Januari


Kini aku hanya bisa sedikit berharap, semoga kali ini kamu tak lupa. Seharusnya kita bertemu sore ini.

" tunggu di tempat biasa" ujarmu.

Semoga kamu lekas datang, awan mendung sudah menggantung dilangit dan siap menumpahkan hujan ke bumi. Aku hanya hujan menjadi 'penghias' sore kali ini.
 

Aku mendengus kesal, kamu masih saja sama,selalu terlambat saat situasi seperti ini. Menjadi kebiasaan burukmu. Hanya saja aku tak terlalu suka berada ditengah keramaian seperti ini. Aku rasa kamu pun tahu itu.
 
Seseorang nampak berlari ke arahku, meneriakkan namaku keras-keras, hingga aku pun tak punya pilihan lain selain menoleh. Karena sangat ku hafal pemilik suara itu.
"hai.." sapamu, lalu tersenyum.
Aku hanya bisa terdiam. Sejenak melupakan kekesalanku tadi, untuk sekedar menatapmu ketika tersenyum. Senyuman di wajahmu itu.

Dan aku, masih sama. Jantungku masih saja berdegup kencang ketika melihatmu tersenyum, debaran yang sama selama hampir dua tahun, setiap sore-sore kita.

"yuk jalan.."

Sore berlanjut. Kita berjalan pelan, seperti sedang menghitung jarak. Januari sudah pada hitungan akhir, musim hujan sedang masa puncaknya. Hujan seakan tiada hentinya. Tapi kali ini mungkin langit sedikit berbaik hati, memberikan sore yang sejuk, dengan angin yang sesekali berhembus pelan. Menyediakan ruang untuk kita menyambung kembali episode-episode sore kita. Walaupun mungkin hujan sebentar lagi akhirnya turun juga.

"aku selalu suka hujan.." ujarmu pada sore yang lalu.

Serupa kejutan, yang datangnya tak pernah diduga dan tak pernah diharapkan. Katamu. Atau kesukaanmu, yang menatap takjub hujan dari balik jendela kaca bus, yang semakin menderas saja. Kemudian melukiskan namamu di kaca yang berembun basah. Pada sore lainnya.
Jalanan yang kita lalui masih sama. Aku pun begitu. Siap mendengar celoteh-celotehmu, seperti sore-sore sebelumnya. Tapi dari matamu, aku menangkap ada yang berbeda. Sesuatu yang berbeda, entah apa.

"aku jatuh cinta dengan seseorang.."
katamu, dan lagi-lagi tersenyum.

Mataku membulat, hanya diam mulutku tercekat.

Aku hanya tersenyum kecil, semoga tak terlihat seperti dipaksa. Sungguh bukan itu yang ingin aku dengar. Hatiku gerimis, pun langit ikut-ikutan gerimis. Menyisakan tanya, kenapa tak sekalian langsung hujan badai saja yang datang? Agar episode sore kita langsung berakhir dan tak perlu mendengar ceritamu, dan dia sebagai sosok yang begitu sempurna di matamu. Yang telah membuatmu jatuh hati padanya.


Cukup.
Mungkin kamu tak peka. Atau aku yang tak terlalu bisa menunjukkan perasaan hatiku yang sebenarnya? Penuh dengan kepura-puraan dan kata-kata yang ambigu itu.
Beginikah rasanya patah hati?

Komentar

  1. Sebagian dari kita mungkin pernah mengalami hal demikian, terlalu naif atau gengsi untuk mengungkapkan sehingga patah hatilah yang dituai kemudian

    BalasHapus
  2. Hmhmhm kalau diposisi seperti ini rasanya "sesuatu"

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus

Posting Komentar

Baca Juga

Menyusuri Jejak Oei Tiong Ham, Raja Gula dari Semarang

Bersekutu dengan KM Kelimutu

Jelajah Kampung Kauman Semarang