Sebuah Kisah (Tak Sempurna)



Dulu perkenalan kita adalah hal yang biasa, layaknya pertemanan biasa. Tak ada yang istimewa. Awalnya. Aku menyebutnya takdir ketika kamu bilang itu hanya kebetulan semata. Kita, yang sama-sama sedang mencoba berdamai dengan masa lalu.

''kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi di depan sana'' ujarmu pelan.


Bisa saja kita berharap sesuatu hal akan  terjadi, maka terjadilah.  Namun terkadang yang terjadi justru sesuatu hal lain yang tidak kita harapkan, tak terduga sama sekali. Bisa saja lebih baik atau bahkan mungkin lebih buruk dari yang kita harapkan sebelumnya. Seperti sekarang, siapa sangka kita yang tak pernah bertemu sebelumnya dalam beberapa jam sudah bicara banyak.

''apa kamu baik-baik saja?''


Aku menghela napas perlahan. Bertanya, berusaha memutus suasana canggung lima menit terakhir. Kali ini ceritamu terhenti. Dengan sudut matamu yang mulai menggenang. Kamu terisak pelan.


Cukup. Aku tak akan memaksamu melanjutkan cerita.

Lalu semuanya menjadi berbeda. Saat mata kita bertemu tatap, atau saat menggandeng tanganmu untuk menyeberang jalan. Ada sesuatu yang berdesir disana. Jantungku berdegup lebih kencang.


Entah harus kusebut apa kedekatan kita itu. Seperti candu saja. Berbagi cerita cerita sepanjang jalanan yang kita lalui hampir setiap sore. Menertawakan masa lalu, kemudian mengkhayalkan masa depan, mereka-reka seperti apa nantinya. Masa depan yang hanya ada kamu dan aku di dalamnya. Diakhiri dengan tawa kita yang memenuhi udara. Sungguh, aku pun lupa kapan terakhir kalinya bisa tertawa lepas seperti itu.

Hujan semalaman masih meninggalkan jejak genangan air di jalanan. Gerimis pun seakan enggan usai, menyisakan udara dingin yang menggigit. Suasana pagi ini masih belum ramai. Sesekali kendaraan yang melintas meninggalkan cipratan air di trotoar.


Aku berjalan pelan.

Aku pun bertanya-tanya, kenapa bisa menginjakkan kaki di kota ini lagi. Kota penuh kenangan tentang kita. Yang jelas bukan untuk bernostalgia, mengenang kembali masa-masa yang telah lalu.


Setahun berlalu, semenjak kebersamaan kita berakhir begitu saja. Tepat setelah kamu mengatakan telah bertemu dengan seseorang yang kelak akan menjadi masa depanmu. Seorang yang sangat sempurna di matamu, yang membuatmu jatuh hati padanya.


Jujur, sakit ketika mendengar itu semua. Tapi siapalah aku? Yang tak bisa apa-apa.

Aku menemukan sosokmu sedang duduk di sebuah bangku taman. Taman yang dulu sering kita lewati.

Ah, kamu. Tumben tak terlambat lagi?


Ya, sebenarnya itulah alasan kenapa aku bisa datang ke kota ini lagi. Menautkan janji bertemu denganmu.

''hai, apa kabar?'' sapamu membuka percakapan.

''jalan?''


Kali ini kamu menggeleng lalu tersenyum seperti biasa. Senyum itu tak pernah berubah.
Dari situ saja aku sudah bisa menebak bagaimana akhir dari cerita ini. Dan ku sebut itu takdir.

Kamu menyerahkan sepucuk undangan berwarna pastel. Warna kesukaanmu. Tertulis namamu dan namanya disana. Undangan hari bahagiamu rupanya. Hari yang akan segera tiba.


Tetiba pagi itu menjadi lebih sendu bagiku, tapi langit tak ikut-ikutan. Mentari telah menampakkan dirinya. Seakan mengejekku.

Mungkin aku hanyalah salah satu penggalan dari kisah hidupmu yang panjang. Yang kamu letakkan pada salah satu bab. Tak untuk jadi akhir, apalagi akhir yang bahagia.


Maaf untuk semua yang tak pernah ku ungkapkan.


PS : Selamat hari bahagia :-)

Komentar

Baca Juga

Menyusuri Jejak Oei Tiong Ham, Raja Gula dari Semarang

Bersekutu dengan KM Kelimutu

Jelajah Kampung Kauman Semarang