segala macam cara yang telah kami lakukan tak berdampak apapun. Seakan tak berarti untuk mengusir nyamuk-nyamuk ganas tersebut. Yang tak henti-hentinya mengincar darah segar di balik kulit kami yang belum tersentuh air sejak pagi harinya.
Kami menyerah. Masa bodoh dengan ikan yang sedianya akan menjadi makan malam kami, belum matang semuanya. Yang ada di pikiran kami hanyalah bagaimana cara agar sebisa mungkin segera lepas dari serbuan nyamuk-nyamuk haus darah itu. Anggap saja, nyamuk-nyamuk Karimun Jawa memang tak mengijinkan kami mengusik habitatnya. Memaksa kami untuk menerima tawaran menginap di rumah Pak Hasa. Semoga saja masih masih berlaku.
Kayunya masih sisa banyak.


Komentar

  1. pengalaman yang unik dan "mahal" ini karena suasananya begitu sepi dan pantai serasa milik sendiri. sebagai penduduk jateng, aku pun baru kemarin sore tau tentang karimunjawa apalagi berkunjung ke sana, pastinya belum pernah

    BalasHapus
  2. Pasti rasanya kayak pantai pribadi tuh, asyik banget..

    BalasHapus
    Balasan
    1. hehehe betul mas, bisa gegoleran sepuasnya :D

      Hapus
  3. pantainya seperti halaman belakang rumah yaa mas :D
    itu masaknya survival banget mas :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. wkwkwkwk akibat dari kecerobohan sendiri, gasnya gak kebawa :3

      Hapus
  4. ahaha kan ada icang, g kesepian :p

    BalasHapus
  5. Aku besok pulang Karimunjawa kakakakkakak. Kayaknya mau pasang hammock di sini (lagi nyari pinjaman) hahaahhaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. sambil baca buku :D
      ato nulis buku wkwkwk

      Hapus
  6. Beberapa kali mau ke Karimun Jawa tapi batal melulu. Padahal pemandangan alamnya bagus banget ya. Lautnya bersih :)

    BalasHapus
  7. Asyik banget kalau bisa berkemah di sana ya. Saya lebih sering nunut nginep di rumah penduduk/kenalan. Duh, komentar saya kok seperti sudah biasa, padahal baru 2 x dan keduanya nginep di rumah warga. Yang ketiga nanti juga insyaAllah pakai cara yang sama. Semoga target 2017 terpenuhi. Kemarin gagal ikut Barikan Karimunjawa karena ada acara blogger di Jakarta. :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. gak bakal emang mbak :D
      tahun depan memang harus diagendakan lagi hehehe

      Hapus
  8. wah mas ini sepertinya tipe traveler/adventurer yang setipe dengan saya. biasalah low budget sama merasa kurang asyik kalau jalan-jalannya pake travel bwahahahaha.
    eh mas kalau kebetulan cari tips fotografi mampir juga dong ke blog saya di
    gariswarnafoto[dot]com
    yuk mariii....makasih buat artikelnya

    BalasHapus
  9. wah, perlu dicoba kalau main ke karimunjawa lagi. Selama ini nginep di homestay kalau kesana :D

    BalasHapus
  10. Masih suka berpetualang terus jo???
    Sip sip sip...

    BalasHapus
  11. wah masih bermimpi buat kemari , amsih belum kesampaian

    BalasHapus
    Balasan
    1. karimunjawa belum kemana-mana mbak tira :D

      Hapus
  12. Seru banget, petualangan yg asik. Makannya masak sendiri... Ah jadi pengen...

    BalasHapus
  13. sukses membuatku makin kangen Karimun. Huhh

    BalasHapus
  14. Jadi dah gede tapi ngak bisa berenang ??? Kalo gw mah malu #kabur

    BalasHapus
  15. Kalau ke sana trus nebeng gabung travel agent, gimana?

    BalasHapus
    Balasan
    1. boleh aja sih, kalo emg kekurangan personil :D

      Hapus
  16. wish pantai nya menggoda sekali

    BalasHapus
  17. Pernah nyobain camp di pinggir pantai alhasil banyak nyamuk dan panas banget Wkwkw. Sempet mikir padahal udah hadap ke laut kok ya panas.

    BalasHapus
    Balasan
    1. ahahaha iya sih, walaupun malem pantai cenderung berhawa sumuk

      Hapus
  18. Wahhh ada juga nama pantai batu putih di sana ya, di Aceh juga ada tapi tidak seindah dulu lagi akibat tsunami.

    BalasHapus
  19. jadi pengen maen ayunan sambil nikmatin itu pantai deh, duuuh fresh lagi otak hehe

    BalasHapus
  20. Dulu pernah ke sini tahun 2009. Lama banget ya? Masih belum terlalu ramai. Kayaknya sekarang dah beda.

    BalasHapus
    Balasan
    1. sekarang juga belum terlalu rame kok hehehe

      Hapus
  21. belum pernah ke karimun ((malu))

    BalasHapus
  22. Seru sekali kalau sepi di pantai itu betul-betul dinikmati. Ah, jadi pengen beli perahu buat keliling-keliling pulau kalau setiap jalan-jalan ke laut biar murah. Tapi, gimana bawanya ya? Hahaha.

    BalasHapus
    Balasan
    1. mungkin setelah ini ada perahu lipat menyusul sepeda lipat mas rifqy :D

      Hapus
    2. Yaopo iku rupane perahu lipat? :D :D

      Hapus
  23. aiih keren banget, beruntung ya bisa kesana. serasa milik sendiri :)

    BalasHapus
  24. pak Hasa. jadi pahlawan ya beliau.
    sampai disisihkan ikan gitu. baik banget. toh kalian bakar ga mateng :p

    seru kayanya ya. Cobain ke Pulau Nyamuk bro

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha bapaknya mas sitam memang baik kok orangnya, ttp jadi bakar2an tp di rumahnya mas sitam :p

      Hapus
  25. Mas boleh tau ga templatenya apa, bagus ey kebaca pake tab

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ini template flow nyomot dr mybloggerthemes mbak nit

      Hapus
  26. melihat pantai dan airnya yang jernih, jadi kepingin kemari

    BalasHapus
  27. lama g camping & hammocking dipantai, lihat artikel njenengan jadi kepengen lagi, mumpung punya hammock baru made in sendiri

    BalasHapus
  28. itu ayunan di atas pantai bisa dipakai nggak, Mas Johanes Anggoro? Kok jadi rindu pantai ya setelah nyasar ke tulisan ini. Saya mumpung ada hammock made in sendiri pula :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Baca Juga

Menyusuri Jejak Oei Tiong Ham, Raja Gula dari Semarang

Bersekutu dengan KM Kelimutu

Jelajah Kampung Kauman Semarang