Kosong



"Kamu kenapa, diam saja dari tadi?"

Aku menggeleng pelan, mencoba memberi respon seadanya.

Itu adalah awal pertemuan pertama kita. Hampir tak ada percakapan berarti yang bergulir. Hanya sekedar basa-basi tak berbobot. Sesekali aku hanya mengangguk atau menggeleng pelan untuk merespon pembicaranmu.

Aku meraih botol air mineral yang tinggal setengah, lalu menenggaknya sampi habis tak tersisa. Cukup pertemuan kita ini saja yang 'garing', jangan sampai tenggorokanku ikut-ikutan kering, karena Jogja siang itu memang cukup terik.
 
Entah kenapa penyesalan sering kali datang terlambat. Di saat kita baru menyadari sesuatu itu tak bisa kembali lagi. Dan kita terbunuh oleh kejamnya waktu, yang tak pernah sekalipun mengijinkan kita untuk bisa kembali ke masa yang telah lalu. Mencoba mengulangi apa yang telah terjadi, mengharapkan datang lagi semua yamg pernah terlalui.

Aku hanya merasa beruntung sempat mengenalmu. Mendengar ceritamu, yang sebelumnya hanya bisa ku 'dengar' melalui kata-kata yang kau ketikkan lewat pesan singkat SMS. Melihat tawamu, juga tangismu.

Sungguh, setangguh apapun kau tampil didepan orang lain, semakin kau memperlihatkan sisi rapuhmu, di sorot mata beningmu.

Kau tersenyum kecil yang ku anggap tak ada penolakan darimu ketika menggandeng tanganmu untuk menyeberang jalan.
Hatiku bergetar. Ada sesuatu yang berdesir disana.

"Kau tau, kalau dia sampai tahu kita bergandengan tangan seperti ini, kurasa dia tak segan untuk membunuhmu!"

"Hanya bergandengan tangan??"
Mataku melebar, tak percaya.

Lalu setelah itu hanya suara tawa kita berdua yang terdengar memecah di udara. Seolah-olah kita berada di dalam dunia yang hanya ada kau dan aku.
Aku pun tak ingat kapan terakhir kali bisa tertawa lepas seperti itu.

Matahari perlahan turun, tergantikan sore yang segera beranjak.

Kita berjalan pelan, seperti menghitung jarak.

Dalam diam kita sibuk dengan pikiran masing-masing. Seperti terjebak dalam ruangn kosong yang kita ciptakan sendiri.

Pada akhirnya, kita pun menyerah.

Ketika kata mengungkap rasa, lalu bibir berucap. Terbersit mengenai  sesuatu yang salah di antara kau dan aku. Tentang rasa yang salah, di waktu yang juga tak tepat. Dan tak mungkin menyalahkan keadaan. Salahkan kita yang tak pernah mampu untuk meyakini perasaan kita sendiri.

Kita hanya dipertemukan di sebuah sudut persimpangan jalan. Ketika hati sudah tak bisa lagi diandalkan. Yang tersakiti oleh rasa itu sendiri. Lalu mencoba memperbaikinya kembali, meluruskan apa yang selama ini telah salah. 

Namun, sayangnya itu adalah cara yang tak tepat. Ternyata hati kita bertautan. Seuatu yang tidak kita harapkan akan terjadi.
Jalan masih panjang, dan waktu terus berputar. Tapi, jalan kita memang benar-benar berbeda meskipun hanya dan cuma satu tujuan kita.

Melanjutkan harapan masing-masing sepertinya adalah jalan tebaik. Dan kita memilih itu. Mengingat usia yang tak lagi muda, kedewasaan lah yang menjadi jalan satu-satunya.

Kita harus sama-sama bahagia, meski tak harus selalu bersama.
Sesal tak kan ada arti. Jadi mari meluruskan dan menata hati menuju harapan di dalam tangis atau tawa.




Jogja, Maret 2014

Komentar

Baca Juga

Menyusuri Jejak Oei Tiong Ham, Raja Gula dari Semarang

Bersekutu dengan KM Kelimutu

Jelajah Kampung Kauman Semarang