Prasangka


Oh, iya. Hai, selamat pagi!. Maaf, saya sampai lupa menyapa.

Sebentar, saya harus mengatur napas dulu. Tarik, hembuskan. Tarik, hembuskan. Oke. Maklum, saya baru saja berlari sepanjang area parkir sampai peron stasiun tadi. Entah sudah berapa kali saya hampir menabrak orang, dan entah apa saja sumpah serapah yang mereka lontarkan pada saya karena secara tidak sopan sudah menyerobot antrean pemeriksaan tiket. Beruntung sekali saya kereta belum berangkat. Jika saya tidak berlari, bisa berantakan semua rencana saya. Dan melayanglah sudah tiket seharga seratus ribu yang sudah saya pesan sebelumnya. Ya, mungkin seratus ribu yang memang tidak seberapa seberapa untukmu yang hidupnya lebih dari berkecukupan. Tapi bagi saya yang hanya berpenghasilan pas-pasan ini, uang sebesar itu bisa untuk jatah ongkos hidup tiga hari ke depan.


Seharusnya saya sedang bersama seseorang saat ini. Di perjalanan kereta api menuju Bandung. Tapi nyatanya saya sendirian. Saya memang sering berpergian seorang diri. Baiklah, saya akan menceritakan tentang sesuatu pada kalian.

Jadi, begini ceritanya.
Dua bulan yang lalu, tadinya saya merencanakan perjalanan ke Bandung ini bersama kekasih saya. Sebagai perayaan atas satu tahun hubungan kami. Terdengar romantis sekali bukan? Bisa berpergian berdua, bersama orang terkasih, bersama orang yang dicintainya. Menikmati kota Bandung berdua, Bandung yang juga dijuluki Paris van Java, Paris salah satu kota romantis di dunia. Tidak ada salahnya kan menikmati Paris yang ini dulu.

Di suatu pagi tepat sebulan menjelang tanggal keberangkatan, yang artinya kami harus segera memesan tiket kereta api. Ponsel saya bergetar, pertanda sebuah pesan singkat yang masuk. Hanya lewat pesan singkat, dia yang sekarang sudah menjadi mantan kekasih saya itu, mengatakan pada saya. Bahwa dia akan segera menikah dengan lelaki yang tidak dicintainya. Dia dijodohkan dengan lelaki pilihan orangtuanya. Dan dia tidak kuasa menolak perjodohan ini, setidaknya itu yang dikatakannya pada saya. Saya sempat kecewa dengan sikapnya yang seakan-akan tidak ingin berjuang mempertahankan hubungan kami. Bahkan untuk saya berada atas nama Tuhan bahwa saya benar-benar mencintainya pun, dia tetap bersikukuh. Tapi pada satu titik saya sadar, orang tuanya memang pantas memilih lelaki itu untuk meminang anak perempuannya. Sebab apalah yang bisa diharapkan dari saya yang hanya berpenghasilan pas-pasan ini? Sudah begitu, bukannya menabung untuk masa depan malah suka berpergian tidak jelas, menghamburkan uang, sok bergaya seperti orang kaya saja.

Pagi itu juga tanpa pikir panjang, saya putuskan tetap memesan tiket kereta api. Saya sudah merencanakannya matang dari jauh-jauh hari, jadi perjalanan ini harus terlaksana. Saya harus ke Bandung. Toh, saya sudah terbiasa berpergian seorang diri, kemana-mana sendiri.

Sementara, akad nikahnya sendiri akan dilaksanakan pada bulan ini. Iya, sangat mendadak sekali bukan? Tanggalnya tepat pada hari keberangkatan kami ke Bandung, yang artinya hari ini.

Apa? Bukan. Saya bukan seorang pengecut yang patah hati lalu melarikan diri dari kenyataan. Kenyataan bahwa kekasih saya akan menikah dengan lelaki pilihan orang tuanya. Bahkan saya tidak diundang ke pernikahannya, lagipula saya juga bukan tipe lelaki yang pemberani dan berbesar hati datang ke pernikahannya, hari bahagianya. Lalu mengucapkan selamat menempuh hidup baru kepada kekasih, maaf mantan kekasih maksud saya. Sementara dia bersanding di pelaminan dengan lelaki yang tidak dicintainya? Yang benar saja? Persetan dengan satu tahun hubungan. Persetan dengan bayang-bayang indah menikmati kota Bandung berdua. Persetan dengan cinta!

Sebentar, saya harus minum dulu. Sebelum saya mati karena dehidrasi. Acara lari pagi yang tidak pada tempatnya tadi ternyata cukup menguras tenaga saya rupanya. Saya juga sedikit emosi jika harus mengenang masa lalu. Apalagi masa lalu yang ada dia.

Saya meraih botol air mineral di depan saya. Memutar tutupnya, lalu menenggaknya isinya sampai tersisa hanya setengah.

Oke. Sampai dimana tadi? Ah, iya. Lupakan saja yang tadi. Yang penting sekarandi perjalanan kereta api, Bandung sudah di depan mata. Dan bayangan tentang Gedung Sate, Braga, Kawah Ciwidey, Observatorium Boscha dan Tangkuban Perahu yang akan saya kunjungi berputar-putar terus di otak saya sejak semalam. Tidak mengapa jika saya harus mengeluarkan sedikit tenaga ekstra untuk berlari sepanjang area parkir sampai peron stasiun. Memang saya akui karena kesalahan saya sendiri. Pagi tadi saya bangun kesiangan. Semalaman begadang menonton pertandingan tim sepakbola kesukaan saya yang sayang sekali untuk dilewatkan sampai pukul 3 dini hari. Dan sialnya lagi, motor tua milik saya yang sama bututnya dengan pemikiran jika orang yang bisa berpergian hanyalah orang yang berduit saja, mendadak pakai acara ban bocor segala. Dan, saya hampir saja ketinggalan kereta tadi. Ah, sial sekali saya hari ini!

Saya melirik jam di ponsel saya. Pukul 10.15. Artinya sudah hampir 2 jam saya dalam perjalanan kereta api.
Apa? Oh, iya. Saya memang tidak suka memakai arloji, jadi jika saya ingin tahu sekarang pukul berapa, saya hanya perlu melihatnya di ponsel saya. Bukan tidak pernah memakai arloji, hanya tidak suka saja. Dulu saya pernah mencoba memakai arloji pemberian dari kekasih saya. Sebagai hadiah di hari ulang tahun saya kedua puluh empat, katanya. Pertama, karena saya berusaha menghargai pemberian dari seseorang. Meskipun saya tidak suka, ya saya tetap mencoba memakainya. Setidaknya hanya ketika saya akan bertemu dengannya. Kedua, dengan memakai arloji orang akan terlihat berusaha selalu menepati waktu dalam urusan apapun. Saya ingin terlihat seperti itu. Mungkin selama ini karena belum terbiasa saja, pikir saya. Bukankah seseorang akan suka dengan sesuatu karena terbiasa?

Kini saya sudah menyimpan dengan rapi arloji itu di dalam sebuah kotak yang masih sama pada saat diberikan mantan kekasih saya, sebagai hadiah di hari ulang tahun saya dulu. Kotak itu kemudian saya masukan laci di dalam sebuah lemari. Dan lemari itu ada di dalam kamar saya tentunya. Memang seharusnya begitu, kan? Menyimpan dalam-dalam masa lalu dengan rapi. Dan tidak perlu mengingatnya lagi, meski juga tidak ingin membuangnya.

Hei, kenapa saya jadi menceritakan masa lalu saya? Bukankah seharusnya saya menikmati perjalanan ini? Saya seharusnya bersenang-senang saat ini.

Baiklah, sekarang saya akan mencoba melihat pemandangan di luar jendela. Saya memang selalu duduk di kursi dekat jendela jika melakukan perjalanan di kereta api seperti sekarang ini. Tidak banyak yang bisa dilihat, selain sawah hijau yang membentang, sungai yang arusnya deras, rumah-rumah warga, dan juga sebuah gunung di kejauhan. Gunung apa itu namanya? Ah, saya lupa. Ya, baiklah. Saya mengakui cukup banyak yang bisa saya saksikan jika dibandingkan dengan perjalanan saya dengan kereta api sebelumnya yang lebih sering pada malam hari. Tapi sepertinya akan cukup membosankan untuk beberapa jam kedepan, jika harus saya habiskan dengan seperti ini saja.

Saya mengedarkan pandangan lagi. Tapi kali ini ke dalam gerbong. Ah, saya bahkan belum melihat satu per satu secara jelas penumpang lain yang ada di gerbong ini. Setidaknya penumpang yang duduk disekitar saya. Duduk tepat di samping saya, seorang pria paruh baya memakai kemeja batik, celana kain dan sepatu pantofel. Mungkin seorang pegawai pemerintahan?  Dan juga di depan saya, karena kau tahu sendiri jika di gerbong kereta api ekonomi seperti ini posisi tempat duduknya saling berhadap-hadapan? Seorang perempuan yang saya taksir usianya lebih muda dari saya, duduk di dekat jendela. Lalu di sebelahnya lagi seorang bapak-bapak memakai peci hitam yang tidak bisa lagi menyembunyikan uban di rambutnya. Mungkin seusia dengan bapak saya.

Tunggu, sepertinya mata saya harus tertuju kepada si perempuan lagi.

Dia mengenakan kaos oblong di balik kemeja bermotif kotak berlengan panjang, celana berbahan jeans dan sepatu kets. Terkesan tomboy. Penampilan yang biasa sekali, apakah selera berpakaiannya saja yang memang tidak terlalu bagus atau mungkin perempuan itu tidak terlalu mengikuti mode yang sedang trend saya tidak tahu. Lagipula saya bukan orang yang pandai menilai orang hanya dari penampilannya saja. Kau sendiri tahu bukan, penampilan seseorang seringkali bisa menipu? Tapi dengan penampilannya yang terlalu biasa seperti itu tidak lantas membuatnya membosankan untuk dipandang. Ya, setidaknya buat saya.

Dia, perempuan itu. Setelah saya perhatikan lagi, semoga tatapan saya tidak terlihat seperti ingin menelanjanginya, wajahnya mirip benar dengan kekasih saya, maaf mantan kekasih saya maksudnya. Saya mencuri pandang dari balik kacamata yang saya kenakan, dan saya berhasil merekam seluruh garis-garis wajah perempuan itu. Kulitnya tidak terlalu putih seperti perempuan Indonesia kebanyakan. Rambut hitam dan panjangnya diikat membentuk menjadi seperti sanggul kecil, membuat beberapa helai rambut halusnya masih tertinggal di belakang lehernya.

Kepalanya sedikit menunduk. Bibir tipisnya melengkapi hidungnya yang juga tidak terlalu besar. Kedua matanya sedikit sipit, tapi tidak lantas membuat sorot matanya redup. Setahu saya pandangannya belum terlepas dari buku yang dia pegang dengan sebelah tangannya. Entah karena saya tidak melihatnya atau memang perempuan itu teralu larut dengan cerita yang dia baca di buku itu. Sebentar, mata perempuan itu. Iya, tidak salah lagi. Matanya mirip benar dengan mata milik kekasih, maaf mantan kekasih saya maksudnya. Saya harus mengerjapkan mata saya berkali-kali, untuk memastikan bahwa saya tidak salah lihat.

Atau saya memang sedang berhalusinasi karena sedang patah hati? Hei, apakah wajah saya terlihat seperti orang yang putus asa ditinggal kekasih menikah dengan lelaki lain? Saya rasa tidak.
Apakah perempuan itu memang mantan kekasih saya? Sepertinya bukan. Sebab kalaupun iya, saya pasti sudah mengenalinya sebagai mantan kekasih saya. Atau sebaliknya, dia yang mengenali saya. Dan seharusnya kami sudah berbincang sejak tadi, bukannya seperti dua orang asing yang diam karena tidak saling mengenal seperti saat ini.

Iya, saya bisa saja mengajaknya berkenalan, mengulurkan tangan saya untuk berjabat tangan, lalu menyebutkan nama saya. Dan perempuan itu menyambut jabat tangan saya, kemudian menyebutkan namanya. Atau jika tidak, dia akan mengacuhkan saya karena dianggap terlalu kurang ajar mengajaknya berkenalan. Tapi itu bukan saya. Saya bukan seperti lelaki kebanyakan ketika matanya melihat perempuan cantik sedikit saja langsung mengajaknya berkenalan. Lebih tepatnya, saya tidak pernah berani mengajak berkenalan dengan orang asing. Saya hanya senang melihat. Itu saja.

Saya masih bergeming di kursi saya. Dan ya, masih menatapnya.

Sebentar, apakah saya tidak salah lihat? Atau saya baru menyadarinya? Dia, perempuan itu melempar tatapan pada saya. Iya, tidak salah lagi. Matilah saya tertangkap basah melihatnya. Mungkin dia merasa saya memperhatikannya. Dan mungkin saja dia tidak nyaman dengan tatapan saya. Tapi sepertinya bukan, dari sorot matanya tidak menyiratkan bahwa dia tidak nyaman dengan tatapan saya. Saya yang terkejut buru-buru mengalihkan pandangan saya ke luar jendela.

Beberapa saat kemudian, belum hilang rasa terkejut saya. Saya mencoba melirik perempuan itu lagi. Dan saya tertangkap basah lagi, dia menatap saya seolah sudah menunggu. Lalu detik berikutnya, tanpa ragu, dia memberi saya seulas senyuman di bibir tipisnya. Senyuman yang manis. Saya yang tambah terkejut, bersusah payah membalas senyumannya. Semoga senyuman saya tidak terlihat aneh dan seperti sedikit dipaksa. Ya, memang aneh sepertinya, karena setelahnya perempuan itu seperti tertawa kecil. Saya hanya bisa menanggapinya dengan tersenyum kecut sambil menggaruk kepala saya yang tidak gatal sama sekali.

Dan menit berikutnya, saya masih disini. Saya masih bergeming di kursi saya. Duduk terdiam. Menunggu untuk tahu namanya.

Tenang, masih ada beberapa jam kedepan.

Komentar

Posting Komentar

Baca Juga

Menyusuri Jejak Oei Tiong Ham, Raja Gula dari Semarang

Bersekutu dengan KM Kelimutu

Jelajah Kampung Kauman Semarang